TIDURLAH MALAM (MINGGU) INI



Usahakan tidurmu nyenyak malam ini. Supaya matamu kembali jernih. Kembali putih. Dan otakmu bersih.

Aku khawatir padamu sejak tadi pagi. Kulihat kantung hitam menggantung di bawah matamu. Sembab. Matamu merah, seolah habis ketumpahan darah. Berkali-kali kamu menguap. Mengantuk.

Sudah tak terhitung berapa kali aku menyarankanmu untuk beristirahat. Satu-dua jam tidur, kurasa bisa menghisap genangan darah di matamu itu.

Tetapi kamu adalah kamu. Kamu si keras kepala. Kamu yang tak mau diatur atau dikasihani.

Kamu menolak. Menyumpal mulut cerewetku ini dengan kalimat: "Maaf, aku masih banyak pekerjaan. Bakal terbengkalai jika aku tak segera mengerjakannya."

Aku mengerti. Memang seharusnya begitu. Bukankah kita memang hanya bisa khawatir? Hanya bisa menyarankan begini dan begitu? Hanya bisa kasihan? Sedangkan segala keputusan tetap menjadi hak si pemilik tubuh.

Silakan kamu bekerja. Selesaikan dengan cepat dan pergilah tidur. Meski kutahu itu hanya sekadar pelampiasanmu saja. Kamu hanya ingin lari dan lari tanpa tahu apa yang sedang mengejarmu. Kamu hanyalah percik api yang mengikuti sumbunya. Digerakkan oleh sebuah pemicu bernama: sakit hati.

Kamu ingin menekan rasa sakit itu seperti menekan gumpalan kapas ke dalam sarung bantal. Kamu tak ingin merasakannya. Tetapi yang nampak: kamu hanya menutupinya seolah sedang membungkus kasur dengan selembar seprei.

"Kamu tak apa?" Aku membawakanmu secangkir kopi, meski kutahu itu takkan mengobati atau mengurangi rasa sakitmu.

"Jangan khawatir. Aku sehat."

Tentu saja kamu benar. Selama kamu masih bisa menjawab pertanyaanku dengan sadar dan jelas, aku yakin otakmu masih sehat. Masih waras. Tidak gila. Hanya sedikit keruh saja menurutku.

Juga, selama jemarimu masih dengan lincah menari di atas tuts komputer jinjingmu, kuyakin kamu sehat. Aku bahkan memprediksi; bahwa stroke, ALS, alzheimer, atau apa pun itu bakal pusing memikirkan cara untuk masuk ke sarafmu.

"Kamu harus tidur malam ini. Jangan keluar rumah. Kamu nanti bakal sakit."

Kamu mengangguk. Entah karena memang mengerti atau hanya sekadar bosan mendengarku terus mengoceh.

"Di luar, malam ini, berbahaya."

"Memang ada apa di luar?" Aku senang kamu bertanya.

"Malam nanti adalah musim semi."

"Ya, aku tahu itu." Kamu tersenyum tipis. Aku senang kamu tahu arti "musim semi" yang kumaksud. "Lantas?"

"Banyak bunga yang masih kuncup, belajar untuk mekar secepatnya, demi menggoda kumbang. Juga banyak kumbang yang membongkar kuncup bunga agar mekar sebelum waktunya."

"Apa itu akan melukaiku?"

"Aku takut hal itu akan melukai. Kamu tahu kan, manusia dilahirkan untuk memiliki sifat iri."

Kamu diam sejenak, sebelum akhirnya berkata:

"Kamu mungkin benar. Bagaimana kamu bisa menebaknya?"

"Aku terkadang merasakannya. Marah karena orang lain memilikinya, sedangkan aku tidak."

"Jadi kita senasib?"

Aku memandangi matamu yang kian merah. Kutahu apa penyebabnya.

"Tidak juga."

"Lantas, apa yang akan kamu lakukan nanti malam?"

"Kurasa ... aku juga butuh tidur."

Tanpa kujelaskan, kamu tahu apa maksudku.

Komentar

Postingan Populer