Kau, Aku dan Dua Cangkir Kopi



Kau pernah berkata, bahwa secangkir kopi bisa begitu menyiksa. Satu jenis mode hukuman yang bisa membuatmu kesakitan.

Aku memandangi secangkir kopi yang terhidang untukmu. Masih hangat. Uapnya masih meruap bagai kabut. Tapi sayang tak pernah kau sentuh. Dan kini kuyakin, kau memang membencinya.

"Minumlah," aku menawarimu. Lagi, "mumpung masih hangat."

Kau menggeleng keras. Berulang-ulang. Seolah ingin mengusir suaraku yang menempel di kupingmu.

"Kenapa sih?"

Kau menatapku tajam. Matamu seperti belati yang tengah mengupas wajahku.

"Kau tahu? Kehangatan kopi, selalu mengingatkanku pada hangat pelukannya," ucapmu. "Maka dari itu, aku enggan menyentuh cangkir itu."

Bisa kulihat bayangan gadis itu mendekam di kilau matamu. Seperti kenangan yang melekat di dinding-dinding otakmu. Kalau boleh memilih, kau pasti ingin lupa. Hilang ingatan. Amnesia pada gadis itu.

Tapi mustahil.

Lamat-lamat kulihat matamu tergoda untuk mengatup. Kau mengantuk.

"Minumlah," aku menawarimu. Lagi. Untuk kopi yang sama, yang belum kau sentuh. "Tetaplah terjaga dan temani aku."

Kau menggeleng keras. Berulang-ulang. Tak ingin mendengarku yang memaksamu minum kopi meski seteguk.

"Kenapa?" tanyaku.

Matamu terhunus kepadaku. Tatapanmu tajam.

"Kehangatan kopi selalu mengingatkanku—"

"Tapi, kopi ini sudah dingin," potongku tiba-tiba. "Kopi ini sudah sama dinginnya dengan malam ini. Minumlah."

Kau melihatku dengan sudut matamu. Ragu.

"Minumlah!" seruku. "Atau kau akan tertidur, dan gadis itu akan membunuhmu di dalam mimpimu."

Tanganmu tanpa ragu meraih kopi yang sudah dingin di depanmu. Meneguknya hingga tandas.

Kulihat matamu mendapatkan kekuatannya kembali. Siap untuk menemaniku terjaga malam ini.

Aku gembira, melihat matamu masih terbuka. Andai kau tahu, tak ingin kulewatkan sedetik pun tanpa melihat matamu.

Komentar

Postingan Populer