(Kematian) di Hari Ulang Tahunmu



Langit berwarna merah pada sore itu. Seolah langit sedang terluka, hingga berdarah-darah. Hanya siluet hitam burung-burung yang terbang hendak pulang ke sarangnya, menjadi pembeda.

Sejak tadi pagi, Dhea merasakan sesuatu yang aneh akan terjadi. Sebuah firasat buruk. Entah apa dan bagaimana akan terjadi. Tapi hatinya tak henti dibalut kesukaran dan kegelisahan. Dan dengan penampakan langit merah darah, membuat kegelisahan di hatinya kian mencuat.

Dhea mempercepat langkahnya untuk pulang ke rumahnya. Segera. Firasat yang ia rasakan benar-benar mengganggu. Seakan-akan bahaya sedang mengintainya.

Ketika ia membuka pintu dan masuk ke rumahnya. Dhea mendapati suatu keganjilan. Rumahnya begitu sepi. Hening. Seolah kesenyapan paling purba, sedang singgah di dalamnya. Ia bergidik. Dengan langkah tertahan, Dhea mencoba masuk lebih dalam. Tampak aneh memang, ketika menyaksikan si pemilik rumah mengendap-ngendap masuk ke rumahnya sendiri.

"Hendra! Agung!" ia memanggil anak-anaknya. Suaranya menggaung, memenuhi ruangan.

Tak ada jawaban.

"Mas Herman!" kali ini memanggil nama suaminya. "Kamu sudah pulang?!"

Dhea beranjak menuju dapur. Terdengar suara berisik dari sana. Perlahan ia memijakkan kaki. Pasti ada seseorang di sana, pikirnya.

Ketika Dhea sampai di dapur, didapatinya ruangan itu gelap. Dan benar, ia mendapati siluet hitam bayangan seorang lelaki.

"Siapa kau?!" tanya Dhea. Kakinya gemetar. Ketakutan.

Sosok itu berbalik. Berjalan mendekat kepada Dhea. Keluar dari sisi gelap ruangan. Saat cahaya lampu yang remang tumpah ke wajah lelaki itu, Dhea terkesiap.

"Mas Herman?" katanya. Dhea segera mendekap tubuh suaminya itu. "Ke mana anak-anak, Mas?"

Herman bungkam sejenak. Tetapi dari sorot mata Herman, Dhea bisa melihat sesuatu yang buruk: kebengisan.

"Maaf, Dhea," kata Herman. Ia mengambil benda yang disarungkannya di saku belakang. "Harusnya aku tak melakukan itu pada anak-anak."

Dhea melirik benda yang kini dipegang oleh Herman. Sebuah pistol.

"A-apa yang telah kaulakukan dengan mereka?" Dhea tergeragap. Menjauh dari Herman.

Herman menyeringai. "Mereka terlalu berisik, jadi aku--"

"K-kau membunuh mereka?" sela Dhea. "Biadab."

"Maaf, Dhea," kata Herman.

"Dasar penjahat!" Dhea berteriak. Pilu.

Herman kembali menyeringai. Tidak merasa terganggu dengan teriakan istrinya.

"Maafkan aku, Dhea," kata Herman. Ia mengacungkan senjata ke kening Dhea. Bersiap menembak. "Aku tak ingin kejahatanku ini meninggalkan jejak."

Keringat dingin segera membutir di kening Dhea. Ia ketakutan. Nyawanya hanya tersisa beberapa detik, tergantung hitungan yang dilakukan Herman. Dhea memejamkan mata.

"Maafkan aku, Dhea."

Herman menarik pelatuk. Pistol itu meletus. Menyemburkan kertas warna-warni.

Dhea yang baru saja membuka mata dan mendapati keningnya tak berlubang karena peluru—seperti yang disangkanya—bingung.

Mendadak di belakangnya, dua putranya mengejutkannya. Membawa kue tart besar dengan lilin-lilin yang menyala. Senyum mereka merekah menyambut wajah ibunya yang masih digurat kebingungan.

"Selamat ulang tahun, Dhea," kata Herman. Tersenyum. Ia mendekap tubuh Dhea. "Maaf ... kalau iseng," bisiknya di sela pelukan.

Kebahagiaan di hati Dhea buncah. Wajahnya sontak menjadi cerah. Ia baru ingat kalau hari ini; ia berulang tahun.

"Make a wish," kata Herman sembari mengangkat kue tart di depan wajah Dhea.

Dhea memejamkan mata. Berdoa dalam hati:

"Tuhan, terima kasih atas kehidupan yang kautitipkan padaku."

Bukankah mensyukuri hidup juga salah satu doa terbaik?

Komentar

Postingan Populer