Bacaan Favorit



Buku-buku bertumpuk di kanan-kirinya. Kebanyakan adalah novel dan cerpen. Sebagian lagi buku-buku filsafat. Wajah kuyunya menghadap di layar 12 inchi. Tangannya menari-nari di atas tuts komputer jinjingnya. Tentu saja, tak lupa secangkir kopi, yang ia teguk setiap kali matanya memudar karena kantuk.

Sudah dua jam, ia bersipandang dengan layar. Sesekali, ia meraih salah satu novel atau cerpen. Matanya menyelidik. Mengintip struktur kalimat dan perpindahan alinea. Ia tersenyum dan mengangguk-ngangguk sendiri, setelah merasa paham.

Adiknya yang berusia 15 tahun, sedari tadi memerhatikannya. Di mata adiknya, ia sudah menjelma seperti orang sinting. Penjelmaan Dr. Frankenstein yang terlalu sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Kaku dan dingin. Bahkan, ketika adiknya melihat-lihat jenis bukunya--karena khawatir kakaknya membaca buku-buku aneh, yang menyebabkan sang kakak terlihat kurang waras--ia tidak menggubris. Abai.

"Kok  sedikit novel soal cinta-cintaan?" tanya adiknya. "Kurang romantis juga."

Ia tak menggubris. Matanya masih terpancang di layar.

"Nggak suka tema cinta-cintaan ya?" adiknya bertanya lagi.

Tetap diam.

"Abang jomblo ya?" goda adiknya.

Seketika ia menoleh. 

"Aku single, bukan jomblo," jawabnya. Lantas kembali memandang layar.

Sama saja, batin adiknya.

"Abang nggak suka novel romance ya?"

"Semua novel itu mendukung romance," katanya, "jika yang kau maksud romance itu cinta."

"Mana? Nggak ada yang benar-benar romance tuh?"

Ia menoleh. "Ini!" Ia menunjuk salah satu novel.

"Rembulan Tenggelam di Wajahmu," adiknya membaca judul novel yang ditunjukkannya. "Ini bukan cinta-cintaan ceritanya."

"Aku bilang mendukung, bukan kisah cinta-cintaan melankolis," jawabnya. "Di buku ini kamu akan dapat pemahaman, bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini. Kita saling berhubungan. Kita bisa menjadi sebab-akibat untuk seseorang. Kita akan dibawa untuk memahami takdir."

"Lalu?" adiknya bingung.

"Agar kamu mendapatkan kisah cinta yang baik, kamu harus memahami cara kerja takdir. Bagaimana ia bisa saling mengikat kita," katanya, lantas kembali menekuri laptopnya.

"Lalu ini?"

Ia menoleh. "Bulan Terbelah di Langit Amerika," ucapnya, "di sana kamu akan diajak untuk saling menghargai, saling mendengar, saling memahami."

"Hubungannya dengan cinta?"

"Bagaimana kamu bisa mempertahankan kisah cintamu, kalau kamu tak mau saling menghargai?" Ia kembali memandangi laptopnya.

"Bagaimana dengan ini?"

Kembali, ia menoleh. "Filosofi Kopi," ucapnya, "di sana kamu bisa temukan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan yang ada di dunia ini, hanyalah sebuah kualitas yang kita klaim sebagai yang terbaik. Dan ketika ada yang lebih baik kualitasnya, kesempurnaan yang mereka bangga-banggakan akan runtuh."

"Aku nggak ngerti." Adiknya garuk-garuk kepala.

"Dengan memahami bahwa tidak ada yang sempurna, kita bisa mengurangi kadar kesombongan. Kita bisa menerima pasangan kita yang tak sempurna, karena sadar bahwa diri kita juga tak sempurna. Akhirnya, kita pun saling melengkapi," jelasnya. "Sebab cinta itu saling melengkapi."

Adiknya kembali melihat-lihat novelnya yang lain. "Time Keeper?"

"Waktu itu berharga," katanya, "dan satu-satunya waktu yang terbuang sia-sia, adalah waktu yang kita gunakan untuk berpikir bahwa kita sendirian."

"The School Good and Evil?"

"Ever, Never, Ever After, Never More, dan apa yang tak dimiliki penjahat tetapi membuat putri bertahan?" ucapnya. "Cinta."

"Telepon Pertama dari Surga?"

"Ah, itu belum semua kubaca," jawabnya.

"Nggak ada novel kaya' AADC, AAC, KCB, TOP, BGT?"

"Nggak ada," katanya, "Kurang suka."

"Puisi kakek Gibran?"

"Si korban PHP?!" katanya. "Jauh-jauhlah dari PHP."

"Laila Majnun?"

"Mending kamu baca ini." Ia menyerahkan sebuah buku, yang ia ambil dari laci nakasnya. "Latihan Soal UNAS Terlengkap."

Si adik terkejut.

"Belajar sana daripada gangguin terus!"

Adiknya seraya keluar dari kamarnya, dengan langkah gontai.

Komentar

Postingan Populer