Kau dan Temanmu



Aku menanti dengan gelisah. Tak sabar rasanya untuk mendengar pintu rumahku diketuk. Tentu aku berharap, ketika bunyi ketukan itu terdengar dan menguak pintu lebar-lebar; yang ada di depanku adalah kamu dengan tuksedo hitam mewah yang melekat di tubuh kekarmu. Dan kalau boleh berharap lebih, aku harap kamu tak lupa menghadiahiku setangkai mawar yang baru mekar tadi pagi. Pasti indah dan romantis.

Tetapi jam tua di ruang tamu baru saja berdentang tujuh kali. Dan senja telah lenyap sejak sejam yang lalu. Padahal kamu berjanji datang pukul setengah tujuh.

"Tok! Tok!"

Ah, kamu terlambat setengah jam. Menyebalkan. Tetapi itu tak masalah. Yang terpenting sekarang, kamu telah datang. Pasti di luar sana wajahmu harap-harap cemas; takut kalau aku marah padamu.

"Aku datang, Darling!"

Sayangnya bukan kamu yang berdiri di depan pintu. Hanya Pak RT yang menagih iuran bulanan warga. Kamu tak tahu betapa malunya aku, saat memanggil lelaki berusia setengah abad yang sudah punya anak, istri dan juga cucu, dengan sebutan 'Darling'.

Kamu benar-benar menyebalkan.

***

Jam tua di ruang tamu baru saja berdentang delapan kali. Mukaku masih cemberut akibat kejadian memalukan sejam yang lalu, dan makin kusut saat kamu belum juga datang.

Asal kamu tahu, kini kamu telah benar-benar menyebalkan. Kamu menghadiahiku waktu yang harus kuhabiskan dengan menunggu dan merindukanmu. Kamu mungkin pernah dengar; bahwa menunggu adalah pekerjaan paling berat. Dan menjadi dua kali lipat lebih menyiksa ketika disandingkan dengan rindu.

"Tok! Tok!"

Sudah kuduga kamu akan datang. Kamu tidak akan mengingkari janji. Terlebih janji itu kepadaku.

"Kenapa lama se--"

Sial! Lagi-lagi bukan kamu. Hanya gadis remaja seusiaku, dengan rambut hitam sebahu yang datang dengan gaun pestanya. Namanya, Rin. Temanku. Sejak tadi sore ia membujukku untuk ikut dengannya ke pesta.

"Hi, May!" sapanya. "Kamu beneran nggak mau datang ke pesta?"

"Aku sudah ada janji," jawabku. "Maaf banget ya."

Ia berbalik badan. Menuju jalanan gelap yang diterangi lampu-lampu remang. Masuk ke mobilnya. Dan segera melesat, membelah udara malam.

Aku kembali ke sofa tua yang sudah bau apek dan sedikit bernoda bekas tumpahan kopi. Menunggu kamu yang tak kunjung datang.

***

Ke manakah kamu? Kenapa belum juga datang? Apa yang terjadi denganmu?

Aku tak bisa menghitung, berapa kali pertanyaan-pertanyaan itu muncul di otakku. Menggangguku agar curiga padamu.

Jam tua di ruang tamu baru saja berdentang sembilan kali. Jika terdengar bunyi ketukan, aku tak berani berprasangka itu kamu.

"Tok! Tok!"

Aku menguak pintu dengan malas.

Dan benar seperti dugaanku; bukan kamu yang datang.

"Cari siapa ya?"

Aku tidak mengenal lelaki di depanku. Usianya mungkin sekitar 30 tahunan. Di wajahnya yang ditumbuhi jambang, kebingungan jelas terpancar.

"Ini benar rumah Ibu Maya?" ia bertanya. Alisnya berkerut.

"Ya, saya Maya. Ada apa ya, Pak?"

Kulihat ia ragu-ragu menjawab.

"Suami Anda kecelakaan," katanya kemudian, setelah menghabiskan waktu lima detik dalam diam.

Aku tidak terkejut ataupun kaget. Malahan bingung.

"Maaf, saya belum menikah."

Lelaki itu bingung. "Nama Anda Maya Widya, bukan?" ia bertanya kembali.

Aku menggeleng. "Maya Sari."

"O maaf kalau begitu. Saya salah orang berarti," katanya. "Maaf mengganggu. Mari ..." Ia mengangguk-angguk tak enak hati, seperti ayam yang sedang mematuk biji-bijian.

Semua ini begitu menyebalkan. Kamu tentu tahu? Ketika kita menunggu seseorang, terlebih kita menandainya lewat ketukan atau dering ponsel darinya. Dan yang justru datang atau menelpon bukanlah orang yang diharapkan--dan itu berkali-kali. Akan sangat serasa memuakkan dan menyiksa.

Kenapa?

Karena menunggu harapan untuk tercapai, tetapi yang hadir hanya bayangan bahwa harapan itu telah tercapai, padahal belum. Kita harus merasakan kekecewaan mendalam karena harapan kita masih menjadi mimpi. Belum nyata. Dan sialnya kita harus menunggu lagi bersama bayangan-bayangan itu lagi.

Itu menyebalkan, bukan?

***

Jam tua di ruang tamu berdentang sepuluh kali. Malam kian larut dan menyerah pada keheningan. Hanya terdengar desau angin yang melenguh pilu.

Aku berdiri di teras rumah, dengan pintu yang telah kukunci. Rumahku telah menjadi tempat membosankan. Menunggumu datang pun juga sama membosankan.

Aku pergi. Mencari tempat di kota ini yang kira-kira masih dihuni keramaian. Dan bila telah kudapatkan tempat itu, mungkin aku akan terlena dan akan lupa pulang ke rumah selama beberapa hari.

Padahal kutahu kamu tak punya waktu tiap hari untuk menemuiku. Tapi biarlah. Anggap saja kamu kurang beruntung. Dan silakan kamu pulang bersama teman yang kamu bawa kemari.

'Teman?'

Yah, teman yang kumaksud; bukanlah teman yang mengantarkan kamu. Bukan yang menunggu di dalam mobil, saat kamu sibuk membaca kisah yang kutulis ini--untuk membunuh kebosanan menunggumu tadi. Bukan pula yang menghiburmu kala ketika tahu aku telah pergi.

Ngomong-ngomong, aku tahu nama temanmu itu. Namanya 'Penyesalan',  bukan? Aku yakin kamu setuju. Dan setelah kupikir; kalian memang serasi sebagai sahabat. Karena kalian selalu suka datang terlambat.

Komentar

Postingan Populer