Sepatu Cerewet



Ruangan ini terasa senyap karena diisi dua orang yang mulutnya saling terbungkam. Mengatup rapat. Yang lebih memilih untuk tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing, tanpa perlu saling mengganggu.

Di sana, di antara cat-cat warna, kuas, dan sepatu polos sebagai kanvas, Dhona duduk bersilah dengan khidmat. Tangan kanannya dengan lincah menggores warna, memadukannya dengan komposisi yang tepat hingga terbentuk sebuah gambar yang indah.

Sedangkan, aku di sini, duduk di kursi kayu jati, dengan penerangan lampu bohlam yang cukup mendukung untuk membaca. Berada di sini, dengan suasana semacam ini—hening—sangat pas untuk otakku melahap sebuah buku. Dan, aku terasa tenggelam dalam lautan aksara. Berselimut dalam balutan diksi dan frase.

"Hey!" tiba-tiba Dhona memanggilku dari kejauhan. Suara pertama setelah lama ruangan ini dipenuhi kesunyian. Kukira hari ini akan berlalu tanpa pembicaraan di antara kita. Entah mengapa, akhir-akhir ini, menjelang ulang tahun berdirinya toko sepatu lukis milik Dhona, dia lebih banyak bungkam, dan sibuk menggelontorkan waktu untuk menggambar. "Aku mau minta pendapatmu."

Dhona lantas menghampiriku, sambil membawa hasil karyanya. Lalu menunjukkan sepatu lukisnya tepat di depan wajahku.

"Ada apa?" tanyaku, sambil memerhatikan lekat hasil karyanya.

"Bagaimana menurutmu?" dia bertanya. Suaranya terdengar serius. Aku tak lagi memandangi sepatu yang telah dilukisnya, tetapi berpaling ke wajahnya. Ada keruh di sana.

"Seperti biasanya, bagus," jawabku, "kamu sudah hampir enam tahun menggeluti bidang ini, jadi, aku nggak ragu. Kamu berbakat."

Namun sepertinya, jawaban itu tak membuatnya senang. Wajah cantiknya ditekuk. Lantas mengambil sebuah kursi lipat, membukanya, lalu duduk di dekatku.

"Kamu nggak ngerti," ucap Dhona lemas. Dia mendengus. "Kamu sudah banyak bantu aku. Sering. Tapi, kamu nggak ngerti masalahku yang satu ini."

Dhona membuang sepatu lukisnya ke lantai. Sepasang sepatu itu tergolek pasrah.

"Kamu kenapa?" tanyaku, sambil memberesi sepatu yang tercampakkan.

"Aku ini terpenjara. Seniku terkekang," jawabnya. "Aku dibidang ini sudah hampir enam tahun. Tapi, lihat saja sepatu itu, dan sepatu-sepatu yang pernah kubuat. Kamu pasti tahu apa maksudku."

Aku memerhatikan sepatu yang kini ada di tanganku lebih teliti. Seperti biasanya, indah. Dengan gambar salah satu karakter komik.

Lalu, aku mengingat beberapa sepatu yang telah dilukisnya, selama enam tahun ini. Seperti biasa, indah, dengan beragam motif: dari gambar tokoh komik, bunga, bendera, zetangle, doodle art, atau batik.

Tetapi, mengingat kata 'seperti biasanya'—yang kukatakan dan Dhona tak menyukainya. Otakku seolah menangkap sesuatu yang salah, yang mungkin di sanalah masalahnya; bila digabungkan pernyataan Dhona atas penyanderaan seninya.

Jangan-jangan itu maksudnya!

"Begitukah maksudmu?" Aku melirik padanya. "Senimu hanya terbatas pada apa yang sudah ada, sudah umum. Dan, kamu merasa hanya sebagai peniru. Bisu, karyamu bisu." imbuhku.

"Tepat, Dhani! Kalau begini terus, usahaku juga lambat laun bakal menyusut," Dhona menimpali. "Aku jenuh meniru apa yang sudah ada. Saatnya untukku menemukan karakter seniku sendiri. Aku mau buat seni yang bisa berbicara. Sepatu yang bisa berkata-kata. Berbeda dari yang lain."

Aku menutup bukuku yang masih terbuka dan menganggur. Pembicaraan ini terlalu seru untuk dilewatkan.

"Menyampaikan aspirasi, pesan, dan filosofi lewat gambar di sepatu. Sebagai simbol atas perjalanan seorang manusia yang memakainya," Tanganku mengepal, semangat.

"Betul!" balas Dhona, "Ini akan jadi sepatu lukis, yang paling cerewet. Dan, aku ingin membuat yang seperti itu."

Aku mengangguk setuju. "Aku akan bantu kamu. Untuk sepatu cerewet itu."

"Aku sangat membutuhkan bantuanmu," Dhona berujar, "kamu pandai berfilosofi, dan itulah yang kubutuhkan darimu. Nantinya, aku akan mengaplikasikannya dalam lukisan."

Aku terdiam sejenak, berpikir. Boleh.

"Setuju?" Lengan Dhona mengulur. Jemarinya yang lentik membuka, minta  disambut.

"Setuju." Aku merengkuh tangannya, dengan semangat.

***

Setelah hari itu, aku dan Dhona, mulai memeras otak. Mengurangi jatah tidur kami, serta menambah porsi kopi yang harus kami sesap setiap harinya.

Aku disibukkan dengan mempelajari masalah sosial yang sedang hangat-hangatnya. Mencari kritik yang tepat. Pesan yang bermanfaat. Untuk kemudian dibalut dengan sebuah filosofi gambar. Agar tidak kentara; terlalu menggurui.

Sedangkan, Dhona, jemarinya sudah banyak ternoda cat. Semangatnya membara untuk terus melukis gambar yang sesuai dengan apa yang aku maksud dengan 'gambar yang memiliki makna'.

***

Sesudah hampir tiga pekan, kami akhirnya bisa membuat sepatu lukis yang bisa bicara. Kami menyelipkan sebuah filosofi, sejenis kata-kata petuah dalam sebentuk gambar. Disediakan sebuah rak khusus untuk menampung sepatu cerewet ini.

Dan kian hari, toko sepatu lukis milik Dhona kian ramai pembeli, karena dianggap berkarakter.

"Bisa tunjukkan sepatu yang itu," kata seorang gadis padaku. Kebetulan hari ini, aku membantu Dhona di tokonya.

"Yang ini?" tanyaku, sambil menuding sebuah sepatu berlukiskan: dua tangan—berkulit hitam dan putih—yang saling mendekap, mengepal membentuk lingkaran yang dimaksudkan sebagai bumi, di bagian upper-nya. Lingkaran itu diberi warna biru, sebagai lautnya. Sedangkan, warna daratannya adalah warna dari kulit kedua tangan itu. Lalu dikanan-kirinya, ada lambang lingkaran peace, yang diapit oleh dua ekor merpati.

Gadis itu mengangguk. Aku lantas mengambilkan, dan menyerahkan sepatu lukis yang dimaksud padanya, untuk diamati.

"Apa arti dari gambar ini?" gadis itu bertanya setelah pengamatannya yang melahap waktu sekitar 30 detik. "Bisa jelaskan?"

Aku meraih sepatu itu, berpura-pura mengamatinya dengan serius, lalu mengangguk; bisa.

"Lukisan di sepatu ini memiliki arti: bahwa perdamaian, kebebasan, freedom itu tidak membeda-bedakan siapa kamu, siapa aku. Perdamaian tidak mengenal apa warna kulitmu, kaya atau miskin, hitam atau putih. Semua perbedaan akan indah, bila melebur dalam perdamaian. No racism," aku menjelaskan.

Gadis itu manggut-manggut. Entah, apakah dia paham dengan apa yang telah kukatakan barusan? Tapi, aku berpendapat dia mengerti.

"Baiklah, aku suka sepatu ini. Filosofinya cocok untukku yang cinta damai." Gadis itu meraih sepatu perlambang perdamaian dari tanganku. Lantas menuju kasir untuk membayarnya.

Lalu, tak beberapa lama, setelah gadis itu pergi. Seorang cowok, berusia sekitar 20 tahunan, datang kepadaku, sambil membawa sepatu berlukiskan: tiga tanda panah berwarna hitam—yang berasal dari kanan, kiri, dan upper—yang menuju pada ujung sepatu yang bertuliskan kata 'OLETHEA'.

"Kamu bisa jelaskan arti lukisan di sepatu ini?" tanya cowok itu.

Aku meraih sepatu dari tangannya, berpura-pura memerhatikan dengan serius—seperti tadi. "Olethea adalah sebuah kata dari bahasa latin yang berarti kebenaran. Dan, bila digabungkan dengan tiga garis yang menuju ke tulisan ini, maka, akan memiliki arti: dari mana pun kamu berasal, di mana pun kamu memulai hidupmu, tetaplah kamu menuju kebenaran. Carilah kebenaran," jelasku.

Cowok itu manggut-manggut. Sepertinya paham. Dan, seperti gadis tadi, dia lantas menuju kasir untuk membayar sepatu itu.

***

Gelap sudah mencemari langit. Bulan menggantung di angkasa. Hawa dingin menyetubuhi kulitku.

Toko Dhona sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Dua karyawannya juga telah pulang. Kini, hanya ada aku dan Dhona, di sini. Aku membantunya menghitung pemasukan hari ini, dengan lampu yang dimatikan beberapa, untuk memberi kesan toko sudah tutup.

"Pemasukan hari ini lumayan," kataku, mengisi jeda hening di antara kami.

Dhona tersenyum simpul. "Aku turut bersyukur dengan itu," ucapnya. "Aku punya sesuatu untukmu." Dia beranjak menuju meja kasir, merunduk, mengambil sebuah kotak dari lemari di bawahnya, lantas kembali ke tempat duduknya tadi. "Ini buat kamu," katanya, memberikan kotak kardus itu padaku.

"Perasaan aku nggak ulang tahun deh," ujarku bercanda.

Dhona tergelak. "Ini tanda terima kasihku," katanya. "Bukalah."

Aku membukanya.

Ternyata isinya adalah sepasang sepatu berlukiskan: kepala pria yang mengenakan helm bersayap, di bagian samping sepatu. Di bagian upper-nya terdapat tongkat kadukeus (tongkat yang dililit oleh dua ular, dan bersayap dibagian kepala tongkatnya).

Aku tersenyum. "Hermes?" Melihat sepatu pemberian Dhona, mengingatkanku dengan sandal bersayap milik Dewa Hermes.

Dia mengangguk. "Cocok buatmu, dewa pembawa pesan, juga perlambang kebebasan."

"Nggak berlebihan apa?" tanyaku.

Dhona menggeleng. "Kalau nggak ada kamu, yang mengatakan karyaku itu bisu, dan membantuku. Mungkin, selamanya aku tak bisa menemukan karakterku. Keinginanku akan karya. Kamu adalah pembebasku."

Aku kembali menghidangkan senyum. "Suatu kehormatan menerimanya."

Dhona kembali tergelak, sebagai tanggapan atas sikap sok resmiku.

"Aku mau ubah nama toko ini," katanya kemudian, setelah tawanya reda. "Atau lebih tepatnya, menambahkannya."

"Ganti?" tanyaku, "apa?"

Dhona melirikku genit, seolah nama baru yang akan diungkapkannya, adalah sesuatu yang akan bisa membuatku menggigil karena terkejut.

"Aku ganti dengan 'Dhona Dhani'," ucapnya, menyebutkan nama toko barunya.

"Namaku dan namamu, jadi satu, untuk toko kamu ini?!" Benar ini memang mengejutkan.

"Tenanglah!" Dhona memberi saran. "Bagaimana? Kamu setuju, 'kan?"

Aku terdiam sejenak. Berpikir. Memandangi langit-langit ruangan yang sedikit remang.

"Bagaimana?" Dhona bertanya kembali. Penasaran.

Aku menyunggingkan senyum. "Suatu kehormatan menerimanya," ucapku bernada sok resmi.

Tawa Dhona mengalir deras kembali. Hingga, aku juga ikut terhanyut olehnya. Tawa kami lantas mengapung, bermuara ke lautan udara malam yang hening.

Surabaya, 15 Desember 2014 ; pukul 10.20

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer