Hari Baru yang Ceroboh



Hari yang baru. Di kota yang baru. Dengan segudang pengalaman baru yang menanti.

Aku naik bis nomer 07. Menuju kantor tempat wawancara kerjaku. Ini pengalaman pertamaku naik bis kota. Hal baru bagiku ketika harus berdiri karena tak dapat tempat duduk. Menggantungkan keseimbangan tubuhku, pada sebilah besi karatan yang melintang di atas kerumunan kepala. Juga, ketika harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Bersama beragam aroma parfum dan bau keringat, yang hinggap di hidungku. Memualkan.

Dari himpitan tubuh penumpang, kenek bis menyelinap. Menagih satu demi satu ongkos. Lima ribu. Orang-orang menyodorkan uang mereka. Membayar. Terlihat senyum yang sedang mengembang di antara pipi si kenek. Ah, pagi yang menyenangkan untuknya; banyak penumpang berarti banyak rejeki. Tapi tidak bagiku.

"Mas, ongkosnya?" Kenek bis sampai di dekatku. Tangannya menjulur. Menagih ongkos.

Aku tersenyum. Sekedar berbasa-basi. Lantas merogoh saku celana. Mengambil dompet.

Sial! Tidak ada.

Aku mencari di saku lainnya.

Sial! Tidak ada juga.

Keningku mengerut. Berkeringat.

"Cepetan ongkosnya mana?!" kata kenek bis tak sabar. Kumis tebalnya yang ditumbuhi uban bergoyang lirih, terkena embusan napasnya yang marah.

Demi melihat pak kenek yang mulai marah, aku bergidik. Kembali aku merogoh saku celana, barangkali ada uang terselip, yang bisa menyelamatkanku dari amukannya.

"Maaf," kataku, menyesal. "Dompet saya nggak ada. Hilang."

"Lha, terus?!" hardiknya.

Aku bungkam. Menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Bingung harus menjawab apa.

"Turun saja sana!" bentak pak kenek. "Enak aja, naik bis nggak mau bayar. Memang punya nenek kau bis ini?!"

"Pak ... bisa—" kataku memohon keringanan untuk hari ini. Tetapi langsung dipotong sebelum sempat merampungkannya.

"Nggak bisa!" selanya. "Turun sana!"

Aku berbalik badan. Berjalan perlahan menuju pintu. Mataku melirik ke sekelilingku. Siapa yang mengambil dompetku? Dan, tidak adakah yang mau menolongku? Tapi wajah-wajah itu seperti patung. Tak ada hirau.

Oke, tak apalah aku berjalan kaki sampai tujuan.

"Tunggu!" tiba-tiba suara seorang gadis terdengar. Menghentikan langkahku yang mencoba menyibak kerumunan orang. "Biar saya yang bayar."

Gadis berambut hitam sebahu, mengenakan kemeja dan celana jeans itu, berdiri dari duduknya, membayar ongkos untukku. Lima ribu.

Pak kenek langsung menjuhut uang itu, lantas berlalu menagih ongkos ke penumpang lainnya.

"Terima kasih," kataku. "Aku akan mengganti—"

"Tidak perlu," potongnya tiba-tiba. Ia kembali ke tempat duduknya. "Lagi pula itu hanya kebaikan kecil."

"Terima kasih," kataku lagi. "Itu sangat berarti."

Ia tersenyum. Manis.

"Pengalaman pertama naik bis kota?" tanyanya.

Sungguh hebat. Ia seperti cenayang saja. Bisa menebak kalau ini adalah pengalaman pertamaku naik bis kota. Aku kagum.

"Kenapa?" tanyaku. "Kelihatan banget ya?"

Ia tersenyum lagi. Mengangguk.

"Kamu tahu, 'kan? Pengalaman pertama terkadang membuat orang ceroboh," jelasnya.

Komentar

Postingan Populer