Pizza-man



Frank menelepon Lusi—kekasihnya yang berada ribuan mil dari New York. Ia rindu. Sudah dua tahun, ia tak bertemu ataupun mendengarnya.

“Halo, siapa ini?” terdengar suara Lusi. Frank tersenyum.

"Kau pasti takkan bisa menduga, siapa yang meneleponmu sepagi ini."

Hening sejenak. Tak ada sahutan dari Lusi.

"Halo? Kau masih mendengarku, Lusi?" tanya Frank, memastikan kalau Lusi tidak menutup teleponnya.

"Maaf, kami tak memesan pizza," sahut Lusi akhirnya. "Lagi pula, makan pizza malam hari akan membuatku gendut."

"Aku bukan lagi pengantar pizza," Frank mencoba menjelaskan. "Aku kini seorang pengusaha."

"Oh, benarkah?" nada bicara Lusi terdengar meledek. "Biar kutabak. Kau ... pengusaha restoran?"

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sudah kubilang, aku hanya menebak," jelas Lusi. "Restoran Italia?"

"Benar sekali, dan kini aku sukses. Kaya raya."

"Apa yang kau jual? Spagetti, pasta, atau pizza?"

"Pizza," jawab Frank.

"Oh, ini buang-buang waktu, harusnya aku sudah bisa menduganya."

Komentar

Postingan Populer