Hidup Adalah Ruang Kosong

Aku ingat betul telepon di hari kala kita akan berpisah, empat tahun lalu. Saat itu kamu meminta untuk bertemu denganku. Katamu, ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan.

Dari suaramu yang bergetar dan agak terkesan takut-takut waktu bicara di telepon, aku sudah mencium gelagat kurang baik. Di balik kata-katamu, kurasa tersimpan nasib sial yang akan menimpaku. Sebenarnya, aku bisa sedikit menduga apa tepatnya itu. Hanya saja, aku tak meyakini, tepatnya tak mau meyakini apa yang melintas di kepalaku saat itu, sekalipun hal tersebut benar pada akhirnya.

Kita bertemu di warung bakso yang berada di salah satu lantai, sebuah gedung pertokoan. Kamu datang dengan mengenakan jilbab biru-muda polos yang longgar dan rok panjang. Aku tak tahu pakaian apa yang kamu kenakan saat itu, karena kamu membungkus tubuh bagian atasmu dengan jaket berwarna kelabu yang kuhadiahkan padamu di hari ulang-tahunmu. Seperti biasa wajahmu tetap cantik, walaupun kamu hanya memolesnya dengan bedak tipis saja. Kamu bahkan tak melumuri bibirmu yang memang sudah merona itu dengan gincu, dan itu gagasan bagus. Satu hal yang kusesalkan adalah kacamata baca yang bertengger di tulang hidungmu yang mungil itu (untuk tak menyebutnya pesek) meskipun kamu tahu tak perlu memakainya di saat macam begini. Sebab, dengan jilbab yang membingkai wajahmu dan kacamata masih kamu pakai, wajahmu mengingatkanku pada robot kucing yang mengaku berasal dari abad 22. Menggelikan. Tetapi meski begitu aku memakluminya. Di mataku kamu tetaplah yang tercantik.

Aku memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk. Sambil menunggu pesanan diantar, kamu pun mulai bicara.

Dengan agak ragu dan tercekat, seolah kekhawatiran mencekik lehermu hingga membikinmu susah bicara, kamu mengakui bahwa hubungan kita sudah tak bisa lagi diselamatkan dan karenanya mesti diakhiri. Pengakuan itu kamu pungkasi dengan permintaan maaf sedalam-dalamnya karena mesti mengambil keputusan itu. Bagaimanapun, katamu, cinta tidak bisa dipaksakan.

Saat itu aku tidak menanyakan alasanmu mengambil keputusan itu. Jauh sebelum kita bertemu pada hari ini, aku sudah mengendus hubunganmu dengan pemuda lain. Bahkan kawan-kawanmu mengadukan perselingkuhanmu itu dengannya. Hanya saja, aku kelewat keras kepala, dan membuang pikiran buruk tentangmu jauh-jauh. Keyakinanku, gadis sebaik kamu tidak mungkin melakukan hal semenyebalkan itu. Namun rupanya aku keliru. Dan, bodohnya aku tidak mempercayai kecurigaanku. Aku sudah tahu alasanmu, dan karenanya, merupakan hal tolol bila masih perlu menanyakannya.

Bisa kurasakan, dadaku menggelegak panas oleh luapan amarah. Aku ingin mengerang keras, meraung bagai beruang kerasukan. Aku ingin menjulukimu lonte, tetapi aku tidak berhak, dan kamu sama sekali tidak layak disebut begitu. Di meja, ada botol kecap, botol saus, wadah sambal, tusuk gigi, garpu dan sendok. Kamu tahu apa yang aku pikirkan tentang benda-benda itu pada saat itu? Tentunya, sesuatu yang buruk lagi ceroboh yang andaikata kulakukan bakal memberiku cukup alasan untuk menginap di penjara selama sekian tahun. Namun bukan itu alasan aku tak melakukan hal buruk itu padamu. Aku menyayangimu. Aku tidak mau menyakitimu seujung rambut pun.

Dengan amarah tertahan yang begitu kentara dalam suaraku, aku pun berkata padamu, "Ya, baiklah. Cinta memang tak mesti memiliki."

Tak lama makanan kita datang. Kita melahapnya dalam diam, tanpa obrolan yang biasa mengiringi seperti di pertemuan-pertemuan kita sebelumnya.

Pertemuan itu pun berlangsung singkat, sesingkat waktu yang kita butuhkan untuk memesan makanan dan menghabiskannya. Lalu, kita pulang. Kita berpisah. Kita melangkah di jalan yang berbeda-beda, kini. Kamu menuju jalan kelegaan karena sudah melepaskan satu beban di pundakmu, sekalipun sesekali dibayangi perasaan bersalah. Sementara, aku menuju jalan kemurungan, berusaha menutup lubang yang kamu tinggalkan di hati.

Hari-hari semenjak kita berpisah, kuhabiskan dengan senang-senang. Berfoya-foya. Berusaha menumpas kesedihan.

Kamu tahu apa pendapatku soal itu? Kupikir orang yang banyak menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang adalah orang yang justru tidak bahagia, sekalipun yang ditampakkannya tawa dan tawa. Oleh karenanya, aku menghentikan kegiatan senang-senangku.

Aku lalu beralih untuk menggeluti hobi lamaku. Membaca dan menulis. Aku mulai dekat kembali dengan perpustakaan. Aku mulai menyambangi kembali toko buku, demi menambah koleksi buku-bukuku yang sangat minim. Aku mulai ikut beragam workshop menulis. Aku mulai bergabung dengan komunitas-komunitas menulis. Aku mulai berani membikin satu dua cerpen untuk diikutkan lomba dan dikirim ke media. Aku mulai bisa melakukan banyak hal yang tak bisa kulakukan saat kita bersama dulu. Kamu tahu, dulu yang kulakukan hanya merindukanmu, memikirkanmu, sibuk membantah tuduhan buruk tentangmu yang timbul di hati.

Dengan apa yang aku alami ini, setidaknya aku mendapat satu pemahaman: Mulanya, kupikir, saat kamu lenyap dari hidupku, akan selalu ada lubang di hatiku. Namun nyatanya tidak selalu begitu. Kupikir hidup merupakan sebuah ruang kosong yang perlu diisi dengan sesuatu. Ketika sesuatu yang pernah mengisinya itu lenyap atau pergi, kita hanya perlu mengisinya kembali dengan sesuatu yang baru. Entah apa atau siapa.

SEKIAN

Komentar

Postingan Populer