Bocah yang Jatuh Cinta

Salah satu jawaban yang kadang kupakai saat teman-temanku menanyakan perihal kisah asmaraku yang tidak jelas dan belum menunjukkan perkembangan bagus, adalah: "Kau tak perlu khawatir. Aku tahu caranya jatuh cinta. Aku bahkan sudah mengalaminya saat usiaku masih belum genap tujuh tahun."

Biasanya mereka langsung menanggapinya dengan tawa. Tentu jawaban tersebut bukan lelucon, bahkan jika kau tetap memaksa untuk menyebutnya sebagai lelucon, kau bakal dibingungkan soal di mana letak kelucuannya. Mereka tertawa hanya demi menghargai jawaban tersebut, yang mungkin mereka anggap sebagai karangan atau candaan belaka, dari orang-yang-tak-memiliki-apa-yang-mereka-miliki.

Jujur, jawaban itu bukan karangan belaka. Aku pernah mengalami, merasakan, bahkan menikmati apa yang sering kita sebut sebagai jatuh cinta. Dan seperti yang tadi kubilang, saat itu, aku masih berusia kurang dari tujuh tahun.

Lalu kenapa mereka seolah tak percaya dan menganggapnya sebagai candaan belaka? Baikalh, aku akan menceritakan kisahnya lebih detail.

Saat itu adalah saat ketika aku baru saja lulus dari TK dan masuk ke salah satu SD swasta yang bernapaskan Islam. Aku bertemu dengannya, cinta pertamaku itu, kala kami berbaris di halaman sekolah demi melangsungkan upacara. Ia berdiri persis di sisi kiriku, sehingga aku bisa sesekali menoleh kepadanya guna merekam wajahnya sepotong demi sepotong di benakku. Aku tertarik dengan bentuk wajahnya yang lonjong dan tirus, hidungnya yang tak terlalu bangir, bibir tipisnya yang merah, dan matanya yang cerah lagi lugu. Anehnya, mendadak timbul perasaan ganjil yang kuasumsikan meledak di tengah-tengah dadaku, seperti ada tangan gaib yang sedang menaruh cubitan di situ. Selain itu, aku juga merasakan kegembiraan yang tiba-tiba tanpa kutahu apa sebabnya. Kala itu, aku tak tahu mesti menamai apa perasaan tersebut, bahkan mungkin tak terpikir olehku untuk memberinya nama. (Belakangan kutahu sewaktu remaja, orang-orang menyebut gejala-gejala yang kualami saat itu sebagai jatuh cinta.)

Beruntung, ternyata kami sekelas dan aku tahu kalau namanya Rani saat guru mengabsensi kami.

Sayangnya, keberuntunganku habis sampai di situ saja, sebab kami tak bisa duduk semeja. Sekolah mengatur tempat duduk kami menurut jenis kelamin --perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki-- sekalipun paham bahwa anak seusia kami belum mengenal berahi. Kesialan ini diperparah dengan nyaliku yang kelewat ciut untuk mengajaknya bicara ataupun berteman. Sehingga jadilah ia semacam benda antik yang hanya bisa kupandangi tanpa berani kusentuh.

Obrolan terbaik kami sekaligus satu-satunya, terjadi pada suatu pagi sebelum jam masuk sekolah, yang berlangsung cukup singkat. Saat itu ia menanyakan tentang salah satu soal di PR matematika yang tak bisa dijawabnya. Beginilah soal tersebut: 'Berapakah panjang dan lebar meja makanmu di rumah? Juga berapa luasnya?' Bagaimanapun itu pertanyaan paling tolol sedunia, dan siapa pun yang membikin pertanyaan itu pantas dihukum menjilat pantat keledai hingga bersih di neraka. Sebab semua orang belum tentu punya meja. Jikapun punya, bisa jadi bentuknya lingkaran.

"Kamu memang nggak punya meja makan?" tanyaku, mencoba membendung kegirangan yang meluap di hatiku.

"Punya tapi bentuknya bundar."

"Ini, kamu lihat sendiri," kataku seraya menyerahkan buku matematikaku.

Di sana tertulis 4x2 meter = 8 meter (persegi). Sebetulnya itu jawaban ngawur. Di rumahku, yang berupa kontrakan kecil, tak muat dimasuki meja selebar itu. Maka untuk menjawab soal tersebut, aku mengandalkan hitungan kira-kira belaka.

Ia menuliskan jawaban dari bukuku di bukunya.

Sesudahnya, ia cuman mengucapkan terima kasih, lalu pergi. Dan selanjutnya tak ada yang berubah. Aku masih suka memandanginya, meski ia tak pernah akrab denganku.

Seperti kebanyakan kisah cinta, kebersamaan kami mesti berakhir. Ia hanya sekolah di SD tersebut selama setahun, selanjutnya ia bersekolah di tempat lain yang tak pernah kutahu di mana.

Aku sedih. Barangkali juga layak disebut patah hati atas kepergiannya. Anehnya, aku tak menangis, padahal saat itu aku dikenal sebagai bocah cengeng dan sepertinya momen itu memang layak ditangisi.

Demikianlah kisah tersebut berlangsung lalu berakhir, yang menjadi sejarah dari jawabanku semula. Semua terjadi secara rahasia bahkan hanya sepihak. Sebelumnya tidak ada yang tahu kisah ini selain aku dan Tuhan, sampai aku menceritakannya kepada kalian, para pembaca.

Komentar

Postingan Populer