Cinta Itu Apa sih?

Pernah pada suatu pagi, sambil masih berbaring sendirian di kasur dan agak mengantuk dan kepala terasa sedikit berat, aku bertanya-tanya: "Cinta itu apa sih?"

Risiko mengajukan pertanyaan semacam ini adalah kau mesti bersiap dengan beragam jawaban yang alih-alih menumpas rasa penasaranmu malah membikinmu makin bingung. Lain halnya jika kau bertanya: apa itu tahi? maka, kau cuma perlu menunjuk sesuatu yang keluar dari lubang dubur seseorang atau seekor hewan, dan terhapuslah pertanyaanmu soal tahi.

Mendapati fakta semacam itu kuputuskan dari mencari jawaban menjadi memilih salah satu dari sekian banyak jawaban yang menurutku oke.

Beberapa jawaban kubuang ke "kotak sampah", menyisakan beberapa jawaban yang menunggu untuk dipilih atau dieliminasi. Tetapi di tengah-tengah kegiatan tersebut, karena kantuk yang belum sepenuhnya tuntas, aku jatuh tertidur lagi dan meneruskan proses pemilihan jawaban di dalam mimpi. (Kau tak perlu menuduhku mengibul karena bilang begitu. Bukankah begitu cara kerja alam bawah sadar. Ketika kau memikirkan sesuatu terlalu keras, ia akan terbawa hingga ke dalam mimpi.)

***

Di dalam mimpi, mulanya, aku mendapati kegelapan menelanku. Aku meyakini aku sedang berada di suatu tempat, hanya saja sekelilingku serbahitam, pekat. Tak sejumput pun pemandangan yang bisa tertangkap mataku. Namun berangsur-angsur kegelapan memudar. Sebuah jalan terbentang di depanku. Di ujung jalan terdapat sebentuk pintu mengambang di tengah-tengah kegelapan yang masih tersisa. Hanya pintu, tanpa ada dinding atau jendela.

Aku melangkah di jalan itu, membuka pintu, dan masuk ke dalamnya. Awalnya, aku membayangkan akan kembali menemukan kegelapan, tetapi yang kudapati sebuah ruangan kecil berukuran sekitar 4x4 meter dengan dinding dan lantai yang semuanya berwarna putih susu. Dalam ruangan terdapat dua buah sofa berlengan yang kelihatannya nyaman untuk diduduki, dengan sebentuk meja bundar diletakkan di tengah-tengah kedua sofa tersebut. Salah satu sofa sudah diduduki oleh seseorang yang mirip aku, tetapi tampangnya tampak lebih tua dariku (atau memang begitulah wajahku sekarang, sebab aku memang tidak bercermin akhir-akhir ini).

"Kau ini siapa?" tanyaku pada orang itu.

Orang itu berdiri, lalu berjalan mendekat padaku. Ia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Aku menyambutnya dan resmilah kami berjabat tangan. "Kita sama dan itu tidak penting. Duduklah. Kita mengobrol."

Ia kembali duduk di sofanya tadi, dan aku duduk di sofa satunya. Seperti yang kuduga, sofa ini nyaman. Aku mengenyakkan punggungku, lalu mengedarkan mata ke sekeliling. Ruangan ini tampak polos dan menjemukan, tapi pencahayaannya bagus. Aku menengadahkan kepala, mencoba menemukan lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Aneh, langit-langit ruangan bersih, tanpa ada satu pun benda menggantung di sana.

Kekaguman pasti terpancar dari mukaku, sehingga orang-yang-mirip-aku itu berkata, "Ya ampun, tidak perlu kelewat kagum begitu. Seperti di film kartun, di alam mimpi tidak ada yang mustahil."

Aku manggut-manggut.

"Jadi apa yang tersisa?" tanyanya. Aku tahu apa yang ia maksud.

"Pertama, cinta dalam hubungan seorang pria dan wanita, yang lebih mengarah pada erotisme. Kedua, cinta kepada seluruh manusia, umumnya pada sahabat atau keluarga, tetapi banyak yang mengatakan ini bukan cinta, melainkan kasih sayang."

"Kita bahas dua hal itu nanti. Aku punya sebuah pendapat."

"Ya, baiklah. Silahkan bicara."

"Bicara soal cinta, sama halnya bicara soal tuhan."

"Sepertinya menarik."

"Tidak, sama sekali tak menarik. Kuyakin setelah mendengar penjelasanku, kau bakal kecewa karena telah melontarkan komentar barusan."

"Kau coba saja."

"Seseorang bisa saja menganggap sesuatu, misalnya: batu, pohon, segunduk tahi, gunung, matahari, atau apa pun, sebagai tuhan. Namun belum tentu apa yang mereka anggap sebagai tuhan adalah tuhan yang sebenarnya."

"Hmmm... lalu?"

"Begitu pula cinta. Seseorang bisa saja bertemu dengan orang lain yang mampu bikin dadanya bergemuruh dan jantungnya berdetak kencang, lalu menganggap apa yang dirasakannya itu sebagai cinta. Atau, seorang ibu bisa saja menyebut apa yang dilakukannya untuk anaknya sekalipun bertentangan dengan keinginan si anak, sebagai cinta. Namun belum tentu, semua itu layak disebut sebagai cinta."

"Hmmm."

"Apa?"

"Benar katamu," kataku.

Ia meringis, satu sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Kau setuju dengan pendapatku?"

"Setuju tapi bukan itu maksudku?"

"Lalu apa maksudmu?"

"Benar katamu, pendapatmu bikin aku kecewa," kataku, senyum puas terbit di wajahnya yang berjerawat. "Bukannya berpihak pada salah satu dari dua hal yang kita punya, kau malah berkata kalau dua hal itu belum tentu layak dianggap sebagai cinta."

Ia tergelak.

"Bukannya tadi sudah kubilang."

"Aku hanya tidak menyangka pendapatmu malah bikin aku tambah bingung."

"Wajahmu kelihatan tegang, ada baiknya kau melunakkannya dengan secangkir kopi."

Aku melirik pada meja di antara kami. Di sana lengang, tak ada apa pun.

"Kita tidak punya kopi," keluhku.

"Ya, ampun, bukankah sudah kubilang ini alam mimpi. Tidak ada yang mustahil di sini, bahkan hanya untuk memunculkan secangkir ... maaf, maksudku dua cangkir kopi."

Tak lama dua cangkir kopi tersaji di meja. Aku mengambil satu dan menyeruputnya. Nikmat.

Ia tak menyentuh cangkirnya.

"Kau tak minum?"

"Nanti," katanya. "Sekarang kita lanjutkan soal yang tadi."

Aku mendaratkan cangkir kopiku kembali ke meja.

"Aku akan mulai dengan membicarakan bagaimana perilaku sebagian hewan saat kawin. Beberapa hewan, utamanya burung-burung pejantan yang punya bulu indah dan suara merdu, akan menggoda betinanya supaya mau diajak kawin dengan bernyanyi dan melakukan tarian tertentu. Ada juga hewan yang mesti bertarung dahulu sampai mati, sebelum si pemenang bisa kawin dengan betinanya. Ada juga yang langsung seruduk tanpa merayu atau berkelahi lebih dulu, seperti ayam."

"Untuk apa kau menjelaskan hal itu?"

"Aku belum selesai," katanya, lalu ia lanjut menjelaskan, "Para betina, didorong naluri keibuan, akan merawat dan mencukupi kebutuhan anak-anaknya hingga mereka cukup umur untuk mencari makanan sendiri. Semua demi kelangsungan spesies mereka."

Lalu ia diam, seakan menungguku memberi komentar.

"Lalu?" Akhirnya, itulah yang kukatakan.

"Aku yakin manusia melakukan hal yang sama seperti hewan-hewan itu, bedanya mereka menamai apa yang mereka lakukan itu sebagai cinta. Entah apa tujuannya, tetapi aku curiga manusia menamai begitu hanya agar apa yang mereka lakukan terdengar lebih berbudaya, lebih mulia, lebih hebat ketimbang apa yang hewan lakukan, sekalipun keduanya sama belaka. Lalu mereka mengembangkan segala hal yang mampu mempertahankan anggapan itu dengan menciptakan pernikahan yang menurutku hanya berupa seks yang dilegalkan."

"Aku setuju, manusia memang anti sekali dibilang mirip hewan, sekalipun sebenarnya apa yang mereka lakukan sama saja dengan apa yang para hewan lakukan. Tidak hanya hal-hal tabu, seperti seks. Tetapi hal bagus lainnya, seperti bekerja sama."

"Manusia makhluk yang cerdas, sekaligus sombong, tentu saja manusia tak mau disamakan dengan hewan-hewan tolol itu."

"Bukan sombong, lebih tepatnya gengsi mungkin."

"Terserah. Yang mana pun boleh."

"Hahaha..."

"Hahaha..."

"Tapi ini justru menjelaskan kalau sebenarnya cinta hanya sepotong kata miskin makna dan boleh jadi kosong belaka, dan karenanya sulit dicari definisinya."

"Celakalah orang yang kelewat mengagung-agungkan cinta."

"Dan, ketika mereka tahu ternyata cinta tak seperti yang mereka bayangkan dan pahami, mereka kecewa karena itu. Merasa dikhianati dan ditipu."

"Begitulah."

"Jadi apa itu cinta?"

"Cinta itu omong kosong yang dibikin umat manusia."

"Aku setuju," kataku, lalu mengangkat cangkir kopiku. "Mari bersulang."

Lalu ia mengangkat cangkirnya dan menubrukkannya ke cangkirku. Tidak terdengar denting. Malahan cangkir kopi kami menyatu. Saat kami menariknya, mencoba memisahkannya, mendadak kopi dalam cangkir yang menyatu itu meluap, dan menyembur seperti air mancur. Kopi tersebut terus memancar, membanjiri ruangan, dan mulai menenggelamkan tubuh kami. Kami berdua panik sehingga tak sempat berbuat apa pun.

"Mungkin sudah saatnya kau pamit."

"Sialan, padahal aku mau kita berdiskusi soal hal lainnya."

"Soal apa?" katanya, sambil mendongakkan kepala, agar bisa menghirup udara. Lautan kopi sudah menggenang hingga ke leher.

"Soal Tuhan."

"Percayalah ini bukan kali terakhir kita bertemu."

Lalu lautan kopi menenggelamkan wajah kami. Aku banyak menelan air kopi dan membuatku kesulitan bernapas. Kemudian semua mendadak gelap.

***

Aku terbangun dan langsung duduk di kasurku. Dengan rakus kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Satu lubang hidungku buntu rupanya, sementara lubang lainnya juga agak mampet. Sepertinya aku kena flu. Pantas caraku bernapas kurang beres.

Aku lalu beranjak dari tempat tidurku, berpakaian agak tebal, dan pergi membeli obat pilek.

Komentar

Postingan Populer