Buku Perihal Kenangan dan Harapan

Suatu hari Juwita mendapati sebuah buku yang tergeletak di depan pintu rumahnya.

Setelah menengok ke kiri dan kanan, demi mencari siapa yang mengirim buku itu, namun gagal menemukannya; ia lantas memungut buku itu dan memperhatikannya dengan saksama.

Tertulis di sampul depan, buku itu berjudul: "Kenangan dan Harapan". Sebuah judul yang menurutnya kurang menarik. Ia membalik buku itu, menengok sampul belakang. Di sana ia menemukan sebaris kalimat peringatan: "Sekali kau membukanya, kau tidak akan bisa berhenti membacanya."

Gadis itu mengernyitkan kening. Siapa pun yang menulis buku ini pasti sangat sok tahu, atau arogan, mengingat betapa ia yakin bisa membuat seorang pembaca bisa terus menerus membaca bukunya itu—pikirnya. Sayangnya, ia tidak mendapati nama pengarangnya.

Duduk di teras rumahnya, ia mulai membaca. Ia merasa sedikit penasaran dengan isi buku itu.

Dari halaman pertama, ia menyadari bahwa buku itu adalah sebuah novel.

Di bab satu, dikisahkan tentang seorang gadis yang bertemu dengan seorang pemuda di sebuah pesta ulang tahun. Perkenalan keduanya, awalnya, berjalan dengan canggung. Rasa gugup hampir membuat lidah mereka kaku. Sulit berkata-kata. Namun semua mudah teratasi ketika dengan kenekatan luar biasa si pemuda membuka percakapan. Suasana segera mencair. Mereka akhirnya bisa mengobrol dengan akrab tanpa hambatan, seraya saling mencuri pandang wajah masing-masing. Membuat kadar feromon dalam tubuh mereka meningkat. Mereka jatuh dalam perangkap cinta pada pandangan pertama yang begitu memabukkan.

Juwita mengernyitkan kening. Ingatannya terlempar jauh ke masa silam.

Ia masih lanjut membaca.

Di bab dua, dikisahkan, keduanya mulai berkencan. Mereka mengunjungi pasar malam yang diadakan setahun sekali di alun-alun kota. Si pemuda mencoba sebuah permainan lempar di sana, demi mendapatkan boneka beruang untuk si gadis. Sayangnya, permainan itu tidaklah mudah. Berulang kali lemparan si pemuda gagal mengenai sasaran. Barulah di lemparan kesembilan-belas ia berhasil mendapatkan boneka beruang itu, yang artinya setelah tujuh kali membayar giliran untuk melempar. Sebuah tindakan yang—menurut si gadis—sangat konyol; namun justru mencerminkan sikap si pemuda yang pantang menyerah, demi membahagiakan calon kekasihnya itu. Hubungan keduanya makin dekat dan intim.

Kerutan di kening Juwita makin dalam. Ia merasa akrab dengan kisah itu.

Ia terus membacanya.

Di bab tiga, pasangan muda-mudi itu semakin lengket saja. Namun belum ada yang mau mengakui perasaan masing-masing. Si pemuda terperangkap oleh rasa malu dan gugup. Sedangkan si gadis merasa gengsi dan beranggapan bahwa pihak lelakilah yang mesti menyatakannya, bukan pihak perempuan.

Hingga akhirnya, satu malam, si pemuda mengajak si gadis ke sebuah kedai kopi dan memesan dua cangkir cappuccino: Satu, bergambar sebentuk hati. Sedangkan, lainnya berambar daun. Si pemuda lantas berkata, sembari menatap ke dalam mata si gadis, bahwa ia mencintai dan menginginkannya jadi kekasih.

Si pemuda menawarkan dua opsi jawaban. Jika si gadis mau menerima si pemuda sebagai kekasihnya, ia mesti meminum cappuccino bergambar hati. Jika menolak, ia mesti meminum yang bergambar daun.

Dengan sikap genit dan seolah tak tertarik pada tawaran si pemuda, satu tangan si gadis menyentuh cangkir berisi cappuccino bergambar daun. Wajah si pemuda mendadak pasi. Namun, ketika sebelah tangan si gadis ikut menyentuh cangkir berisi cappuccino bergambar hati, dan tanpa ragu meminumnya; wajah si pemuda pecah dengan kegembiraan. Mereka resmi berpacaran.

Juwita terkejut dengan kisah di bab tiga dalam novel itu. Sebab, itu adalah kisah ketika mantan kekasihnya menyatakan cinta padanya.

Dengan gusar, ia menutup buku itu, dan membantingnya ke lantai. Tidak ada alasan untuk terus membacanya. Hanya akan membuatnya sakit hati saja. Hanya akan membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ia lantas beranjak dari duduknya, hendak melangkah masuk rumah.

Namun langkahnya tercegah di ambang pintu. Juwita berhenti begitu menyadari buku itu bergerak-gerak menampar lantai dan terbuka dengan sendirinya tepat di halaman terakhir di mana ia berhenti membaca. Ia memandangi buku itu dengan heran.

Dengan bagian sampul menghadap ke bawah, buku itu mengambang di udara, dan mengepakkan kedua sisinya, seperti seekor burung yang mengepakkan sepasang sayapnya. Buku itu terbang menuju Juwita dan melayang tepat di depannya. Seolah memaksa Juwita untuk terus membaca.

Tangan Juwita menepis buku itu hingga terlempar jatuh di hamparan rerumputan yang lupa dipangkas. Ia lantas masuk ke rumah, mengurung diri di kamar, untuk menangis sepanjang sore.

Namun, keanehan buku itu belumlah berakhir. Buku itu masih bisa bergerak. Masih bisa mengepakkan 'sayap'.

Bertingkah layaknya seekor burung, buku itu terbang mendekat ke jendela kamar Juwita, yang rupanya lupa ditutup. Buku itu lantas masuk melalui jendela tersebut dan menghampiri Juwita, yang tengah duduk dan menangis di ranjangnya sambil memeluk erat kedua lututnya.

Kehadiran buku itu sangat mengejutkan—lebih-lebih mengundang amarah—Juwita. Dengan kasar, ia menutup buku di depannya itu. Namun hal itu bukanlah perkara mudah. Buku itu rupanya mampu meronta. Berkali-kali Juwita memaksakan kehendak untuk menutupnya, berkali-kali pula buku itu membuka kembali, memaksanya untuk terus membaca.

Sambil mendekap erat buku itu dengan sebelah tangannya, Juwita mencari seutas tali. Begitu berhasil menemukannya, ia mengikat buku itu di keempat sisinya. Membuat buku itu terkatup.

Namun, buku itu masih belum berhenti memberontak. Masih terus bergerak-gerak, menggelepar mirip ikan yang sekarat. Buku itu terus membentur-benturkan tubuhnya di lantai, kian menjadi-jadi tiap detiknya, sehingga membikin gaduh. Berisik.

Juwita lantas menindih buku itu dengan nakas di samping ranjangnya, dengan harapan bobot perabotan itu mampu menghentikan tingkah dari buku itu. Namun hal itu sia-sia belaka. Di luar dugaan, buku itu sanggup membikin nakasnya terombang-ambing, memecahkan lampu duduknya, dan memuntahkan beberapa barang di laci—bahkan sekalipun ia ikut menduduki nakas itu.

Salah satu barang yang terlempar adalah foto mantan kekasihnya, yang selama ini masih ia simpan.

Ia lantas berhenti menduduki nakas, dan memungut foto itu. Terbebas dari tekanan yang menindihnya, buku itu kini meloncat-loncat di lantai, serupa lumba-lumba. Namun Juwita mengabaikannya. Ia tekun menekuri sosok pemuda di foto itu.

Ia masih mengingat wajah mantan kekasihnya itu dengan jelas, meski di foto tersebut wajah si pemuda sudah digambarinya dengan sepasang tanduk, sepasang taring, kumis dan jambang yang dibuat asal-asalan. Ia kembali terkenang.

Wajah Juwita kembali sendu. Matanya berkaca-kaca dan tangisnya langsung tumpah dalam sekali kedipan.

Duduk di tepi ranjang, dengan wajah yang telah basah, ia terus memandangi foto itu. Mengenang keindahan dan kisah-kisah manis di masa silam.

Ia hanya berhenti, ketika tiba-tiba buku aneh itu rebah di pangkuannya dalam keadaan terbuka. Entah bagaimana, buku itu telah berhasil melepaskan diri dari ikatan.

Atas dorongan kekesalan juga keputusaan kerena gagal menjauhkan diri dari buku itu, ia pun memutuskan untuk lanjut membacanya.

"Mari kita selesaikan ini," gerutu Juwita.

Seperti dugaannya, bab-bab selanjutnya dari buku itu berisi kisah-kisah manis masa pacaran si gadis dengan si pemuda, yang semuanya mirip dengan kisah-kisahnya. Juga kisah ketika keduanya merayakan tahun pertama hari jadi mereka. Semuanya sangat identik.

Juwita mengingatnya.

Hingga sampailah ia di halaman-halaman terakhir dari serangkaian kenangan indah yang dipaparkan dalam buku itu. Yang sangat mengejutkan adalah: akhir dari buku itu tidak seperti yang dialaminya. Di sana diceritakan, ia menikah dengan pemuda itu dan menjalani hari sebagai keluarga yang bahagia. Berbanding terbalik dengan kejadian sebenarnya, di mana si pemuda justru berpaling darinya.

Juwita bertanya-tanya dalam hati: Apa maksud dari buku itu? Bukankah buku itu harusnya berisi tentang kehidupan asmaranya yang gagal? Bukan malah sebaliknya.

Ia terus memikirkan hal itu, hingga akhirnya ia mendapat sebuah pencerahan, setelah menutup buku itu dan mencoba merenungi judul yang terpampang di sampul depan.

"Kenangan—" gumam Juwita, "—dan Harapan." Otaknya tiba-tiba tersengat sebuah pemahaman. "Harapan? Ya, harapan."

Saat itulah Juwita menyadari maksud dari akhir buku itu. Di sana, tidak lagi diceritakan kisah-kisah sedihnya di masa lalu bersama mantan kekasihnya, melainkan tentang harapannya yang timbul dari serangkaian kisah-kisah manisnya. Tentang harapannya yang sayangnya gagal terwujud, dan malah membuatnya sakit hati dan terluka. Tentang harapan yang mestinya ia lupakan segera.

Ia kini mengerti.

Mendadak seutas senyum mengembang di antara kedua pipinya. Senyum pertamanya yang paling tulus, setelah berbulan-bulan meratapi kekecewaan yang tidak perlu.

Juwita bangkit dari duduknya, menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh. Setelahnya, ia memilih gaun terbaik dari lemarinya yang membuatnya tampak makin cantik. Kebetulan hari ini ada pesta ulang tahun temannya yang mesti dihadirinya. Tanpa buang waktu lagi, ia lantas berangkat. Sebuah taksi mengantarkannya ke sana.

Dalam perjalanan Juwita tak henti-hentinya merutuki kebodohannya lantaran telah menyia-nyiakan waktu untuk menangisi orang yang meninggalkannya. Waktu yang seharusnya ia gunakan sebaik mungkin untuk membangun kebahagiaan dan kehidupannya yang baru. Kini, ia telah siap membuka diri untuk hal itu.

Sementara, buku aneh itu kini tergeletak tak bergerak di atas tempat tidur, seolah terabaikan. Jika nanti Juwita membukanya kembali, yang akan ditemukannya hanyalah halaman-halaman kosong. Itu pun jika ia terpikir untuk membacanya lagi.

Komentar

Postingan Populer