Catatan Perjalanan Kampus Fiksi 20


Perjalanan ke Jogja dengan menumpang bus malam seperti menaiki roller coaster dengan jalur naik-turun. Cepat sekaligus memualkan. Selama delapan jam, tubuhmu akan mendapat guncangan secara terus-menerus hingga membikinmu mual. Mabuk. Jika kau tak punya perut yang kebal, hampir bisa dipastikan kau bakal memuntahkan apa-apa saja yang barusan kautelan dalam wujud teramat menjijikkan. Beberapa orang mengatasi kelemahan ini dengan tidur, menenggak antimo, atau sepertiku meneguk minuman bersoda rasa lemon.

Aku sampai di Jogja menjelang subuh. Aku rehat sejenak di musala terminal Giwangan, menunggu pagi muncul.

Ketika mentari telah terbit dan bus trans mulai bermunculan, kulangsungkan segala rencanaku untuk berkeliling di sekitaran Malioboro dan Keraton. Pagi itu hingga siang menjelang sore, kuhabiskan untuk menelanjangi lanskap di sekitar situ dengan bersepeda.

Sebelum pukul tiga sore aku bergegas menuju Stasiun Tugu untuk menyelesaikan beberapa urusan juga sekaligus menunggu jemputan yang akan membawaku ke lokasi tujuan utamaku: gedung Kampus Fiksi.

Aku mesti menunggu tiga jam lebih sebelum mobil jemputan datang. Meleset dari jadwal seharusnya memang, namun itu satu hal yang harus aku maklumi mengingat jumlah peserta yang mesti dijemput di hari itu sangat banyak.

Di mobil sudah ada dua peserta lainnya. Semuanya cewek cantik. Satu bernama Hoda, yang lainnya bernama Cholifah.

Satu cewek lainnnya datang tak lama kemudian. Ia mengaku berasal dari Bandung. Ia sempat menyebutkan namanya yang tiga detik kemudian aku lupakan. Satu hal ganjil yang hingga kini tak kunjung terpecahkan, terlebih jika mengingat cewek itu cukup menarik. Satu alasan yang bisa aku temukan: sebab cewek itu tidak berasal dari Surabaya, kota asalku, tak seperti dua cewek lainnya yang sekota denganku.

Mobil melaju, membelah jalanan kota yang cukup lengang dan remang. Selama perjalanan menuju lokasi, aku lebih banyak mengunci mulutku. Entah kenapa. Mungkin lantaran tak tahu mesti mengatakan apa atau lantaran letih di tubuhku. Meski begitu, setidaknya aku dihibur oleh obrolan para cewek di kursi belakang. Satu tema perbincangan mereka saat itu yang sampai sekarang masih kuingat adalah: tentang "gagal diet" dan beragam tips-tips yang diyakini mampu membuahkan hasil.

Kurang dari setengah jam, akhirnya kami sampai di gedung KF. Dari lantai dua, tempat diselenggarakannya acara, sudah terdengar suara moderator. Para cewek naik lebih dulu, sebab mereka memakai alas kaki yang gampang dicampakkan. Sementara, aku mesti membuka tali simpul lebih dulu untuk meloloskan kakiku dari sepatu, lalu melepaskan kaos kaki yang baunya mulai masam karena keringat. Kemudian, aku mendaki tangga untuk naik ke lantai dua.

Di ruangan tersebut sudah berkumpul banyak orang yang duduk melingkari suatu "kekosongan" (aku mengatakan begitu sebab di tengah-tengah mereka memang tak tersedia apa pun). Aku masuk ke salah satu kamar, meletakkan tasku di satu sudut, menggantung kemeja lengan panjangku di cantelan yang menempel di dinding, lalu bergabung ke kerumunan. Di sana aku berkenalan lagi dengan dua cowok bernama Karisma dan Irfan.

Mulanya, kupikir aku datang sangat terlambat dan sudah melewatkan beberapa acara. Ternyata, acara baru sampai di tahap ketika sang moderator membacakan susunan acara.

Tidak lama setelahnya, rektor Kampus Fiksi, Pak Edi Mulyono, memasuki ruangan. Beliau mengenakan baju-takwa dan sarung dan sebentuk peci kotak warna putih. Beliau mengaku mampir sebentar untuk menemui kami semua, sebelum pergi ke pengajian di Bantul. Beliau ingin mengatakan sesuatu, memberi wejangan yang mengajak kami semua untuk berpikir ulang: Benarkah kalian benar-benar mau jadi penulis?

Ini tentu bukanlah hal baru. Seno Gumira Ajidarma, M Aan Mansyur, dan Joni Ariadinata, pernah mengatakan hal yang hampir serupa. Salah satunya dengan menunjukkan fakta-fakta di lapangan yang serba mengerikan dan bisa membuatmu patah arang.

Di momen tersebut, Pak Edi berbaik hati menjelaskan kenapa akhirnya tiga angkatan KF yang tersisa dituang jadi satu ke wadah yang bernama KF angkatan 20.

"Sejujurnya, saya bosan dengan atmosfernya yang begitu-begitu saja," kata beliau, "dan ketika saya bosan, saya tidak menghentikannya tetapi menghadirkan sesuatu yang baru."

Setelah mengatakan hal itu, sempat kudengar dengus napas lega. Tentunya, ini kabar baik. Kita akhirnya tahu bahwa KF tidak bubar, hanya ingin menampilkan sesuatu yang segar belaka. Tetapi kabar ini juga menjadi kritik bagi para alumni KF, yang agaknya kurang pandai menghadirkan sesuatu itu, yang agaknya lama diidam-idamkan beliau dari program yang dibuatnya. Entah apa sesuatu itu.

Selain itu ada kalimat beliau yang begitu menghantam, berbunyi:

"Dari sekian banyak orang yang ada di sini, satu atau tiga orang yang beneran jadi penulis, sudah sangat alhamdulillah."

Mungkin terdengar skeptis, tetapi begitulah faktanya. Seperti semua hal lainnya di dunia ini, hanya yang bekerja keras hingga berdarah-darahlah yang bakal menuai hasilnya.

Setelah selesai, beliau berangkat ke pengajian. Acara berlanjut ke perkenalan yang dipandu oleh Mbak Nisrina Lubis yang konon memiliki "wajah-default" yang sanggup membuat orang seketika menjadi gugup. Di samping menyebut nama dan kota asal, para peserta juga diminta menyebut tempat keramaian favorit mereka. Saat itu aku menjawab:

"Sejujurnya saya tidak suka keramaian. Namun jika memang harus ada jawabannya, saya memilih rumah. Sebab, di sana ada tiga keponakanku yang pandai membikin keributan."

Namun pada momen tersebut, ada seseorang (pria) yang bilang kalau toilet adalah tempat keramaian favoritnya. Satu pernyataan yang mau tak mau membuatku curiga kalau orang tersebut gemar memainkan sabun untuk tujuan tertentu--semoga saja kecurigaanku salah. Hahaha....

Acara kemudian ditutup. Sebagian peserta pergi tidur. Sebagian lainnya berbincang-bincang, tertawa bersama. Sebagian lainnya bernyanyi sambil diiringi gitar. Di antara semua opsi yang tersedia, aku memilih opsi pertama. Tubuhku yang letih membuatku sangat mengantuk, bahkan aku tak terganggu sama sekali dengan segala perbincangan dan tawa keras yang berhamburan. Tapi tak kupungkiri, aku sedikit terbantu dengan suara Bu Amanda yang merdu lagi sedap, membuatku merasa tenteram.

***

Sekitar pukul tiga dini hari, aku terbangun dan melihat beberapa cewek sudah bangun dan mulai antri untuk mandi. Satu hal yang melintas di pikiranku saat melihat mereka, adalah: "Militan sekali mereka."

Kau tahu, saat itu, semua cowok masih tidur dengan beragam pose dan ekspresi yang mampu membuatmu geli. Dan ketika mereka bangun, hal pertama yang terpikir oleh mereka bukanlah handuk dan sabun, melainkan segelas kopi panas dan camilan yang kebetulan masih tersisa. Mereka berangkat mandi setengah jam sebelum acara di pagi itu dimulai, dengan menerapkan konsep mandi-kilat.

***

Pukul delapan pagi, Pak Edi datang untuk mengisi acara. Beliau melanjutkan kembali wejangannya kemarin malam. Secara lebih mendalam, beliau menceritakan kondisi pasar buku sekarang; menceritakan proses menjadi terkenal salah seorang penulis best seller; membandingkan penulis A dengan penulis B lewat analogi kue besar dan kue kecil, yang masing-masing kue memiliki keistimewaannya sendiri; juga memberi sebuah lecutan semangat bernada skeptis kepada kami.

Satu candaan beliau di momen tersebut yang cukup menggelitik adalah: "Dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap laku."

Kau tentunya tahu buku apa yang dimaksud beliau.

***

Acara selanjutnya diisi oleh Mas Reza Nufa yang berbagi pengalaman soal teknik menulis. Sayangnya waktu kelewat mepet, sehingga ia belum sempat berbagi teknik kepenulisannya.

Meski begitu banyak hal "menyeramkan" lagi berguna yang Mas Reza ceritakan. Salah satunya tentang bagaimana tulisan yang kita buat akan kembali pada diri kita, dengan memberi contoh seorang penulis perempuan yang menjadi lesbian setelah menulis soal itu.

Puncaknya adalah ketika Mas Reza menceritakan salah satu kisah nabi yang dihanyutkan di sungai, dari salah satu buku sejarah bangsa yahudi. Cerita itu membekas di kepalaku, membuatku berpikir tentang kisah-kisah serupa namun dengan lakon berbeda-beda, dari beberapa agama di dunia.

***

Acara selanjutnya adalah menulis bersama mentor selama tiga jam. Kami diminta menulis cerita tentang tempat keramaian favorit yang semalam kami sebut. Aku sempat memikirkan ide untuk itu semalam dan berhasil mendapat satu ide. Hanya saja tiba-tiba aku mesti beralih ke ide lainnya setelah yakin ide pertama tak bisa dikembangkan dengan mulus.

Pukul empat sore, acara tersebut usai. Aku mesti mengumpulkan cerpen yang beberapa bagiannya berlubang, dengan perasaan agak kesal karena telah menyajikan cerpen terbusuk.

***

Malam harinya, selepas salat Maghrib, Pak Edi memberi ceramah tentang bagaimana kita mestinya memandang sebuah perbedaan tanpa mengafirkan seseorang.

"Perbedaan adalah sunatullah. Sesuatu yang memang sudah dikehendaki Allah."

Begitulah aku merangkum petuah malam itu.

***

Selepas salat Isya' berjamaah, kami semua pergi ke Malioboro. Berjalan-jalan.

Sebagian peserta menumpang mobil. Beberapa orang yang tersisa dibonceng naik motor oleh beberapa senior. Aku berada di kelompok kedua, dengan Mas Wawan sebagai pengemudinya.

Di perjalanan, kami sempat mengobrol, misalnya, saat Mas Wawan memberi wejangan perihal teknik menulis dan lain sebagainya.

"Ada beberapa angkatan KF yang gak sempat dolan ke Malioboro karena hujan. Pernah ada satu angkatan KF yang waktu berangkat ke Malioboro gak hujan, tapi begitu sampai di sana langsung hujan," kata Mas Wawan, sewaktu berhenti di lampu-merah.

Selintas saja pikiran buruk bertandang di kepalaku, setelah Mas Wawan merampungkan kalimatnya itu: Bagaimana jika setelah sampai di Malioboro kami kena hujan?

Dan pikiran itu berhasil membuatku kesal karena akhirnya itulah yang terjadi. Beberapa menit setelah kami sampai di Malioboro, hujan deras mengguyur.

Namun sekalipun hujan terus menetes, semangat beberapa teman untuk berfoto di plang bertuliskan "Malioboro" tidak padam.

Militan sekali mereka!

***

Hari ketiga di gedung kampus fiksi adalah hari di mana Agus Noor membagi teknik menulisnya. Tapi kupikir agak kurang tepat menyebutnya sebagai membagi teknik menulis, melainkan ragam-ragam latihan yang bisa kita amalkan untuk berproses supaya teknik menulis kita makin ciamik.

Berikut tips-tips beliau:

1. Pilih tiga kata yang sama sekali tak berhubungan, lalu buatlah cerita dari tiga kata tersebut.

2. Menulis ulang novel atau cerpen dari salah seorang penulis yang kau suka.

3. Sering berlatih membuat dialog yang keren.

4. Pilih tiga kata yang berhubungan dengan satu genre cerita, misalnya: pisau, darah, mati (berhubungan dengan horor), lalu buatlah cerita (misalnya) romance dari tiga kata itu.

5. Berlatih menggambarkan seseorang lewat kata-kata sesuka hatimu.

6. Menulis. Menulis. Menulis.

***

Di hari ketiga pulalah, satu per satu peserta berpulang ke rumah masing-masing demi kembali ke kehidupan mereka semula. Perpisahan memang menjadi satu hal tak terelakkan dari sebuah pertemuan. Tak banyak yang bisa kaulakukan untuk mencegahnya, sekalipun kau sangat ingin.

Beberapa teman mengharapkan ada pertemuan lanjutan, berpesan agar tetap menjaga komunikasi lewat grup WA, bahkan kalau bisa kami mesti mengupayakan proyek masa depan bersama-sama. Sejujurnya, aku ragu. Skeptis malahan. Bagaimanapun perpisahan tetaplah perpisahan. Masalahnya, bukan terletak pada: Apakah kita bisa tetap menjaga keinginan-keinginan itu? Melainkan, berapa lama kita sanggup bertahan menjaga semua itu? Satu hal yang bisa kulakukan hanyalah mempertahankan selama mungkin (mustahil selamanya) apa-apa saja yang tersisa setelah perjumpaan kita usai. Sebagai contoh, sebutlah bubarnya Mojok.co. Atau contoh paling nyata kematian seseorang yang kita cintai.

Meski begitu, setidaknya, kita jadi punya kenangan untuk dirawat sebaik mungkin. Sebab tanpa kenangan kita tak bisa terhubung dengan siapa pun atau apa pun.

SEKIAN.

Komentar

Postingan Populer