Veronika (Menyesal) Memutuskan Mati



Terdapat sebuah Give Away yang diadakan oleh seorang blogger yang mengajak kita merenung sejenak: Bila seandainya kita hanya punya waktu delapan hari untuk hidup.

Hal seperti itu pernah saya temukan di novel Paulo Coelho yang berjudul: 'Veronika Memutuskan Mati'.

Pengarang yang dikenal sangat religius dan taat itu bercerita tentang seorang gadis yang awalnya mencoba bunuh diri dengan menenggak obat tidur melebihi dosis, namun gagal, dan malah membuatnya dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Lebih menyedihkan lagi, dokter yang menanganinya mengatakan umurnya tinggal beberapa hari lagi akibat jantungnya yang telah rusak yang merupakan efek menenggak obat tidur itu.

Jika kau menganggap Veronika bakal kegirangan karena pada akhirnya ia bakal mati juga sesuai keinginannya, maka kau harus kecewa. Mati lantaran kau membunuh diri, dengan mati yang datang perlahan dengan waktu yang kau ketahui rupanya berbeda rasanya. Terlebih saat ia bertemu orang-orang yang merasa akrab dengannya, merasa senasib dengannya. Terutama ketika ia bertemu dengan cowok pengidap skizofrenia, Eduard, yang menjadi penonton tunggal saat ia bermasturbasi pada suatu malam, lantaran menganggap pria itu layaknya orang buta sekalipun bisa melihat; atau barangkali patung.

Tinggal di rumah sakit jiwa, dan bertemu orang-orang yang tidak menganggapnya sebagai orang gila (dan justru mereka menganggap orang-orang normal di luar dinding rumah sakit jiwa adalah orang-orang tidak waras), ia mulai bisa merenungkan makna hidupnya, dan berangsur-angsur mulai mengenali dirinya. Hal itu perlahan menumbuhkan semangat hidup, dan berharap bisa memaksimalkan hidupnya. Itu membuatnya takut kehilangan hidup. Takut mati.

Namun berdasarkan pemahaman yang saya dapat dari sana, Veronika sebenarnya bukan takut mati, ia hanya kesal dan menyesal tidak memanfaatkan hidupnya secara maksimal, ketika ia (merasa) masih punya umur panjang (karena memang usianya masih amat muda).

Dan seperti itulah yang banyak saya temukan dari postingan para blogger yang mengikuti GA tersebut: Jika mereka tahu hidupnya tinggal segitu, mereka akan mencapai target-target yang belum tuntas, misal:

Wisuda; apa iya malaikat peduli gelar akademimu, Bung! 

Atau,

Menyantap segala makanan yang lama diidamkan; apa ia tidak tahu bahwa sebaiknya orang yang hendak mampus jangan banyak makan supaya orang yang memandikan jenazahnya tidak repot berkali-kali menekan perut si mayat demi menguras habis sisa-sisa makanan di usus.

Atau,

Berlibur ke tempat wisata yang lama diimpi-impikan; ceroboh sekali ia, kenapa baru sekarang mau diwujudkan? Barangkali lama ia menunda-nunda, menabung dan terus menabung meski uangnya telah mencukupi, dan tak sempat berangkat lantaran terlampau sibuk mencari uang demi bisa menabung.

Atau,

Membayar hutang; berarti sebelum tahu ia akan mati ia yakin memiliki uang cukup untuk membayar hutang. Kenapa ditunda-tunda sih kalau sudah punya uang.

Atau,

Meminta maaf; luhur sekali, tetapi bagaimana bila minta maaf saja tidak cukup membantu untuk melegakan masalah yang kau sebabkan.

Atau,

Memperbaiki amal ibadah; menyebalkan sekali, mereka yang masih hidup mendapatkan kebaikanmu hanya selama seminggu. Keterlaluan!

Dan masih banyak lainnya, yang menunjukkan betapa mereka menyesal tak memaksimalkan hidup mereka. Celakanya, menjelang kematian mereka mencoba memperbaikinya. Memang itu tidak ada salahnya. Namun, di satu sisi hal itu menampilkan sosok egoismu yang amat menginginkan jalan mulus menuju alam kubur; dengan seolah peduli kehidupan sekelilingmu yang sebelumnya jarang kau sentuh lantaran sibuk ini dan itu. Segala kebaikan yang gencar kita lakukan menjelang mati cenderung merupakan usaha kita agar kita aman-aman saja di alam sana, atau kalau bisa sekalian masuk surga. Bukan lantaran kita memang harus melakukannya karena Tuhan memang menginginkannya.

Apa iya kita mau hidup jadi manusia egois, dan mati pun kita tetap egois?

Seandainya satu saat ada orang yang bertanya perihal apa yang bakal saya lakukan jika punya waktu seminggu untuk hidup, mungkin akan saya jawab seperti Cassie dari 'Tomorrowland': "Masa depan itu tidak pasti, Bung!"

Benar, masa depan itu tidaklah pasti. Ketika seseorang bilang umurmu tinggal seminggu, seharusnya kau jangan percaya atau berandai-andai bahwa umurmu memang tinggal segitu. Bisa jadi usiamu lebih lama dari itu atau bahkan lebih singkat. Siapa tahu.

Namun, itu tidaklah penting. Sangat tidak penting. Yang justru penting adalah ketika kau punya kesempatan untuk memaksimalkan hidupmu untuk melakukan hal-hal berguna, maka lakukanlah. Jangan menunda-nunda.

Demi waktu, kita memang orang-orang celaka!

Ah, betul-betul sialan, bukan, kita-kita ini?

Komentar

Postingan Populer