Menurut Saya: Kasta Bukan Soal Tinggi Rendahnya Status Sosial


Ibu itu menangis haru. Bangga. Putranya kini telah dinobatkan menjadi juara di kontes menyanyi yang konon se-Asia itu. Berkali-kali ia mengucapkan puji dan syukur:

"Alhamdulillah, putra saya menang. Saya bangga, dia sudah bisa mengangkat derajat keluarga."

Di lain masa, di lain tempat, seorang remaja menghadap juri. Setelah, menyanyikan sebuah lagu singkat, ia ditanya oleh salah seorang juri:

"Kenapa kamu ingin jadi penyanyi?"

"Saya ingin membahagiakan orangtua. Mengangkat derajat keluarga," jawabnya, dengan menahan tangis. Matanya berkaca-kaca. Teringat bapaknya yang bekerja sebagai petani miskin.

Cerita kembali berulang, ketika seorang penyanyi yang tengah naik daun, di hadapan awak media, mengaku senang dan bersyukur atas kesuksesan yang diraihnya. Ia juga sempat bercita-cita ingin "menghajikan" kedua orangtuanya, sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan yang telah mengangkat derajat(sosial)nya.

Hingga saat ini, saya masih gagal memahami: apa yang mereka maksud dengan "mengangkat derajat" atau "kenaikan derajat". Berdasarkan ukuran apakah peringkat sosial seseorang bisa dikatakan naik atau terangkat? Mengapa seseorang bisa merasa lebih tinggi dari manusia lainnya, sementara ia masih membutuhkan manusia lainnya pula, untuk bisa hidup? Apa dengan Anda lebih dikenal, lebih berpunya, lebih pintar, lebih wow, dari manusia-manusia lainnya, bisa diartikan peringkat Anda lebih tinggi dari mereka?

Memang siapalah kita ini, kok, merasa jadi orang penting, yang layak diutamakan, dibanding dengan orang lain. Seorang pengusaha kaya, misal, rasanya tidak layak menista-nistakan orang-orang berpenghasilan rendah, terlebih bila yang membeli barang-barang yang diproduksi oleh pabrik-pabrik mereka adalah orang-orang itu. Mereka boleh memproduksi dan menjual apa pun, tapi tanpa pembeli, matilah mereka. Namun, jangan lantas para pembeli kemudian menganggap dirinya raja, yang layak disembah-sembah bak fir'aun. Bukankah tanpa adanya sang pengusaha itu, Anda tidak bisa membeli barang-barang yang dibutuhkan. Begitu juga, seorang bos tidak selayaknya menyombongkan diri di hadapan para pekerjanya, sambil berkacak pinggang dan bilang: “Masih banyak lho, yang mau kerja sama saya.” sebab, menganggap bahwa mereka butuh uangnya, butuh pekerjaan darinya, meski memang benar adanya. Ia merasa dibutuhkan tanpa merasa membutuhkan. Padahal, usahanya bisa macet total, bila pada akhirnya, tak ada satu pun orang yang mau bekerja padanya.

Ini menunjukkan, bahwa pemahaman saling membutuhkan, harus ditawarkan oleh setiap pihak yang terlibat, tanpa pengecualian. Bila ada salah satu pihak yang merasa lebih tinggi dibanding lainnya, maka, akan kacaulah kerjasama mereka sebagai mahluk sosial. Tergantikan keinginan untuk melampaui.

Mungkin, selama ini, kita menanamkan pemahaman sistem kasta yang keliru dalam otak kita dan tanpa sadar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Cenderung sekali, kita memaknai sistem kasta yang terdiri dari: brahmana, ksatria, vaisya dan sudra, sebagai peringkat, tingkatan, atau ranking satu-dua-tiga-empat, dengan posisi teratas brahmana dan yang terbawah sudra.

Ada baiknya, sesekali kita meluangkan waktu untuk berpikir. Merenung sejenak. Mulai memahami sistem kasta dari prespektif berbeda. Mengganti pemahaman peringkat dengan pemahaman saling butuh saling mengisi. Bukankah boleh jadi, adanya penggolongan semacam itu, agar kita bisa berbagi tugas dan menjalankan fungsi masing-masing, untuk memutar roda kehidupan ini.

Saya jadi ingat film "The Giver" yang diadaptasi dari novel karya Lois Lowry. Dalam "The Giver", terdapat komunitas yang akan menentukan peran masing-masing orang untuk menjadi: petani, pengasuh bayi, militer, atau seperti Jonas, si penerima kenangan. Bakal aneh, kan, jika sesepuh komunitas mengangkat semua orang jadi petani, lantas siapa nantinya yang mengurus bayi dan menjaga keamanan? Tidak mungkin juga, semua orang jadi pengasuh bayi atau militer, lantas dengan apa mereka akan mengisi perut mereka yang lapar?

Maka, ganjil sekali rasanya, jika seorang selebriti menganggap derajat ia dan keluarganya terangkat, karena sering tampil di televisi dengan bayaran yang, hmmm, lumayan banyak. Bisa buat beli mobil atau nyicil rumah milyaran, yang tentunya akan membuat mata orang-orang yang tak mampu membelinya dan terbatas modalnya, berbinar-binar. Terpukau.

Ungkapan mereka mengenai terangkatnya "derajat", tanpa disadari, mungkin telah melukai hati sebagian orang. Secara tak langsung mengajarkan: bahwa pekerjaan berpenghasilan rendah, selayaknya memang harus segera ditinggalkan, tanpa peduli betapa penting fungsinya.

Memang apa salahnya jadi petani meski gak terlalu kaya? Bukankah tanpa mereka kita bakal kelaparan? Mau makan apa kita tanpa padi, gandum, sayuran dan buah-buahan, yang mereka tanam dan dijual kepada kita? Kita bakal "tau rasa" jika petani musnah dari masyarakat kita, lantas digantikan dengan berjubelnya insinyur, buruh bangunan, seniman, pedagang, atau, malah artis?

Selain itu, mau apa Anda semua kok mau jadi artis, penyanyi, atau selebriti ternama? Belum pernah baca novelnya Paulo Coelho yang berjudul "The Winner Stands Alone" ya? Di sana, Coelho bercerita bahwa para selebriti adalah orang-orang yang terjebak dalam gaya hidup, yang takut kehilangan posisi mereka yang bergengsi itu. Para selebriti juga digambarkan serupa papan reklame yang bisa berjalan, berlenggok, tersenyum, untuk mengiklankan pakaian-pakaian haute couture, atau barang-barang bermerek ternama, macam: arloji, kacamata, perhiasan, tas, dan lain-lain yang melekat pada tubuh sang selebriti. Sama persis, bukan, dengan kontes menyanyi beberapa waktu yang lalu, di mana salah satu komentatornya, rajin menilai baju dari desainer ini-itu yang dipakai oleh para kontestan, beserta serangkaian orang yang katanya mahal di balik panggung. 

Saya tidak hendak mencela profesi artis. Atau melarang Anda untuk punya penghasilan tinggi. Anda tetap boleh jadi selebriti. Tetap boleh punya mobil, rumah, atau barang-barang mewah lainnya. Silakan, asal didapatkan dengan cara yang halal. Hanya saja, bila Anda meniatkan ingin memiliki semua itu agar bisa dianggap lebih hebat dari orang lain, secara samar ingin menginjak kepala orang-orang yang Anda anggap di bawah Anda, lantaran mereka tak mampu membeli barang-barang mahal apa yang mampu Anda beli; di sanalah letak keanehannya bakal muncul. Apanya yang hebat dari Anda, coba? Lha wong kita ini sebenarnya lemah, masih butuh dengan orang lain, meski jarang kita akui kelemahan itu.

Satu hal lain, yang layak direnungkan, adalah pemahaman peringkat atas sistem kasta, juga tak selamanya salah. Hanya saja, mungkin, kita meletakkannya di konteks yang tidak tepat. Seperti memasangkan bra ke dada seorang pria. Ya, pasti kempes, tho? Boleh jadi, pemahaman peringkat selayaknya dilekatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan, tingkatan keimanan dan ketakwaan.

Sudra: boleh jadi menunjukkan tingkatan iman manusia yang paling rendah, ketika manusia belum terbebas dari nafsunya. Vaisya: boleh jadi merupakan cermin dari keimanan manusia, yang menghitung untung-rugi, pahala-dosa, surga-neraka, khas para pedagang. Ksatria: boleh jadi menggambarkan kondisi keimanan manusia yang penuh rasa syukur, tanpa banyak menuntut. Brahmana: yang merupakan tingkatan tertinggi, boleh jadi merupakan satu kondisi saat manusia mampu bersatu dengan Tuhannya, ketika manusia menjadi perpanjangan tangan Tuhan.

Boleh jadi, memang begitu adanya.

Komentar

Postingan Populer