Mencoba Menguliti "Kambing Hitam"


Dalam tulisan ini, sedikit saya ingin mengulas sebuah cerpen yang baru saja saya baca: "Kambing Hitam" karya Italo Calvino (bisa kalian baca di fiksilotus.com), berdasarkan pendapat saya pribadi.

Cerpen tersebut bercerita soal sebuah negara yang seluruh penduduknya berprofesi sebagai pencuri. Setiap malam mereka saling mencuri satu sama lain demi memenuhi kebutuhan masing-masing sehari-hari. Lantaran mereka saling mencuri dan tak luput satu rumah pun yang aman dari perampokan, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Kehidupan berjalan harmonis, bila tidak bisa dibilang saling menguntungkan.

Hingga, satu kali muncullah orang jujur yang mengubah segalanya, karena ia tak mau mencuri seperti lainnya. Ia menyebabkan sistem yang ada dalam masyarakat itu berubah.

Menarik dibedah dari cerpen singkat namun sarat makna itu, adalah pesan apa kiranya yang hendak disampaikan oleh si penulis. Jika terlampau fokus pada kata kunci "pencuri" dan "orang jujur" rasanya belum bisa kita mengupasnya secara keseluruhan. Seperti yang terjadi pada komentar-komentar untuk cerpen itu di situs tersebut. Banyak yang hanya mengaitkannya pada kejujuran atau tindak pencurian yang dianggap tercela, semisal perihal korupsi di negeri ini.

Namun bagaimana bila yang dimaksud si penulis bukanlah "pencuri" dan "orang jujur" yang sebenarnya? Maksudnya, bagaimana bila keduanya ternyata berfungsi sebagai simbol sesuatu.

Pertama, kita telaah soal pencuri. Atau saling mencuri dalam cerita tersebut. Suatu perbuatan yang dalam pemikiran kita dianggap tercela. Namun anehnya dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa seseorang merampok rumah tetangganya; tetapi rumah orang itu pun dirampok oleh tetangganya. Sehingga nampaknya ada hubungan dua arah. Seolah menegaskan adanya pertukaran (barter)—misal, barang si A ditukar dengan barang si B, lantaran mereka telah saling bersepakat—yang merupakan cara orang-orang terdahulu (sebelum ditemukannya alat tukar/uang) untuk saling memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Gampangnya, jika kau punya cadangan beras berlebih dan ingin mendapatkan seekor ayam, maka kau harus mencari peternak ayam yang mau menukarkan seekor ayam dengan beberapa kilo beras. Sederhananya barangkali seperti itu.

Berikut narasi yang menerangkan demikian:

Setiap malam, masing-masing penduduk pergi keluar rumah membawa sebentuk linggis dan sebuah lampu petromaks—lalu merampok rumah tetangga mereka. Ketika mereka kembali ke rumah masing-masing di saat subuh, seraya menggotong hasil curian, mereka akan menemukan bahwa rumah mereka sudah habis dirampok.

Jika dibaca sekilas, nampak logika cerpen ini cacat atau lemah, terlebih setelah membaca narasi di atas. Barangkali kita bakal berpikir, timbul beragam pertanyaan logis, semisal: Kenapa tiap orang perlu mencuri, padahal seandainya mereka mendayagunakan harta benda yang mereka simpan di rumah masing-masing, bukankah rasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, tanpa perlu mencuri harta orang lain? Lalu, kenapa tidak ada satu pun anggota keluarga yang menjaga rumah agar tidak kemalingan? Apa harus semua anggota keluarga pergi merampok?

Namun penjelasan paling logis yang terpikir oleh saya, untuk pertanyaan-pertanyaan itu adalah: bahwa si penulis memang bertujuan begitu. Narasi di atas, terutamanya, hanyalah menyimbolkan kegiatan bertukar barang demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Mereka merampok rumah orang lain, lantaran harta (sumber daya) yang mereka punya rupanya tidak mampu melengkapi ragam kebutuhan, sehingga memerlukan harta milik orang lain. Saya pikir begitu.

Lalu, apa peran si orang jujur? Apa yang diwakili simbol tersebut?

Kemungkinan fungsinya serupa seperti profesi pencuri para penduduk. Ia mewakili satu kondisi yang terjadi ketika sistem barter masih berlaku di masyarakat.

Seperti yang kita ketahui, bahwa sistem barter juga memiliki kelemahan dalam prakteknya. Salah satunya, misal, ketika seseorang memiliki barang berlebih dan ingin menukar dengan barang milik orang lain yang dibutuhkannya; namun, ia gagal menemukan orang yang mau bertukar barang. Celakanya, barang yang dipunyainya ternyata gampang busuk seiring berlalunya waktu. Menyebabkan kerugian baginya lantaran barang-barangnya yang bejibun tidak berguna. Juga kelaparan, lantaran tidak mendapat kebutuhan yang diperlukannya untuk dikonsumsi. Situasi semacam inilah yang diwakili sekaligus dibawa oleh si orang jujur sejak keberadaannya dalam cerita.

Bila situasi semacam itu terjadi, tentu, yang diuntungkan adalah pihak yang barangnya paling banyak diminati. Selain ia bisa memenuhi segala kebutuhannya. Menjadikan ia kaya (dalam artian paling makmur dibanding lainnya). Sementara, orang yang barangnya paling sedikit diminati, menjadi orang miskin (sebab kebutuhannya gagal terpenuhi dengan layak). Begitulah definisi orang miskin dan orang kaya dalam cerpen tersebut, yang bisa saya tafsirkan sejauh ini.

Dan agar si orang miskin bisa mencukupi kebutuhannya, pada akhirnya ia bekerja pada si orang kaya, hingga ia lupa menghasilkan barang (sumber daya) untuk dirinya sendiri. Jika sebelumnya, si miskin tadi bisa memanfaatkan barang yang diproduksinya untuk ditukar dengan barang lainnya; tetapi, lantaran barangnya kurang laku, ia lebih memilih untuk bekerja pada si kaya. Entah menjadi pekerja yang bertugas menghasilkan sumber daya si kaya, ataupun penjaga yang bertugas melindungi harta si kaya.

Seperti dalam narasi berikut:

Mereka yang kaya hidup dengan sangat berlimpah hingga tidak perlu lagi mencuri atau membayar orang agar mencuri untuk mereka. Tapi jika mereka berhenti mencuri, mereka akan jatuh miskin: hal ini tidak bisa dielakkan. Warga yang miskin pasti akan merampok mereka habis-habisan. Tidak hilang akal, warga yang kaya menawarkan upah bagi warga yang sangat miskin untuk melindungi rumah mereka dari warga miskin yang lain. Maka dibentuklah kesatuan polisi, dan dibangunlah penjara.

Barangkali si penulis ingin memprotes sistem yang telah berubah itu. Mengkritik situasi timpang itu. Saat tiap orang bisa menghasilkan sesuatu untuk kemudian bisa saling tukar (secara merata) demi memenuhi kebutuhan yang beragam, malah tercipta kondisi tidak seimbang itu yang menyebabkan munculnya status miskin dan kaya. Menciptakan perbedaan kemakmuran yang amat mencolok pada masing-masing orang. Kondisi itu diperparah dengan makin banyak orang yang berpikir soal untung-rugi semata. Membuat kian maraknya penimbunan harta kekayaan (terlebih ketika telah ditemukan alat tukar dan mata uang). Kian memeriahkan sistem yang baru yang diisi oleh golongan pemberi kerja dan pekerja; juga miskin dan kaya. Bukan lantaran saya ada di dunia ini karena dibutuhkan sekaligus membutuhkan. Seperti yang disebutkan si penulis dalam narasi berikut:

Begitulah—beberapa tahun setelah munculnya si orang jujur, tak ada lagi warga yang membicarakan masalah merampok atau dirampok: hanya tentang kekayaan dan kemiskinan. Meski begitu, mereka tetap bersikap seperti pencuri.

Sungguh tidak enak menjadi pekerja lantaran dipaksa sistem yang tengah berkembang. Seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menggerakkanmu, sekalipun kau sebenarnya tak ingin bergerak. Dan tangan-tangan itu adalah kondisi yang terlanjur kita bikin. Kondisi di mana si miskin tidak mendapat pilihan selain bekerja pada si kaya, jika ia tidak ingin kelaparan. Dan si kaya dengan senang hati—dan sungguh celaka bila ia menikmatinya—untuk memaksa si miskin bekerja padanya, dengan ancaman tak langsung yang seolah mengatakan: "Jika kau tak bekerja padaku, aku bisa cari orang lain yang mau. Dan kau bakal susah cari kerja lain dan pada akhirnya kelaparan."

Ironisnya, alih-alih mengubah keadaan, mengubah sistem, si miskin malah termotivasi untuk menjadi makmur seperti si kaya. Ingin tercebur dalam kubangan yang sama di mana si kaya berenang-renang di dalamnya.

Ah, kok, tiba-tiba saya jadi memimpikan dunia tanpa adanya persaingan untuk menjadi kaya (baik secara sadar atau tidak). Ketika orang-orang mau berbagi tugas demi saling melengkapi kebutuhan masing-masing.

Tapi agaknya mimpi itu susah terwujud, selama masih bertebaran keserakahan dan keegoisan di hati banyak orang. Kapankah kita bisa saling mengerti?

Komentar

Postingan Populer