Berkunjung ke Museum Angkut


Sesekali, setelah berhari-hari melakoni kesibukan yang sarat hiruk-pikuk yang mengeruhkan otak, agaknya kita memerlukan sebuah liburan. Berpiknik. Menyegarkan pikiran. Dan, saat kesempatan itu tiba, rasanya tidak perlu mencari alasan untuk menolaknya. Terlebih bila itu gratis alias dibayari Pak Bos. Heuheuheu....

Rabu kemarin, tepat pukul delapan, saya dan kawan-kawan (warnet) bertolak dari Surabaya menuju Malang. Menumpang sebuah bus mini, kami hendak berwisata ke Batu. Tepatnya di Museum Angkut.

Diiringi lagu-lagu dari Republik Cinta, lalu dilanjut dengan lagu yang dibawakan oleh para penyanyi dari New Palapa, bus melaju. Kaca depan bus seolah menjelma layar televisi ukuran jumbo yang menampilkan film tentang keadaan jalan yang sedang dihadapi sopir. Sesekali truk-truk berbadan besar menampilkan pantatnya yang perkasa namun usang. Terkadang mobil-mobil pribadi juga turut ambil bagian. Berjalan bagai kelinci yang berlari di antara kawanan beruang. Terkadang pula para pemotor menyelusup di sela-sela dua kawanan kendaraan itu, mirip tikus-tikus yang lihai memanfaatkan celah-celah sempit. Namun, 'tikus-tikus' itu akhirnya menghilang dari layar kaca setelah kami masuk ke jalan tol.

Sebagian waktu perjalanan, saya habiskan dengan membaca sebuah novel yang sengaja saya bawa demi membunuh kebosanan. Sebagian untuk tidur sejenak. Sebagian untuk menikmati lanskap gunung dan bebukitan, yang saya lihat dari kaca di sisi kiri kursi. Sebagian untuk mengamati aktivitas kawan-kawan saya.

Salah seorang kawan, bernama Hakim, sedang asyik memimpin pasukan COC-nya. Melakukan penyerbuan. Tubuhnya yang gemuk bulat pendek, menjadi mirip tomat, ketika dibalut dengan jaket berwarna merah. Sori, broo...!

(Mungkin sudah saatnya kalian berkata: Tomat kok makan apel)

Duduk di belakang saya, Yusuf, kebanyakan hanya tidur saja. Pernah sekali ia menghampiri teman-teman di belakang, mengajak ngobrol singkat. Namun perlahan-lahan ia menarik diri. Kembali ke kursinya, dan tidur. Wajahnya yang kurus dengan kumis yang melintang, dan tulang pipi yang menonjol, juga sedikit jenggot, mengingatkan saya pada Zhang Jin, orang yang berperan sebagai lawan bagi guru Yip dalam Ip Man 3. Saya sempat berpikir jika satu ketika Zhang Jin membutuhkan stuntman, mungkin jasanya bisa amat berguna. Heuheuheuheu....

(Zhang Jin)

(Yusuf sedang makan dawet imajinasi)

Sementara, di seberang kursi saya, ada Ivo dan istrinya yang tengah hamil. Mereka tengah sibuk romantis-romantisan. Sekali saya lihat kepala sang istri bersandar di bahu sang suami, sambil tangan keduanya saling bertautan, seolah hendak menggenggam udara. Tampak mesra. Selanjutnya, saya tak berani melihat mereka lagi. Kenapa? Pasti kalian tahu lah alasannya.

Lalu di kursi belakang, ada Martin yang sedang tidur pulas. Berbaring memenuhi kursi yang mampu menampung lima orang. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang dilakukannya lagi, selain itu saja. Ah, sayang saya lupa mengambil fotonya saat itu.

(My name is: Martin)

Dan satu kursi di depan bangku paling belakang, terdapat gadis abegeh berjilbab dengan kacamata minus lebar yang bertengger di hidungnya. Melihatnya saya jadi membayangkan Velma yang telah berhijab. Heuheuheu...


(Berikut penampakannya)

Dan kawan saya yang terakhir bernama Ahmad. Mengenakan jaket berwarna jingga (orange), mengingatkan saya pada baju timnas sepak bola Belanda. Di antara semuanya, dia-lah yang paling sedikit berselfie. Mungkin dia mengambil prinsip orang Jepang: Tidak suka difoto namun suka memfoto dan memerhatikan sekitar seolah hendak mengupas makna di balik segala yang tampak olehnya, demi memahami arti kehidupan yang sejati. Jika benar begitu, tak salah rasanya bila mengatakan bahwa level makrifatnya-lah yang paling tinggi di antara kami semua. Heuheuheu....

(Ahmad tampak dari samping)

Sedikit mubazir memang. Bus yang sanggup menampung 25 penumpang, hanya diisi oleh 8 orang saja. Andaikan saya bisa membelah tubuh jadi dua bagian; barangkali tubuh bagian atas (dari kepala hingga pinggang), akan saya rebahkan di kursi yang berbeda, dengan kursi tempat saya meletakkan tubuh bagian bawah (dari pantat hingga ujung kaki). Lantaran saking banyaknya kursi yang tak terpakai. Sebabnya, lebih dari separuh penumpang yang harusnya menduduki kursi-kursi itu berhalangan hadir. Tapi tidak apalah. Segitu pun sudah cukup meriah.

Jam sepuluh lebih, akhirnya bus kami sampai di parkiran Museum Angkut. Masih sepi. Bahkan petugas bersih-bersih pun belum nampak. Jam bukanya memang masih beberapa jam lagi. Tepatnya di pukul 12 siang. Tentu ini bukan lantaran kami terlalu bersemangat untuk menyisir seisi museum. Ini karena kami memang berjanji kumpul dengan Pak Bos yang membawa mobil sendiri, di sini.

Sambil menunggu kedatangan Pak Bos, kami menyibukkan diri. Beberapa ada yang pergi ke toilet untuk menyegarkan muka atau pipis. Beberapa sedang mengobrol. Sementara saya bersama Yusuf berselfie dengan kamera DSLR. Terlebih pemandangan di sana bagus. Mendukung hasrat berfoto kami.

Beberapa foto yang sempat kami ambil saat itu:



Tak lama kemudian, Pak Bos datang, dan langsung menawari kami nasi kotak untuk makan siang. Dia sempat tertawa melihat jumlah yang ikut ternyata kurang dari separuh yang seharusnya datang. Tapi dia tidak mempermasalahkannya.

Setelah makan, Pak Bos mengajak kami ke kebun apel. Katanya, sambil menunggu jam buka museum. Maka berangkatlah kami ke kebun apel.

Singkat cerita, sampailah kami di kebun apel. Sebelum masuk ke kebun, penjaga menjelaskan aturan main di sana. Kalau tidak salah begini dia bilang:

"Di dalam, boleh makan sepuasnya. Namun boleh dibawa pulang dengan membayar Rp 20.000 per kilo. Untuk cara memetiknya, diputar saja hingga putus. Dan jangan melewati jaring-jaring berwarna hitam."

Kami semua mengangguk. Paham.

Lalu kami pun masuk. Saya mengambil kresek. Tentu saja niat saya untuk membawa pulang beberapa butir apel untuk oleh-oleh. Namun bukan berarti saya tidak eh-hem dengan harganya. Otak saya sempat memperhitungkannya. Tapi ternyata saya dikejutkan dengan harga sebenarnya setelah saya menimbang apel yang telah saya kumpulkan. Rupanya harganya Rp 10.000 per kilo.

Awalnya, saya hanya membawa sekitar 3 kg. Namun, setelah tahu harga sebenarnya hanya separuh dari yang dikatakan si penjaga tadi, maka saya kembali masuk, dan menambah sekilo lagi. Heuheuheu.... Mumpung murah dan bisa petik sendiri.

Saya sempat mengatakan harga sebenarnya pada Hakim, Si Tomat. Tapi mungkin dia lupa untuk mengabarkan berita bagus itu pada kawan-kawan lainnya. Dan barangkali terlampau sibuk melahap apel-apel manis itu. Bahkan saya sempat mendengar kentutnya menggelegar bak halilintar di siang bolong, karena kekenyangan. Parah memang tuh anak!

Setelah menambah sekilo apel, saya tidak lagi masuk ke dalam. Perut saya sudah penuh dengan apel dan makan siang tadi. Paling tidak saya telah melahap sepuluh butir apel. Bukan karena saya rakus. Ini semua demi menemukan pohon mana yang memiliki apel yang lezat untuk dibawa pulang.

Selama di luar kebun, saya memilih oleh-oleh lainnya. Saya membeli beberapa keripik apel seharga Rp 10.000 yang berdasarkan komentar ibu saya lebih lezat dari yang pernah kapan hari dibelikan adik saya di supermarket Malang. Juga keripik ubi madu dan ungu seharga Rp 5.000.

Namun tidak hanya itu. Ada kejadian menarik setelahnya. Saat itu, seorang ibu berusia sekitar empat-puluhan membawa sebutir apel lengkap dengan tangkai dan daunnya, untuk ditimbang. Sang penjaga tidak menarik biaya untuk sebutir apel. Terlalu receh mungkin harga sebutir apel itu. Namun ia menasihati ibu-ibu itu, begini:

"Harusnya tidak boleh dipetik begini. Kasihan petaninya nanti. Kalau memetik cukup diputar saja sampai putus."

Si ibu manggut-manggut mohon maaf. Lalu beranjak pergi begitu mendapat pengampunan. Heuheuheu....

Beberapa foto selfie kami di kebun apel, selain yang sudah saya pamerkan di atas:






Setelah semua puas melahap apel, kami kembali ke tempat bus kami parkir—kami pergi ke kebun apel dengan angkutan umum. Dalam perjalanan ke sana, sempat saya dengar beberapa teman mengeluhkan harga apel yang muaahaal—mereka belum tahu harga sebenarnya. Namun, beberapa terkejut setelah saya mengatakan harga sebenarnya. Terutama Hakim. Hmmm, benar-benar pelupa nih anak.

Namun saya sempat berpikir apa sebabnya sang penjaga tadi mengumumkan harga yang salah. Adakah unsur kesengajaan demi menjaga jumlah apel di kebun supaya bisa dinikmati banyak orang lainnya? Entahlah hanya pak penjaga dan Tuhan-lah yang tahu. Heuheuheuheu....

Sesampainya di parkiran, kami langsung naik bus, yang lalu meluncur kembali ke Museum Angkut.

Singkat cerita, sampailah kami di parkiran museum seperti sebelumnya. Kami lalu jalan menuju pintu masuk, melewati pasar apung. Kedatangan kami sudah ditunggu Pak Bos di sana. Untuk masuk ke museum dikenakan biaya Rp 60.000 per orang untuk hari biasa. Sedangkan untuk hari libur dan weekend, harganya Rp 20.000 lebih mahal. Dan untuk yang membawa kamera DSLR, digital, atau handycam, dikenakan harga Rp 30.000.

Saat kami mulai masuk, mobil-mobil dan motor-motor tua langsung menyambut kami. Di dekat kendaraan-kendaraan lawas-tapi-masih-tampak-kinclong terdapat penjelasan mengenai tahun pembuatan, kecepatannya, dan perusahaan mana yang memproduksinya. Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu kendaraan bermerek apa saja yang ada di sana, di samping malas dan lantaran jumlahnya yang sangat banyak, saya terlalu sibuk berselfie. Heuheuheu....

Berikut foto-foto kami, saat baru masuk di ruang pertama museum:

(Ada yang tahu replika siapa itu?)

(Mau masuk mobil, tapi dikunci rupanya)

(Mungkin mobil inilah yang paling mewakili dirinya sehingga dia tampak amat menyayanginya)

(Mobil yang [C]antik)

(Gak kalah ngganteng tho sama Bung Rio)

(Pas!)

(Kereta Kuda)

(Gayanya joss!)

(Semeja berdua. Icikiwiiir!)

(Habis rapat demi menentukan area mana yang layak selfie. Heuheueheu....)

Lalu, setelah itu kami naik ke lantai dua. Mendapati lagi mobil, motor, dan sepeda tua. Yang berbeda di sini, terdapat mesin-mesin mobil yang pistonnya terus memacu demi menunjukkan cara kerjanya. Juga ada gambar-gambar mobil masa depan. Namun saya sempat merasa prihatin saat melihat gambar-gambar itu. Pasalnya manusia masih membutuhkan ruang tempuh (jalur) demi mengangkut dirinya dari satu tempat ke tempat lainnya. Adakah rencana teknologi 'pintu ke mana saja' milik Doraemon diwujudkan? Dengan memanfaatkan dimensi tertentu atau mengubah manusia menjadi butiran atom. Heh!

Di ruangan ini kami hanya sedikit berselfie. Berikut satu-dua fotonya:





Lalu selanjutnya, lagi, kami naik satu lantai. Terdapat kendaraan udara: pesawat dan helikopter, di area terbuka. Angin dengan deras menerpa wajah, dan memainkan helai rambut kami. Juga melambaikan-lambaikan kerudung 'Velma'.


 (Tom Cruise: Mission Impossible Indonesia)

(Pulang dari Kamerun)


(OTW Bangladesh)


Selanjutnya, kami turun satu lagi, kembali ke lantai dua. Di lantai dua, kami mampir sejenak ke ruang bioskop yang menampilkan sejarah transportasi manusia dari masa ke masa. Lalu, setelah itu, kami turun lagi satu lantai. Di sana terdapat macam-macam transportasi tradisional.

(Rambo: Pengemudi becak terakhir di dunia)


(Becak tarik)


Kamudian, perjalanan dilanjutkan dan memasuki sebuah ruangan yang lagi-lagi dipenuhi mobil-mobil antik, juga motor-motor dan sepeda lawas.



Lalu selanjutnya, dengan beberapa langkah, sampailah kami di area terbuka dengan nuansa koboi khas amerika latin. Saya sempat berfoto di sebuah replika penjara.

(Lagi menggarap skripsi)

(Nelpon Mek Di)

(Sedang mengobrol dengan Deputi)

Rupanya, Museum Angkut memiliki lahan yang amat luas. Masih banyak area yang perlu dijelajahi. Masih banyak jalan yang belum dilewati. Terdapat ruangan-ruangan berisi replika dari beberapa kota di Eropa. Yang paling saya ingat adalah London dan Perancis dan Jerman. Selain mobil, benda-benda yang menjadi jangkar ingatan atas kota-kota itu adalah: kereta kuda, menara eifel dengan tinggi sekitar 4 meter, poster film 007, burung hantu Harry Potter, foto The Beatles menyeberang jalan, dan replika sebuah istana yang saya lupa apa namanya.





Melewati lorong di depan istana replika tersebut, akan membawa kita di area terbuka dengan nuansa Hollywood. Ada Hulk yang tersusun dari rongsokan entah apa yang tampak garang. Juga ada replika motor Ghost Rider. Dan masih banyak mobil-mobil yang tampak mewah dan berkelas.





Kami kembali mengayunkan langkah. Dan mendapati sebuah lokomotif. Kami tidak memfotonya. Lelah menggelayuti tubuh. Sehingga kami memutuskan terus lanjut berjalan. Memasuki replika gerbong kereta api. Di kiri dan kanan terdapat layar yang berfungsi menggambarkan seolah-olah kereta sedang melaju. Lantai di bawah kami lentur seperti trampolin. Sehingga setiap kami meloncat-loncat kecil, tubuh kami sedikit memantul. Seolah menggambarkan keadaan kita dalam gerbong yang bergoyang-goyang ketika kereta api melesat cepat di relnya.

Sampailah kami di penghujung petualangan. Kami segera kembali ke bus, merebahkan tubuh yang lelah. Merenggangkan otot kaki yang kaku. Beberapa kawan langsung berkunjung ke alam mimpi. Tertidur pulas. Hingga nanti kembali bangun, saat mampir membeli oleh-oleh di gerai Bakpao Telo.

SEKIAN

Komentar

Postingan Populer