Gadis Alis Tebal

(Sumber gambar: scontent-b.cdninstagram.com)

Satu hari aku bertemu seorang gadis. Atau lebih tepatnya melihatnya sekilas saat tengah berjalan di trotoar.

Dari kejauhan, sekitar sepuluh meter sebelum kami saling melewati, aku memandanginya dengan tatapan pura-pura seolah meihat jalan di belakangnya, agar ia tidak merasa risih. Juga demi mempertahankan ukuran kepalanya agar tidak memuai.

Barangkali ia sempat merasa diperhatikan olehku. Namun kuyakin ia tidak akan berani menegur. Sebab kutahu nyali kebanyakan orang hanya cukup untuk mengumpat dalam pikiran. Jarang sekali ada yang berani mengungkapkannya secara langsung, apalagi memprotes.

Gadis itu berwajah panjang dengan dagu lancip. Ia manis dan cantik. Juga tampak ceria. Tidak membosankan bila dilihat terus-menerus. Bibirnya mengingatkanku pada bibir Angelina Jolie. Sensual. Menggiurkan. Sempat aku membayangkan sebelah tanganku menyentuh dagunya dan mendekatkannya ke wajahku, memagut bibirnya yang merah ranum dan basah dengan ciuman panas yang seolah hanya bisa dihentikan oleh datangnya kiamat.

Ia memiliki mata cokelat yang berkilau. Menandakan hidupnya bahagia. Atau ia memiliki optimis akan hidup ini. Aku menduga bahwa setiap kata yang meluncur dari mulutnya akan diucapkan dalam intonasi menyenangkan dan berapi-api, sehingga mampu menularkan semangat hidup. Bahkan kiranya ada orang yang berputus asa dan hendak bunuh diri, orang itu akan segera membatalkan niatnya tersebut setelah mendengar suara gadis itu.

Ah, mungkin aku terlalu melebih-lebihkannya. Bagaimana aku bisa yakin dengan itu, sementara sepenggal suara darinya pun belum pernah kudengar. Sialan! Ternyata aku terlalu banyak mengaguminya. Ini tidak baik. Aku bisa terjebak dalam efek bernama jatuh cinta. Dan seperti yang dipahami banyak orang, jatuh bisa membuatmu cedera. Tak peduli itu ringan atau parah. Beruntung aku belum sempat mengagumi ukuran dadanya.

Aku harus mencari cara untuk menetralkan efek terpukau ini. Aku terlalu banyak menyerap segala hal bagus darinya, dan memujinya dalam pikiranku. Aku harus mencari sisi jeleknya yang membuatku tidak menyukainya.

Dua meter sebelum kami berpapasan, aku berhasil menemukannya. Itu berada di kedua alis matanya. Kedua alisnya seolah dicoreng oleh arang. Hitam pekat. Mengingatkanku pada alis yang tergambar pada topeng. Jika dilihat seksama, maka akan tampak bulu-bulu alisnya amat sedikit, hampir botak. Mungkin ia mencukurnya lantaran tidak puas pada bentuk alisnya yang dulu. Namun dengan menggambarinya, malah membuatnya tampak lucu. Menggelikan.

Aku sempat bertanya-tanya, apa jadinya wajahnya jika hujan tiba-tiba turun, dan melunturkan gambar alisnya? Ah, aku tak bisa membayangkan sebuah wajah tanpa alis mata. Barangkali bisa mengocok perutku.

Haha...

Akhirnya, kami berpapasan. Dan saling melewati. Beruntung aku tak terjebak pada rasa ....

Tapi tunggu dulu, setelah kami saling memunggungi, aku jadi kembali bertanya-tanya: Bagaimana bisa waktu untuk menempuh jarak sepuluh meter dengan dua pasang kaki saling melangkah mendekat, bisa terasa sedemikian lama sehingga aku sempat memujinya dalam pikiranku? Seolah waktu benar-benar memuai.

Ah, apa jangan-jangan aku cuma butuh waktu singkat untuk ....

Ah, tidak! Aku cuma sekadar bajingan. Aku yakin bukan itu yang terjadi.

Komentar

Postingan Populer