Risiko Bukan Target



Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri bedah novel "O" yang mendatangkan pula pengarangnya: Eka Kurniawan. Saat ia masuk ke ruangan, gemuruh tepuk tangan segera menampar udara. Sambil mengulas senyum lebar, seakan hendak berterimakasih atas sambutan itu, ia menuju mejanya. Sekilas saya menilai, dari apa yang dikenakannya yaitu: kaos oblong dan celana jins, juga kacamata yang bertengger di hidungnya, ia merupakan orang yang santai. Sepertinya begitu. Atau barangkali suka-suka-gue dan senyaman-gue seperti yang bisa kita lihat pula dari karya-karyanya yang memiliki kesan: bebas sebebasnya saya buat—sesuai tehnik yang ingin dipakai saat menuliskannya.

Singkat cerita, usai dijelaskan garis besar cerita di novel "O" macam bagaimana, dibukalah sesi tanya-jawab. Satu pertanyaan yang hendak saya bahas di sini—karena banyak sekali pertanyaan yang amat menarik namun belum sempat saya bahas lebih luas—adalah mengenai kemungkinan novel "O" ini bakal memenangi khatulistiwa literary award pada tahun ini.

Dengan santai, seolah-olah itu bukanlah hal penting untuk dipikirkan, ia pun menjawabnya. Seakan-akan itu tidak dianggapnya sebagai target yang mesti dicapai, sekalipun memang berpeluang. Menganggapnya sebagai risiko yang mau tak mau mesti ditanggung. Sepertinya begitu.

Hal itu mengingatkan saya pada salah seorang penulis entah siapa namanya—saya lupa—yang ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika ia menjadi kaya dan terkenal. Dengan enteng ia bilang—kira-kira begini: "Itu sudah jadi risiko. Saya tak pernah bermaksud membikin novel supaya kaya atau tenar. Namun itulah yang terjadi kini dan saya mesti menanggungnya."

Dan barangkali memang begitulah adanya yang terjadi pada Bung Eka sekarang ini.

Masalahnya, bisakah saya menirunya dalam hal menganggap itu semua sebagai risiko alih-alih sebuah target yang mesti dicapai?

Entahlah. Mesti dicoba!

Komentar

Postingan Populer