Jangan Jadi Penulis, Jadilah Manusia


Ia sepertinya senang sekali ketika M Aan Mansyur berkata bahwa salah satu pekerjaan seorang penulis adalah jalan kaki. Ia amat gembira lantaran ia seorang pejalan kaki yang lebih suka menghemat uang demi membeli buku dibanding naik angkutan umum. Seorang pejalan kaki yang enggan naik motor, demi menikmati kehidupan sekelilingnya secara lambat. Mendapati kesamaan perilaku semacam itu, ia yakin bakal jadi penulis sungguhan.

Keyakinan itu makin bertambah, saat Faisal Oddang membacakan esai singkat berjudul "Forbidden Bird" karya Eduardo Galeano dan berhasil menebak apa yang dikira sebagai buah aneh yang bertebaran di sebatang pohon sebagai burung sebelum Faisal Oddang memperjelasnya. Ia menganggap imajinasinya sudah cukup mumpuni guna membentuk sebuah cerita yang bagus, yang artinya sepertinya ia amat berpeluang besar jadi penulis sungguhan. Asyiiiik!

Lagi-lagi keyakinannya itu bertambah meluap, saat sang begawan sastra, Seno Gumira Ajidarma, mengatakan: Seseorang tidak akan bisa jadi penulis sebelum lepas dari tiga mitos sastra, yaitu:

1. Sastra itu curhat.

2. Sastra itu bahasanya mendayu-dayu.

3. Sastra itu isinya nasihat/menceramahi.

Ia tidak pernah menganggap sastra demikian. Makin giranglah ia. Makin yakinlah ia bahwa ia bakal benar-benar jadi penulis sungguhan. Sejati. Pahlawan literasi. Pemenang nobel kesusastraan. Terkenal. Sehingga ia ingin teriak: "Busyet! Kayaknya gue bakal jadi penulis beneran deh!"

Terlebih, ia, akhir-akhir ini, makin gemar membaca semenjak bercita-cita jadi penulis yang diakui.

Ah, beruntung sekali saya tak sempat menemukan orang semacam itu di antara 400 peserta yang hadir. Bahkan sekadar tanda-tandanya saja pun tidak. Senang sekali saya tidak mendapati orang yang mendaku bakal jadi penulis berbakat sekalipun punya kecocokan beberapa perilaku dari para penulis senior itu.

Barangkali ini akibat dari ucapan M Aan Mansyur di akhir obrolannya, yang mengatakan: "Menulislah sampai kau kehabisan kata-kata, tapi usahakan jangan sampai kehabisan kata-kata, dan jangan jadi penulis. Karena ketika kau ingin jadi penulis, sebenarnya kau telah dipenjara oleh satu obsesi yang tidak akan membuat tulisanmu bagus."

Sebuah petuah yang menurut saya—dan mungkin bagi mereka semua yang hadir saat itu—membuat orang beranggapan bahwa profesi sebagai penulis bukanlah suatu yang layak dibanggakan dibanding menjadi manusia. Saya pikir menjadi manusia memang lebih penting daripada jadi apa pun sekalipun apa-apa itu terdengar keren dan berkelas.

Hal ini membuat saya mengingat sebuah esai dari Cak Nun, yang juga sering ia sisipkan pula ketika berdakwah, bahwa jabatan sebagai gubernur, bupati, presiden; ataupun profesi sebagai jenderal, kapolri, dan lain sebagainya yang terdengar wow di kuping kita, tidaklah lebih penting dibanding menjadi manusia.

Pernah saya dengar, beliau mengatakan, bahwa: ketika seorang jenderal makan di warung, ia bukan lagi seorang jenderal, ia hanya orang lapar ingin makan.

Gampangnya, buat apa kau jadi pejabat suatu negara namun kau gagal jadi manusia? Buat apa kau jadi jenderal atau semacamnya, kalau sifat kebinatangan yang sering kau perbuat? So, menjadi manusia lebih penting memang daripada label profesi yang selalu atau ingin kau pakai.

Namun, hal semacam ini, ruang lingkupnya berada di hati. Bisa ketahuan hanya bila si pemilik hati kadar narsisnya berlebihan. Keinginan untuk eksis membeludak. Dan ia gagal membendungnya. Sehingga ia mengumumkannya ke orang-orang.

Namun, lagi-lagi, saya berharap, tiada satu pun yang mementingkan untuk jadi penulis. Lebih-lebih sebagai penulis sukses dalam arti: Menang, terkenal, dan laku. Karena penting sekali bagi mereka yang bertujuan jadi penulis untuk selalu dalam keriangan dan kegembiraan. Dan, jadi manusia, adalah satu cara ampuh untuk bahagia.

SEKIAN

Komentar

Postingan Populer