Kopi Paling Tidak Masuk Akal



Malam nanti, aku akan pergi ke salah satu kedai kopi di pinggir kota. Tidak banyak yang tahu tentang letak kedai kopi itu, kecuali mereka yang memiliki keinginan tidak masuk akal. Menerabas batas logika.

Di sana, kau bisa memesan kopi yang aneh-aneh. Salah satu yang paling terkenal adalah cappucino dengan rembulan di dalamnya. Bahkan orang terakhir yang memesannya, sempat menulis cerita tentang itu.

"Apa kau mau mengajakku?" tanya wanita di depanku. Ia tampak tertarik begitu aku ceritakan tentang kedai itu.

"Tergantung seberapa liar imajinasimu," jawabku. "Apa yang akan kau pesan di sana, jika aku mengajakmu?"

"Aku mau pesan kopi yang sehangat sinar matahari."

Aku mengernyit.

"Kenapa?" ia bertanya.

"Itu masih agak normal. Cari yang lebih sulit."

"Kalau begitu, aku ingin dibuatkan kopi dari rebusan air mata."

"Itu bukan menerjang logika, itu mendramatisasi namanya."

"Kalau begitu—"

"Ini kesempatan terakhirmu," potongku. "Jika kau tidak bisa menyebutkan kopi yang menerjang logika, aku takkan mengajakmu," aku mengancam.

"Bagaimana ... bila kopi yang di dalamnya terdapat butiran bintang-bintang?"

"Kau meniru 'Rembulan dalam Cappucino'?" Aku menaikkan sebelah alisku. "Tidak, tidak. Kau tidak boleh begitu."

"Lho, kenapa? Itu menerjang logika toh?"

"Itu bukan lahir dari imajinasi, melainkan modifikasi belaka!"

"Kau pelit!"

"Kau menyebalkan!"

"Baiklah. Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau pesan?"

"Aku akan memesan kopi biasa—"

"Ah, kau curang," potongnya cepat.

"...dengan cangkir yang bisa mengecup bibirku. Sehingga menghasilkan sensasi berciuman dengan seorang wanita," lanjutku.

Dia tampak kecewa.

"Kenapa?" tanyaku.

"Jika hanya ingin sensasi berciuman, kau tak memerlukan cangkir seperti itu."

"Kenapa?"

"Aku bisa memberi ciuman yang sebenarnya."

"Tidak. Aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Suamimu bisa menghajarku, jika ketahuan."

"Kan jika...."

"Maaf. Aku tak mau ambil risiko."

Lantas aku bangkit dari kursi, dan melangkah ke pintu keluar. Meninggalkan ia duduk sendiri, terpekur di kafe, dengan menggigiti bibirnya sendiri.

Biarlah!

Dengung kipas angin menghapus bunyi jejak sepatuku.

Perasaan ini tidak masuk akal.

Komentar

  1. Aku lebih suka kopi hitam tanpa hiasan, agar bisa melihat wajah seseorang saat aku meminumnya. Dengan begitu aku akkan merasa dekat dengannya. hahahhaha....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer