Bagaimana Kalau Ibukota Dipindah Saja?



Wacana pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lainnya yang dianggap lebih strategis, lebih mutu, lebih layak; adalah wacana paling PHP (pemberi harapan palsu) di negeri ini. Bagaimana tidak? Wacana tersebut bahkan sudah pernah dikemukakan sebelum Indonesia merdeka, ketika Belanda masih berkuasa. Namun urung terealisasi akibat depresi ekonomi dan perang dunia II.

Wacana tersebut muncul kembali, saat Bung Karno masih menjabat sebagai presiden, yang lantas urung diwujudkan karena masalah dana. Di masa kepemimpinan Soeharto, wacana itu sempat terdengar lagi. Tapi gagal terealisasi akibat krisis ekonomi. Dan beberapa periode setelahnya, wacana itu menyembul kembali bak jerawat di wajah, yang lebih baik jangan dipencet, dan biarkan saja menciut dengan sendirinya saat SBY berkuasa. Tapi juga kandas, seperti di masa-masa sebelumnya.

Lha kok mirip kisahnya wajan penggorengan yang panas ketika pantatnya dijilat api, dan mendingin begitu api padam.

Dalam tulisan ini, saya akan mengibaratkan wacana pemindahan ibukota, seolah wacana pemindahan tempat nongkrong, hang out, kopdar atau apel malam Minggu dari lokasi lama ke lokasi baru yang "kayaknya" lebih mendingan.

Anggaplah, satu hari saya bersama sahabat saya sedang makan ke warung penyetan pinggir jalan langganan kami. Sebab sesuatu hal, sahabat saya itu tiba-tiba bertanya: Bagaimana kalau kapan-kapan kita pindah ibukota tempat makan saja?

Saya mungkin akan menjawabnya dengan pertanyaan:

Kenapa Harus Pindah?

Kalau masalahnya tentang pemindahan tempat kumpul makan penyetan, tentu jawabannya akan sedikit mudah. Tergantung situasi. Misal: masakannya mulai mboseni, atau agak kumuh tempatnya, atau cenderung antri bahkan kehabisan tempat duduk saking ramainya pembeli. Semua tergantung situasi.

Hal itu berlaku pula, jika menyangkut pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lainnya. Melihat situasi kota Jakarta sekarang, alasan-alasan "kenapa ibukota perlu dipindahkan?" akan nampak. Misal saja: masalah kemacetan yang seolah tiada pernah putus. Sambung-menyambung dari masa ke masa. Kian keruh, kian buram. Sehingga menghambat jalannya pemerintahan.

Maka, sebaiknya jangan berprasangka buruk pada pejabat (wakil rakyat) kita, yang ketika rapat berlangsung ternyata banyak kursi tidak bertuan atau mungkin lebih tepatnya menunggu tuannya. Barangkali beberapa pejabat (yang merupakan tuan dari kursi kosong) itu, sedang terjebak kemacetan. Barangkali mereka sangat panik, dan sering BBM, SMS, WA ke kawan-kawan mereka yang sudah hadir di ruang rapat; menanyakan perihal sudah dimulai apa belum rapatnya. Barangkali memang begitu adanya. Barangkali lho, ya...

Belum lagi jika ditambah dengan banjir yang melanda. Merendam 70% wilayah Jakarta. Membuat jalan-jalan tergenang. Mobil, motor, bajaj, bus, angkot banyak yang mogok gara-gara mesinnya kemasukan air. Yang tentu kian memperparah kemacetan. Juga menyebabkan kerugian triliunan per tahun. Sehingga berdampak pula dengan jalannya sistem pemerintahan.

Alasan lainnya, Jakarta sudah semakin padat. Disesaki jutaan penduduk beserta kendaraan pribadi mereka.

Hal ini merupakan dampak dari multifungsi kota Jakarta, yang selain sebagai pusat pemerintahan; juga merangkap sebagai pusat ekonomi. Sehingga banyak orang yang tergiur untuk pindah ke Jakarta, demi penghidupan yang katanya "lebih cemerlang". Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta seperti sebukit semut yang mengerubungi segenggam gula. Seolah-olah di pikiran mereka itu, tiada yang lebih menjanjikan kebahagiaan dibanding Jakarta. Meski harus saya akui, Jakarta memang tampak glamour.

Meledaknya populasi di Jakarta sangat riskan memicu konflik antara kepentingan ekonomi dan ekologi; kepentingan sesaat dan jangka panjang; kepentingan elit dan masyarakat. Sehingga, dikhawatirkan bisa melemahkan pemerintahan.

Belum lagi ditambah masalah-masalah lainnya yang terkait kepadatan penduduk. Misal pemukiman kumuh yang menjamur, sehingga memperburuk kesan Jakarta sebagai ibukota. Juga lahan yang semakin sempit, sehingga kurang memungkinkan pembangunan perangkat kerja pemerintahan. Serta dampak kerusakan lingkungan, akibat sistem tata kota yang buruk.

Saya pikir, semua masalah itu bisa mengganggu produktivitas wakil rakyat kita, dalam menghasilkan kebijakan yang baik.

Pindah ke Mana?

Setelah tahu alasan "kenapa harus pindah?", pertanyaan yang muncul adalah: Pindah ke mana?

Ada beberapa tempat yang pernah digadang-gadang sebagai ibukota yang baru. Semisal Bandung yang pernah diupayakan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu, ketika Jakarta masih bernama Batavia. Lantas presiden Soekarno yang pernah mencanangkan ibukota agar pindah ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kemudian Jonggol, Bogor, yang pernah dicanangkan oleh presiden Soeharto. Dan masih banyak usulan dari para pakar, yang agaknya lebih setuju ibukota dipindahkan ke kota di pulau Sumatera atau Kalimantan.

Dan usai mendapat alasan "kenapa harus pindah?" dan gambaran tempat yang kiranya cocok, barulah kita boleh menjawab pertanyaan:

Bagaimana Kalau Ibukota Dipindah Saja?

Ya, boleh, boleh. Saya juga sepakat kok sebaiknya ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta. Tetapi, saya pikir ndak usah kesusu (jangan terburu-buru). Perlu dibangun pula kota-kota ikutannya, agar ibukota yang baru tidak bernasib sama dengan ibukota sebelumnya yang diserbu jutaan penduduk, karena dianggap tidak ada kehidupan yang lebih "menjanjikan" dibanding di sana. Sehingga, tidak muncul pikiran: ibukota = kota besar = hidup yang lebih layak = kita harus tinggal di sana. Kan kalau banyak kota-kota yang tampak sama-sama maju, sama-sama menjanjikan, orang-orang jadi punya banyak pilihan. Berikan mereka hak untuk mendapatkan beragam pilihan. Jangan biarkan mereka hanya terpaku pada satu pilihan. Bukankah hidup ini indah karena tersedianya pilihan yang melimpah? Hal itu serupa saya yang tanpa sadar bersyukur, bahwa di dunia ini tidak hanya ada satu "dedek gemes" saja.

Dan pertanyaan berikutnya (lho masih ada tho?; Justru ini yang terpenting) adalah:

Kapan Mau Pindah?

Kalau pertanyaan ini soal pindah lokasi makan penyetan, tentu dengan gampang akan saya jawab: "Menunggu gajian bulan depan saja deh, bro."

Tapi, masalahnya ini menyangkut pemindahan ibukota yang biayanya tentu saja tidak murah. Membuat pertanyaan itu sama sulitnya seperti pertanyaan yang sering dihaturkan keluarga besar saya: Kapan mau nikah?

Dan tanggapan saya pun akhirnya sama. Hanya sebatas cengiran atau senyum yang dipaksakan atau garuk-garuk kepala karena bingung mau jawab apaan.

Lha jawab "kapan mau nikah?" saja susah, jee, apalagi mau jawab "kapan ibukota mau dipindahkan?".

Tapi, biasanya pakdhe, budhe, paklik, bulik, eyang, kakung saya biasanya punya nasihat, jika saya kesulitan menanggapi pertanyaan (kapan nikah?) itu:

"Segera dipersiapkan semuanya. Mulai nabung. Jangan cuma rencana-rencana saja. Koen (kamu) kudu action, Le."

Komentar

Postingan Populer