Berpaling ke Ebook, Mencoba Move On dari Buku Cetak
Termasuk salah satunya untuk
mulai berpaling dari buku cetak, kepada buku elektronik (ebook). Itu
tidak gampang.
Jika boleh diibaratkan: buku cetak
itu serupa surat yang dikirim dengan merpati pos, yang digantikan fungsinya
oleh Short Message Service (SMS).
Serupa kuda yang digantikan oleh mobil atau motor atau kereta api. Serupa
celana cut bray yang digantikan oleh skinny pant. Serupa kamu (iya... kamu) yang digantikan oleh dia.
Maksudnya, mereka masih bisa
dijumpai, masih dikenang dan sesekali dipakai, tapi mereka itu sudah menjadi
minoritas alias sudah jarang. Bukankah memang begitulah proses move on yang kita amalkan? Sedikit demi
sedikit melupakan. Mengubah dari 'kebanyakan' atau 'sering kali', menjadi
'jarang' atau 'terkadang'. Kita tidak meniadakannya. Hanya saja sudah
seharusnya bukan menjadi pilihan utama.
Namun kenyataannya, ebook yang digadang-gadang sebagai pengganti
buku cetak; sesuatu yang tampaknya lebih seksi;
bertahun-tahun setelah kemunculannya yang lebih modern, khususnya di negeri
kita, tetap saja ebook menjadi si minoritas.
Apa pasal ini? Apa mungkin banyak dari kita (para WNI) yang belum tahu
kelebihan ebook? Jika kita
semua bisa move on dari kuda, karena mengetahui
kecanggihan mobil atau motor atau kereta api. Mungkin, kita semua perlu mulai mengenal kelebihan ebook dibanding buku cetak. Barangkali bisa
menambah minat dan keyakinan untuk beralih ke ebook.
Beberapa yang saya tahu:
Ebook Tidak
Memerlukan Ruang Penyimpanan yang Besar
Semakin banyak buku cetak yang Anda
beli, semakin besar pula ruang untuk menyimpannya. Tidak mengherankan jika satu
saat Anda sedang online di media sosial, dan menemukan salah
satu kawan Anda yang suka membaca, tiba-tiba menjual buku-buku koleksinya
dengan separuh harga. Alasannya, bukan butuh uang, melainkan karena betapa
penuh sesaknya rak-rak buku miliknya. Tempat yang dia punya tidak mungkin
ditarik-tarik supaya agak legaan. Tidak bisa. Sama mustahilnya mengubah ukuran
bumi menjadi dua kali lipat atau lebih. Sehingga, saat dia membeli koleksi buku
baru, dia memutuskan untuk menjual buku-buku lamanya, agar rak-raknya bisa
menampung buku-buku baru tersebut.
Hal ini pun terjadi pada para
penerbit. Semakin banyak penerbit fulan menerbitkan buku, semakin besar pula
gudang-gudang penyimpanan yang dibutuhkan.
Bandingkan dengan ebook yang hanya memerlukan ruang penyimpanan digital di sebuah gadget (atau e-reader).
Ebook Tidak Cepat Usang dan Mudah Dibawa
Jika satu ketika Anda mampir ke
perpustakaan, dan menemukan buku-buku lawas terbitan dua dekade silam, maka
Anda akan melihat adanya penuaan pada buku-buku tersebut. Kertas yang
sebelumnya putih, mulai ditumbuhi bintik-bintik, hingga akhirnya mulai menguning
secara menyeluruh. Terkadang pula, antara lembar satu dengan yang lainnya
menempel, yang jika dipaksa untuk dipisahkan cinta
keduanya akan menimbulkan
kerusakan pada teks yang tertulis. Belum lagi, ada beberapa yang cover-nya rusak dan jilidnya
lepas sehingga tiap lembarnya tercecer.
Hal itu menunjukkan bahwa buku
cetak gampang usang dan rusak. Dibandingkan ebook yang tampilannya tetap bagus meski
bertahun-tahun disimpan. Juga, aplikasi yang menjual ebook, menyediakan backup otomatis, yang jika sewaktu-waktu
perangkat yang Anda gunakan mengalami kerusakan, Anda tak perlu membeli lagi ebook yang ikut hilang.
Selain itu, Anda tidak perlu lagi
meniru kostum kura-kura ninja, dengan membawa tas punggung berisi
buku-buku, yang begitu membebani. Anda bisa membawa ratusan buku di dalam
gadget (atau tablet atau e-reader). Dan saya rasa itu tidak
memberatkan, bukan?
Ebook Mampu Menekan Biaya Produksi dan Distribusi
Buku cetak dibuat dengan bahan baku
utama kertas dan tinta, yang harganya semakin tidak bersahabat dengan industri
penerbitan di negeri ini. Belum lagi tahapan produksinya yang banyak, dari:
layout, cetak, potong, jilid, hingga finishing.
Cukup merepotkan.
Sementara, proses produksi untuk
pembuatan ebook lebih sederhana dari itu.
Belum lagi proses pendistribusian
buku-buku tersebut, ke setiap daerah yang
terdapat toko buku. Memakan waktu yang lama dan menghabiskan biaya
transportasi yang naik-turun mengikuti harga bahan bakar minyak.
Sedangkan, untuk ebook, tokonya ada di tiap
gadget yang sudah terpasang aplikasi penyedia ebook.
Sebut saja Play Store, Amazon, Gramediana, dan lain sebagainya. Tidak sesusah
buku cetak dalam pendistribusiannya.
Di samping berimbas pada harga buku
(ebook) yang lebih murah, para pembaca mendapat akses lebih mudah untuk
mendapat buku yang diinginkan. Tanpa mengkhawatirkan ongkos kirim dan menunggu
waktu pengiriman, sebagaimana membeli
buku cetak secara online.
Para pembaca yang menginginkan
sebuah buku, akhirnya tidak perlu repot untuk pergi jauh-jauh ke toko buku.
Tinggal bersantai saja di rumah atau kafe, dengan koneksi internet yang mumpuni
dan gadget yang support,
maka mereka sudah bisa membeli buku yang diinginkan. Tanpa perlu buang-buang
keringat. Tanpa perlu waktu lama. Dan yang terpenting, tanpa perlu khawatir
buku yang diinginkan akan habis.
Galau banget kan, begitu sampai ke toko buku,
ternyata buku yang dicari sold
out atau belum datang. Marai cegek wae (membuat kecewa saja).
Penerbit Lebih Berani Menerbitkan Sebuah Buku
Dengan berkurangnya risiko kerugian
yang kemungkinan akan dialami, sebab dalam produksi tidak membutuhkan kertas
dan tinta, penerbit sebagai
penjaga mutu layak tidaknya sebuah buku untuk dibaca bisa lebih berani
menerbitkan karya yang dinilai bagus, dengan tidak hanya berdasarkan marketable.
Sehingga koleksi buku berkualitas
yang dilahirkan, jadi lebih banyak. Oh, indah kayaknya!
Demikianlah yang saya tahu mengenai
kebaikan ebook dibanding buku cetak. Memang ada juga
kekurangannya atau lebih tepat
disebut kesulitannya, misal: untuk proses pembayarannya yang cenderung
menggunakan kartu kredit atau debit visa, yang tak semua orang Indonesia memilikinya. Tapi saya pikir, itu cuma
masalah waktu. Buktinya, sekarang ada beberapa perusahaan penyedia ebook yang bekerja sama dengan salah satu
perusahaan "minimarket" untuk menjual voucher yang nantinya
bisa dipakai membeli ebook.
Ada juga perusahaan yang menjual ebook yang
pembayarannya melalui pemotongan pulsa selular. Mereka mencoba membumikan ebook di lingkungan kita sekarang.
Saya yakin kok, ini semua memang
cuma masalah waktu. Move on itu butuh waktu. Butuh persiapan.
Butuh kematangan. Butuh menata hati dan segalanya. Tidak perlulah asal terabas,
tanpa acuh pada imbasnya. Kita bisa mulai menyiapkan semuanya demi menyambut
era perbukuan yang baru. Begitu iklimnya sudah tepat dan segalanya
memungkinkan, kenapa masih lama-lama mikir untuk move on ke ebook?
Komentar
Posting Komentar