POTONG RAMBUT BERDARAH

Catatan: 28 Juni 2015

Aku tak punya alasan untuk bangun sepagi ini, di hari Minggu, selain hanya demi memangkas rambutku yang sudah cukup gondrong. Sebuah ritual yang biasanya kulakukan setiap tiga bulan sekali, namun terlanjur terlewat sebulan karena sifatku yang terlalu abai pada gaya rambutku.

Sembari mengikuti Bapak yang berjalan di depanku membawa kursi menuju halaman rumah, aku menyisir rambut yang sengaja dibasahi tadi. Demi memudahkan Bapak merapikan rambutku.

Di bawah pohon kapuk, Bapak mulai memainkan gunting. Memotong setiap senti rambutku yang hitam dan tebal. Mengingatkanku pada tukang potong tahun 90-an yang suka mengambil lokasi jasanya di bawah pohon. Menyenangkan. Setidaknya ritual memotong rambut ini tidak akan membosankan bila diselingi aktivitas mengenang masa lalu yang lucu itu.

Berhelai-helai rambutku jatuh di pundakku terlebih dahulu, sebelum akhirnya luruh ke tanah. Hal itu membuat daerah sekitar leher gatal, terlebih aku bertelanjang dada tanpa kain yang menyelimuti.

Aku tak bisa berbuat banyak. Hanya mampu menyisihkan rambut-rambut yang menempel. Tanpa menggerakkan kepala atau leher. Sebab hal itu akan membuat gaya rambutku menjadi berantakan. Dan itu bakal amat memalukan, jika sampai terjadi.

Setidaknya, butuh waktu setengah jam sebelum akhirnya Bapak meletakkan gunting. Diganti dengan silet, demi merapikan tepian rambutku.

Bapak mulai menyentuhkan silet ke kulitku. Mencukur rambut-rambut halus.

"Aduuuh!" aku memekik, ketika tanpa sengaja silet itu menggores kulit di sekitar tengkuk. Membuatnya sedikit berdarah.

Tapi aku tak memedulikannya. Menahan perih yang mulai terasa, sampai Bapak selesai merampungkannya.

Selepas itu, aku menyentuh kulit yang terasa panas bekas goresan silet. Dan mendapati secuil darah di telapak tanganku, seperti darah dari seekor nyamuk bila aku menepuknya.

"Bapak harusnya hati-hati," protesku.

Bapak hanya tersenyum, seraya memberiku cermin.

"Kau cukup tampan, dengan gaya rambut barumu."

Aku menatap cermin di tanganku, dan tersenyum.

"Ini 'kan gaya rambut seperti yang sudah-sudah," kataku sedikit meledek, "apanya yang beda."

Memang Bapak hanya mengetahui satu gaya rambut: Tipis pinggir dan belakang, dengan bagian atas yang dibuat mohawk. Hanya itu.

"Setidaknya, kamu irit uang dua-puluh ribu, Le," Bapak menimpali.

Betul juga. Ini gratis. Hemat. Lagipula aku dapat paket plus-plus. Paket kenangan dan keakraban Bapak dan anak.

Aku tidak rugi sama sekali. Meski sedikit kulitku tergores dan berdarah. Tak masalah. Kebahagiaan memang selalu menagih pengorbanan.

Komentar

Postingan Populer