Menjelang (Suara) Maghrib

Menjelang petang. Senja.



Telingamu mencari-cari sepenggal suara di udara. Ibarat tangan yang sedang meraih-raih, demi bisa memetik sebutir buah . Kamu begitu mendambakannya. Ingin mendengarnya. Segera.

Padahal, suara sejenis sering lewat dan menepuk gendang telingamu. Pagi, siang, sore, dan ketika malam mulai mengental; suara-suara sejenis itu setia berkumandang. Hanya saja, entah mengapa, kamu tak merindukan keempat suara itu seperti kamu mendambakan suara sejenis yang satu itu.

Sejenak, kamu melirik arloji yang melingkar di tangan kirimu. Cukup lama. Tersisa dua-puluh menit, sebelum suara itu meletus, bersama jatuhnya matahari ke paraduan.

Tubuhmu melemas. Seolah kamu adalah puding yang kehilangan kepadatannya. Waktu memang terasa begitu lama berlalu, bila kita menungguinya tandas.

Ah, kamu menyebalkan.

Sungguh.

Kamu tidak berlaku sama rata. Kamu si tukang pilih.

Bagaimana tidak?

Kepada suara sejenis yang terdengar sebelum matahari berpijar, kamu lebih sering menguap seperti kuda nil. Mending tidur saja, katamu, ketika kantuk bergelayut di kelopak matamu. Menggodamu untuk terpejam. Pergi tidur. Tanpa peduli suara sejenis itu muncul, merambat ke angkasa.

Juga...

Kepada suara sejenis yang terdengar saat matahari mengambang di tengah hari, kamu malas untuk mendengarnya, dan lebih memilih di balik ruangan yang teduh. Tanpa peduli suara sejenis itu bersusah-payah menembus tembok-tembok ruangan, demi menyapamu.

Lalu...

Kepada suara sejenis yang terdengar saat sore, kamu pun enggan peduli. Ini masih lama sekali, keluhmu saat itu dengan mata yang sedikit mengantuk.

Ah, dasar pemalas! Bahkan aku tak perlu mencekokimu dengan pil tidur, agar membuatmu terlelap.

Dan...

Akhirnya, dua-puluh menit yang tersisa telah habis. Suara sejenis yang kamu dambakan merambati udara. Gelombang-gelombang suara itu menyelinap di telingamu.

Tapi sayang...

Lama kamu menunggu, ternyata yang kamu hiraukan hanya sepenggal saja. Selebihnya, kamu tak peduli. Malahan, dengan begitu ganasnya, kamu menyumpalkan makanan di mulut. Hingga penuh. Hingga susah sekali kamu mengunyah.

Membuatku khawatir kamu bakal mati, kehabisan napas, karena tak ada celah bagi masuknya oksigen.

Kamu makan dan minum dengan cara yang mengerikan.

Hingga...

Hampir sejam berlalu.

Selepas makan, kamu menyandarkan punggung di kursi ruang tamu. Duduk dengan khidmat. Acara televisi malam ini sedang bagus dan menarik. Sayang untuk dilewatkan.

Padahal...

Suara sejenis yang terakhir di hari itu, bertebaran di udara. Memanggilmu. Tapi, kamu malah meninggikan volume suara televisimu, dan takzim menekuri layar kaca.

Memang siapa peduli?

Komentar

Postingan Populer