KEKAYAAN YANG KAMU PUNYA

Masih kuingat, malam itu, kita minum kopi bersama. Menandaskan hawa dingin yang mulai melekat di kulit. Menghangatkan.

Memang, kopi yang kita hirup hanyalah sekadar kopi murahan hasil olahan pabrik. Harganya terjangkau. Hanya dua ribu perak per cangkir. Tetapi kita tahu, itu tak menjadi masalah. Sebab kita bukanlah penggila minuman berkadar kafein itu. Kita hanya pecinta keramaian kota yang selalu mendengar lengkingan klakson; yang selalu kagum—bahkan hampir bosan—saat melihat pijar lampu sorot kendaraan, yang mengalahkan nyala bintang di langit.

Beberapa menit kemudian, tanah tempat kita duduk diguncang derap kereta api yang melintas. Kamu tidak terkejut sedikit pun. Malahan, kamu meledakkan tawa ke angkasa. Aku turut tertawa. Bukan karena kelucuan kereta api—yang entah apa. Tawaku ikut berderai bersama tawamu, sebab aku senang melihat kamu gembira.

"Kita tidak akan mendapat sensasi seperti ini di kafe," katamu, sambil mengalihkan pandang ke kafe di depan kita yang sepi pelanggan. Mungkin para konsumennya tersedot oleh warung pinggir jalan yang lebih digandrungi para pemuda-pemudi berkantung dangkal. Seperti kita.

Aku tak tahu apa maksud perkataanmu. Hanya anggukan ringan sebagai balasan bagi kalimatmu barusan.

"Aku akan update status," usulmu.

Aku mengiyakan saja. Berpura-pura setuju, meski hal itu tidaklah perlu.

'Minum kopi di #Kopi_Topi.'

Begitulah status darimu yang kubaca, setelah kamu mengirimkannya beberapa detik yang lalu.

Aku tersenyum. Karena, kamu meminjam nama kafe di depan kita.

"Kamu malu ngopi di sini ya?" tanyaku.

Kamu menggeleng mantap. Tanpa ragu. Dan tanpa alasan kamu terbahak kembali.

"Ini satire."

"Maksudnya?"

"Menertawakan apa yang sebenarnya tidak lucu."

"Bukan itu."

"Ya, aku tahu."

"Lantas?"

"Kamu tahu, kalau aku bukanlah orang berada. Kasarnya, miskin. Aku hanya ingin sedikit menjadi sombong," katamu enteng, seraya meneguk kopi. "Dan ketika, kamu bukanlah orang kaya yang bisa memamerkan harta atau gaya hidup mewah, kamu hanya bisa mengandalkan kebohongan."

"Jadi menurutmu, kebohongan adalah kekayaan?"

Kamu mengangguk. "Aku hanya mencoba beradaptasi, agar 'mereka' lebih memanusiakanku." Lantas kamu menghirup kopimu yang tinggal separuh.

"Bukankah kita memang manusia?"

Uhukk!

Kamu tersedak, saat mendengar pertanyaanku barusan.

"Apa benar begitu?"

Komentar

Postingan Populer