Catatan: 12 Juni 2015

Siang itu, sambil berselonjor kaki di kursi panjang yang terbuat dari kayu, aku membaca sebuah novel. Kurang-lebih tersisa 170 halaman lagi. Bila semuanya lancar, aku bisa menyelesaikannya sebelum senja menampakkan diri. Terlebih novel yang sedang kubaca memang cukup menarik.

Ditemani segelas kopi hitam dan sebungkus wafer, aku membalikkan tiap halaman yang telah rampung kubaca. Lembar demi lembar. Begitu mudah dan menghanyutkan.

Hingga sampailah aku di halaman 320--yang artinya tersisa 150 halaman lagi. Di sana kutemukan suatu kejanggalan. Kalimat di akhir halaman 320, tidak menyatu dengan kalimat di halaman selanjutnya.

Aneh.

Segera aku menyelidikinya. Mengecek nomor halamannya. Dan mendapati apa masalahnya.

Rupanya, setelah halaman 320 adalah halaman 385. Dan aku mendapatkan rangkap dua dari halaman 385 hingga 448. Itu artinya ada 64 halaman yang bermasalah.

Menyebalkan. Terlebih aku terlanjur hanyut dalam jalinan cerita. Dan, hal ini membuatku kesal.

Maka aku memutuskan, nanti sore, akan datang ke toko buku tempat aku membeli buku itu, demi menuntut ganti rugi.

Tapi tidak. Rasanya cukup diganti dengan halaman yang seharusnya ada, sepertinya impas.

***

Sore akhirnya tiba.

Dengan menenteng tas, aku pergi ke toko buku. Berjalan santai ditemani senja yang baru saja mekar di langit. Serta, udara yang tak terlalu panas.

Menyenangkan. Mendukungku untuk berpikir setenang mungkin, di sela himpitan rasa gusar.

Hanya saja, ada pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiranku: Apa buku itu bisa ditukarkan? Bagaimana kalau mereka menolak?

Aku bergeming sejenak. Berpikir demi mengantisipasi hal itu. Tanpa peduli penjual bakso yang sedang dikerubungi pembeli. Tanpa menghiraukan bunyi klakson, yang berkali-kali menjerit dari kendaraan yang terjebak macet.

Hingga, aku berkesimpulan: akan membentuk wajahku segarang mungkin, mengenakan topeng bernama kekesalan, demi membuat mereka takut menolak. Dan, tampaknya akan berhasil.

Maka, kembali aku mengayunkan langkah dengan sigap, menuju toko buku itu.

Tak perlu waktu lama, akhirnya aku sampai di depan toko itu. Cukup sepi. Seolah mendukung niatku untuk marah-marah.

Namun, sebelum aku memijakkan kaki, langkahku tertahan. Tepat di depan pintu masuk. Ada sesuatu di hati yang menghalangiku untuk menyemburkan amarah. Sesuatu yang serupa malaikat. Dingin. Mendamaikan gelombang garang yang sempat bergejolak.

Aku mulai bertanya-tanya sendiri: Apa perbuatan itu layak mereka terima?

Ketika aku mulai bertanya-tanya, dari sisi lain diriku menyuruh agar aku tidak ragu.

'Kau adalah pembeli. Pembeli adalah raja!'

Benar! Aku berhak melakukannya, dan mereka layak menerimanya.

Tetapi, tiba-tiba sisi malaikatku muncul kembali, berkata: 'Kau harus bersikap baik meski kau memang layak merasa kesal.'

Lama, kedua sisi diriku itu berdebat. Tak mau kalah dan mengalah. Hingga akhirnya aku menghentikan pertarungan yang rasanya takkan ada putusnya, dengan mengambil keputusan.

Segera aku melangkah masuk, dan menuju bagian customer service. Di sana aku mendapati seorang wanita berusia sekitar empat-puluhan berwajah ramah. Ia tersenyum, menyambutku.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Pertanyaan basi. Tentu saja ada.

"Sebulan yang lalu saya membeli buku di sini, dan saya mendapati ada cacat produksi," kataku ramah.

Ramah?

Yah, itulah keputusanku. Aku percaya bahwa masalah ini bisa selesai dengan baik, tanpa adanya otot yang menegang di leher.

***

Hasilnya sangat memuaskan. 

Tak perlu waktu lama, untuk akhirnya mereka mengganti dengan buku baru yang tentunya sudah lengkap. Ah, rupanya bersikap baik, amat membantu. Tak perlu saling melukai perasaan masing-masing. Tak perlu saling membentak agar bisa didengar.

Setelah menerima pengganti buku itu, segera aku pulang. Tetapi lagi-lagi langkahku tertahan. Kali ini karena melihat sebuah novel baru, dengan cover angsa putih dan angsa hitam yang saling berhadapan. Seketika mataku membelalak senang.

'The School Good and Evil jilid 2: Dunia Tanpa Pangeran'

Dunia tanpa pangeran? Berarti dunia tanpa lelaki? Eh, tetapi rasanya tak semua lelaki bisa jadi pangeran.

Ah, lupakan! Aku harus membawa buku itu menginap di rakku.

Komentar

Postingan Populer