Sudahlah, Kau Tak Akan Mengerti
Ada hal-hal yang dianggap sangat berharga, bahkan penting, oleh sebagian orang; namun juga dianggap sia-sia oleh sebagian lainnya. Sehingga, bila diperdebatkan, hanya akan menghasilkan kericuhan yang berkepanjangan.
Inilah yang bisa saya tangkap dari film berjudul "Fan". Sebuah film India yang dibintangi oleh Shahrukh Khan dan seorang remaja yang mirip dengannya.
Film tersebut, menceritakan seorang fans yang tergila-gila dengan aktor pujaannya, yaitu Shahrukh Khan. Dan secara kebetulan, atau ditakdirkan, fans tersebut memiliki wajah hampir serupa dengan sang aktor.
Karena kekagumannya pada sang aktor, ia bahkan menirukan gaya sang aktor saat berbicara, menari, dan lain sebagainya (yang tentunya sesuai yang dilihatnya di film). Seolah ia memang dilahirkan untuk menduplikasi sang aktor.
Satu hari, ia ingin bertemu langsung dengan sang aktor, untuk menunjukkan apa-apa saja yang telah dilakukannya untuk memuja sang aktor. Namun itu bukanlah perkara mudah. Betapa sulitnya ia untuk bertemu sang aktor pujaannya itu.
Hingga akhirnya ia memilih sebuah jalan pintas yang tentunya membuat gusar sang aktor dan membuatnya dipenjarakan, yang ironisnya atas perintah sang aktor sendiri. Saat mengetahui fakta tersebut, ia kecewa berat, lalu berbalik "memusuhi" (atau sebenarnya membuat kesal sang aktor, sehingga ia diperhatikan) supaya sang aktor mau meminta maaf atas perlakuan yang tidak menyenangkan yang telah ditimpakan padanya.
Namun, hingga akhir cerita, tak kunjung pula sang aktor meminta maaf. Seolah-olah kata itu telah terhapus dari kamusnya. Hanya saja sang aktor akhirnya tampak menyesal saat fansnya tersebut mati dengan meloncat dari sebuah gedung setelah satu perkelahian dengannya.
Sebuah kalimat yang sering dikatakan oleh fans tersebut di sepanjang cerita, adalah: "Sudahlah, kau tak akan mengerti."
Ia mengatakannya, ketika ada seseorang yang mempertanyakan impiannya (untuk bertemu dengan sang aktor dan mendapat sebuah pujian) itu, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia belaka. Bahkan sang aktor pun menganggap impian itu sebagai sesuatu yang remeh dan hanya buang-buang waktu saja.
Barangkali, kita pernah mengalami kejadian semacam itu. Apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kita yakini sebagai sesuatu yang berguna dan penting, malah dipandang sebelah mata oleh orang lain, seolah sesuatu yang sia-sia.
Sebagai contoh kasus, misal begini: Ada sebagian orang yang menganggap rokok itu sebagai sesuatu yang penting, sehingga perlu ada. Namun sebagian lainnya menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia atau mengganggu dan hanya buang-buang duit saja, sehingga perlu ditiadakan. Akhirnya, terciptalah dua kubu: Pro-rokok dan Anti-rokok.
Di dunia ini, kedua kubu itu terus bersaing, supaya kubu yang berseberangan dengan prinsipnya mengikuti satu jalan, yaitu: membiarkan rokok tetap ada, atau, meniadakan rokok.
Para Pro-rokok akan berdalih bahwa rokok menambah penghasilan negara, meluaskan lapangan kerja, menghilangkan stress, bahkan ada pula yang dengan tololnya mengaitkannya dengan kejantanan seorang pria (maksudnya: ada yang bilang kalau pria yang tak merokok itu kurang laki). Sementara, para Anti-rokok akan berdalih bahwa rokok bisa membunuh, menimbulkan banyak penyakit berat, mengandung bahan-bahan berbahaya, mengandung babi, buang-buang duit, menghabiskan APBN hanya untuk kesehatan masyarakat, dan lain sebagainya, sembari menunjukkan bukti-buktinya.
Semua hanya demi satu tujuan, supaya bisa memenangkan argumen masing-masing. Sehingga muncullah perdebatan yang terus berulang dan berkepanjangan. Karena pada akhirnya, keduanya memang tidak bisa dikalahkan, dan selalu punya alasan untuk mempertahankan prinsipnya, apa pun itu.
Tentunya, saya tidak menyarankan agar salah satunya bersedia kalah, dan mengikuti prinsip pihak (yang dianggap) menang. Hanya saja, barangkali akan menjadi indah bila satu sama lain saling memiliki pengertian, agar tercipta hubungan yang harmonis lagi damai.
Misalnya, tidak perlulah mereka meniadakan rokok, dan menganggapnya sebagai satu hal yang sia-sia hanya karena melihatnya dari sudut pandang mereka yang bukan perokok. Dan para perokok tidak lantas menganggap orang yang bukan perokok itu sebagai orang-orang kurang piknik yang suka melarang ini itu, hanya karena melihatnya dari kacamata kuda mereka sendiri. Bukankah leluhur kita pernah mengajarkan untuk "sawang sinawang", saling memandang satu sama lain, melihat permasalahan secara dua arah. Kenapa kita tidak menerapkannya dalam kehidupan ini, supaya tiada lagi orang yang akan berkata: "Sudahlah, kau tak akan mengerti." hanya demi mempertahankan prinsipnya.
Komentar
Posting Komentar