Puasa yang Hambar



Saya menyadari bahwa berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Bukan hanya tidak makan dan tidak minum selama sekian jam. Bukan hanya makan sahur pada petang hari, untuk kemudian berbuka, melunasi lapar dan dahaga kala azan maghrib berkumandang. Juga, bukan hanya menjalankan sholat terawih dan bertadarus saja.

Saya meyakini berpuasa, memang bukan sekadar ritual-ritual ibadah yang perlu kita lakukan di bulan tersebut. Lebih dari itu, mestinya berpuasa membawa kesehatan untuk hati, menyenangkan dan menyegarkannya kembali.

Kebetulan, saya sedikit tahu, bahwa esensi di balik menahan lapar dan dahaga, sebenarnya lebih kepada menahan diri. Bila di bulan lainnya kita pol-polan menumpahkan diri, di bulan Ramadhan kita diajak untuk berlatih mengendalikan diri.

Manusia, bisa diibaratkan seperti mobil. Ia mampu melesat ratusan kilometer dalam waktu sejam. Namun, sekalipun ia bisa melesat dengan kecepatan yang menakjubkan, ia mesti menahan diri untuk tidak membuka gasnya terlalu longgar, sehingga membuat ia melaju dalam kecepatan yang sekiranya aman, dan tidak membahayakan siapa pun dan dirinya sendiri.

Namun, sayangnya, dan sungguh bedebah, dalam praktiknya, ternyata pengetahuan saya soal itu cenderung tidak saya terapkan ketika berpuasa. Sehingga yang terasa hanyalah kemeriahan di luar; sedangkan di dalam, anehnya, merasa hambar. Kosong. Ompong.

Mendekati hari pertama puasa, cenderung sekali saya cuma bersiap, berpikir bagaimana caranya supaya saya kuat berpuasa selama sebulan ke depan. Ketika puasa, saya malah lebih suka memikirkan menu apa yang mengundang selera, sehingga tidak malas bersantap sahur. Menjelang waktu berbuka, saya lebih banyak berpikir minuman menyegarkan macam apa yang enak dibikin demi menyiram kerontang di kerongkongan; lebih banyak berpikir di mana saya bisa membeli sekantung es batu; lebih banyak berpikir santapan apa saja yang bisa memuaskan cacing-cacing keparat di perut saya; dan terkadang, memikirkan hendak berkunjung ke masjid yang mana yang menyediakan menu berbuka paling berlimpah. Saat terawih, pikiran saya sedikit disibukkan mengenai busana yang hendak saya kenakan; juga di mana masjid yang sholatnya agak selow, sehingga pinggang saya tidak tersiksa lantaran berdiri, nungging dan sujud dalam kecepatan yang tak dapat saya ikuti. Dan kesibukan semacam itu terus berangsung hari ke hari, hingga mendekati malam yang diprediksi sebagai lailatur qadar, saya berpikir jajanan apa yang bisa saya berikan bagi orang-orang yang bertadarus setelah terawih, sehingga diharapkan saya mendapat ampunan selama seribu bulan. Setelah malam itu berlalu, mendekati lebaran, dan THR sudah turun, saya mulai berpikir baju apa yang bisa saya beli; juga kue apa yang bisa dijadikan suguhan ke tamu di hari lebaran; juga akan ke mana saya saat libur lebaran, sebab saya tak punya kampung halaman memang. Sehari sebelum lebaran, saya berpikir tentang zakat yang mesti dikeluarkan dan kira-kira akan diberikan pada siapa.

Lalu di mana waktu saya untuk memikirkan Tuhan? Memikirkan kebaikan yang mesti saya lakukan bukan lantaran kemeriahan sesaat yang saya beranggapan bila saya tak melakoninya, akan sangat memalukan?

Ibarat orang hendak menikah, alih-alih memikirkan esensi dari pernikahan dan bersiap menjalani hidup ke depannya, mereka malah berpikir baju pengantin apa yang akan dikenakan; siapa-siapa yang bakal diundang; gedung mana yang bakal disewa; orkes melayu mana yang bakal ditanggap; pesan kethering di mana; dan kemeriahan-kemariahan lainnya.

Tidak dipungkiri, ini merupakan tindakan konyol: Mengejar kebahagiaan artifisial (tiruan) dibanding kebahagiaan yang sebenar-benarnya kebahagiaan.

Maka, tidak mengherankan, bila tabiat saya masih sedikit berengsek. Tidak aneh. Mengingat apa yang saya kerjakan selama sebulan "berpuasa".

Lalu apa sebaiknya saya tidak usah berpuasa saja, daripada berpuasa namun tak memperbaiki apa pun?

Ah, itu ide yang sangat bri... bri... briyengsek banget!

Saya ini bisa dikatakan orang bodoh yang tahu bahwa dirinya bodoh dan tahu apa kebodohannya. Tidak berpuasa malah menjadikan saya orang bodoh yang mengambil tindakan bodoh, yaitu: menyerah, tidak mau belajar, tidak mau jadi manusia lebih baik.

Bila posisi saya berada dalam golongan orang demikian, yang mesti saya lakukan adalah terus belajar dan menambah pemahaman dan tiada henti mencoba menggunakan pemahaman itu, supaya saya jadi lebih pintar dari sebelumnya.

Bila Allah masih memberi kesempatan pada saya untuk berpuasa esok, akan menjadi saat yang tepat bagi saya untuk belajar dan berlatih. Semoga bisa!

Komentar

Postingan Populer