Gadis Kecil di Tepi Jalan



Satu pagi, saat aku mengendarai motor di Jalan Rungkut Lor, sekilas aku melihat seorang gadis kecil berseragam SD. Berdiri di bahu jalan, dengan menenteng ransel, ia celingukan ke kiri dan kanan. Memerhatikan jalan raya yang tengah ramai dengan kendaraan.

Barangkali ia ingin menyeberang. Pergi ke sekolahnya yang berada di sisi jalan lainnya.

Anehnya, aku tidak turun dari motor tungganganku untuk membantu. Aku tetap melaju dalam kerumunan kendaraan yang melesat cepat, seolah di belakang ada debu vulkanik yang tengah mengejar.

Bukan aku tak punya rasa empati untuk membantu. Namun, waktu yang kupunya sudah amat mepet. Sudah terlampau singkat untuk diulur-ulur lagi. Aku sungguh tak ingin terlambat di hari pertamaku bekerja. Jadinya, aku tak bisa meluangkan waktu untuk turun dan menyeberangkannya. Maaf.

Aku terus menggeber motor tuaku. Mesin dua tak-nya meraung seperti suara napas raksasa tua yang mengidap batuk menahun. Begitu berisik dan gemuruh. Dalam sekejap, aku telah meninggalkan gadis kecil itu jauh di belakang. Hingga bayangannya tak lagi menempel pada kaca spion kiriku.

Namun, entah kenapa, aku masih memikirkannya. Mendadak, aku merasa khawatir jika ternyata tidak ada seseorang yang datang membantunya menyeberang; lalu ia mengambil langkah nekat agar tidak terlambat masuk ke sekolah; dan sebuah kendaraan yang tengah terburu-buru, menabraknya. Membuat tubuhnya terpelanting, lalu tergeletak di aspal dengan tubuh penuh luka dan kepala bocor. Aku bergidik saat membayangkan hal itu.

Laju motorku melambat. Pikiran itu mengusik konsentrasiku.

Ingin aku berputar arah, kembali ke tempat gadis kecil itu berada, untuk menyeberangkannya. Namun, ketika aku melirik jam tanganku, betapa sedihnya saat aku mendapati waktuku kian menciut. Semakin sempit saja. Sehingga aku mengurungkan niatku untuk berbalik arah.

Namun bayangan gadis kecil itu belum juga lenyap. Masih mendekam dalam pikiran. Berkelebat seperti hantu masa lalu. Buru-buru aku memasukkan sebuah keyakinan dalam hati, yang mengatakan bahwa gadis kecil itu akan baik-baik. Tentu akan ada seseorang yang punya waktu luang, yang mau berhenti sejenak untuk membantunya menyeberang. Kuyakin, aku bukanlah satu-satunya orang yang tak tega bila melihat seorang gadis kecil menyeberang sendirian dan terluka karenanya. Ya, pasti akan ada orang lain yang datang membantu.

Dengan mantap, aku terus melaju.

Namun, tak lama kemudian, aku melambatkan motor kembali. Sesuatu lagi-lagi mengganggu pikiranku. Yang membuatku teringat pada gadis kecil itu. Kembali aku mengkhawatirkannya. Kali ini dengan alasan lainnya: Bagaimana bila orang-orang berpikir sepertiku—bahwa akan ada orang lain yang akan membantunya—sehingga tak satu pun orang yang akan datang untuk menyeberangkannya?

Tanpa perlu berlama-lama lagi, sebelum aku berubah pikiran lagi, kuputuskan untuk berbalik arah. Kembali ke tempat gadis kecil itu berdiri.

Sesampainya di sana, tak kudapati sosok gadis kecil itu. Entah di mana. Barangkali sudah ada orang lain yang membantu menyeberangkannya.

Aku merasa sedikit kecewa. Kedatanganku kemari rupanya hanya untuk memastikan bahwa gadis itu sudah menyeberang—entah menyeberang sendirian atau ada yang membantunya. Lagipula, belum tentu ia mau menyeberang, bukan? Barangkali, saat itu, ia tengah menunggu angkutan umum? Bisa jadi begitu.

Namun aku juga merasa lega, mendapat kepastian bahwa gadis kecil itu baik-baik saja. Setidaknya itulah yang kuyakini saat ini.

Aku mengembalikan perhatian pada diriku sendiri. Aku melirik arloji, dan mengetahui bahwa aku sudah terlambat masuk kerja. Dalam pikiran, aku menimbang-nimbang: Akankah kembali pulang ke rumah dan meyakini bahwa pekerjaan ini tak akan jadi milikku? Atau terus melanjutkan perjalanan, demi memastikannya? Mungkin saja aku sedang beruntung dan mendapat pemakluman atas keterlambatanku.

Tanpa buang-buang waktu lagi, aku memilih opsi kedua. Sudah tak ada waktu untuk meragu.

Komentar

Postingan Populer