Telepon Umum Terakhir di Kotaku



Telepon umum

Bila kalian mencari benda itu di kota kami; percayalah, kalian takkan menemukannya. Kalian bisa dengan mudahnya mendapatkan: ponsel, telepon rumah, Ipad, internet dan alat komunikasi lainnya di sini. Tapi bisa kujamin, kalian takkan menemukan sebatang pun telepon umum di kota kami.

Kenapa?

Jawabannya ada di depan mataku. Kepada orang-orang yang tengah berkumpul di taman, di pinggiran kota, yang jarang mereka kunjungi di hari-hari biasa.

Sepagi ini mereka beramai-ramai kemari untuk berdoa. Kebanyakan adalah pasangan kekasih, yang bermaksud mencari berkah demi langgengnya hubungan. Mereka menghadap ke sebuah tugu yang berdiri tegap di sebidang tanah bekas telepon umum terakhir di kota ini. Memejamkan mata. Menangkupkan tangan di depan dada. Khidmat.

Berdirinya tugu itu tak lepas dari peristiwa memilukan sepuluh tahun silam. Ketika seorang pengamen mati terinjak-injak demi mempertahankan sebatang telepon umum terakhir. Hal itu ia lakukan semata-mata demi menumpas kerinduannya pada seorang gadis. Ia ingin mendengar suara gadis itu, demi mengobati rasa kangennya.

Sungguh cerita yang romantis, bukan? Tak heran orang-orang begitu mengharapkan magis dari tempat ini. Terlebih bagi mereka yang sudah memiliki tambatan hati.

Aku tersenyum sinis. Melihat taman yang kian dipadati orang-orang. Merasa kasihan kepada mereka yang jadi korban sebuah bualan bernama mitos. Mereka tidak tahu, bahwa mitos yang selama ini mereka yakini, adalah sebuah peristiwa sejarah yang salah. Hasil rekaan. Akibat dari kreasi orang-orang tak bertanggungjawab, yang telah berani menyimpulkan sebuah sejarah dari satu sisi saja.

Ah, mungkin kalian ingin mendengar cerita yang sebenarnya. Fakta asli dari peristiwa itu, yang berhasil kudapatkan dengan susah-payah. Sebaiknya, dari mana aku memulainya?

***

Lebih dari satu dekade silam, kisah ini dimulai.

Siang itu pikuk sekali. Orang-orang berlarian. Mengejar seorang penjambret yang berlari tunggang-langgang, seperti pelari yang melihat garis finish.

"Maling! Jambret!" orang-orang berteriak. Membuat massa yang mengejar penjambret itu kian bertambah. 

"Tangkap!"

Sayangnya, tak ada yang berhasil mengejar. Penjambret itu terlalu cepat dan lincah. Mereka mulai kelelahan. Sedangkan si penjambret tak sedikit pun melambat. Ia terus berlari. Lesat. Melewati gang-gang sempit. Berbelok dari satu tikungan ke tikungan lainnya. Hingga tiba-tiba....

"BUK!"

Seorang pengamen berhasil menjegalnya. Membuat si penjambret tersungkur, dengan kepala membentur trotoar. Berdarah. Ia mengerang kesakitan.

Belum reda pening di kepalanya, orang-orang mulai berdatangan. Menghunjamkan pukulan. Nyawa penjambret itu hampir hengkang dari tubuhnya, kalau saja polisi tidak segera mengamankannya.

***
Orang-orang membanjiri pengamen itu dengan pujian. Mengelu-elukan aksi heroiknya. Hingga datanglah sebuah mobil sedan berplat merah, merapat ke trotoar.

Pintu depan mobil mewah itu terbuka. Dari rekahannya, menjulur kaki mulus seorang gadis, turun ke trotoar. Menghampiri kerumunan.

"Apakah pencurinya tertangkap?" tanya gadis itu. Ternyata ia adalah pemilik dari tas yang dijambret tadi.

Orang-orang menoleh ke asal suara. Mereka terpukau demi melihat gadis itu. Cantik. Anggun. Bagai bidadari yang turun dari seutas pelangi. Jakun mereka naik-turun. Menelan ludah. Hanya anggukan pelan yang bisa mereka berikan sebagai jawaban.

"Syukurlah," katanya lega. "Bagaimana dengan tas saya?"

Orang-orang masih terdiam. Terlena dengan keindahan di depan mereka. Hingga akhirnya sebuah suara terlempar ke udara. Mengagetkan, "O ... ini tas kamu." Seseorang mengembalikan tas gadis itu. "Kamu harus berterima kasih pada dia." Ia menepuk bahu si pengamen.

Agaknya, di antara kerumunan orang yang memandangi gadis cantik itu, si pengamen-lah yang terlihat paling takjub. Terpukau. Lelaki berusia tiga puluhan itu tak henti-hentinya memancangkan mata pada wajah cantik gadis di hadapannya.

Ketika gadis itu menghampirinya. Hendak berterimakasih. Sekejap, jantungnya berdebar kencang.

"Benarkah?" Gadis itu bertanya.

Pengamen itu hanya bisa menatap penuh takjub kepada si pemilik suara. Ia tercengang. Tiba-tiba mulutnya terkatup rapat. Tak mau bicara. Seperti dilekati lem. Ia hanya bisa mengangguk.

"Ya, Nona," kata seseorang lagi, "dia yang membuat penjambret itu keok."

"Saya berterimakasih sekali. Bila tidak ada Anda, mungkin tas ini sudah raib.” Gadis itu buru-buru merogoh tasnya. Mengambil dompet. Berniat memberi imbalan. "Tolong diterima, sebagai ucapan terima kasih saya." Ia menjulurkan tangannya yang menggenggam uang, kepada si pengamen.

Lekas si pengamen menolak. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tak mau menerima imbalan. "Tidak perlu, Nona. Saya ikhlas melakukannya tadi," katanya sambil tersipu.

"Sungguhkah?" tanya gadis itu.

Si pengamen mengangguk mantap.

"Anda benar-benar orang baik. Bolehkah saya tahu nama Anda?"

Si pengamen menjawab lirih, "Qais."

"Baiklah, Pak Qais." Gadis itu memasukkan uangnya kembali ke dompet. Lantas mengambil secarik kertas memo dan menuliskan nomor teleponnya. "Meskipun Anda ikhlas, saya tetap ingin membalasnya. Bila Anda butuh bantuan, silakan hubungi saya."

Qais menjuhut kertas itu, dengan tangan sedikit gemetar. Diserang gugup.

"Baiklah, Pak Qais, saya pamit dulu." Gadis itu berlalu. Masuk ke mobilnya. Menghilang dari pandangan Qais.

Qais tersenyum. Tersipu. Diliriknya kertas di tangannya. Tertera sebuah nama dan nomor telepon. Nama gadis itu: Laila.

***

Semenjak bertemu Laila, tidur Qais tak pernah nyenyak. Cenderung ia terjaga, menatap langit malam, sembari berbaring di bangku taman. Wajah Laila selalu membayang di pikirannya. Mengusiknya. Seolah di otaknya sedang memutar film, yang semua adegannya hanya ada Laila.
Selain kantung mata yang kian menggantung, tubuh Qais juga kian kurus. Jarang sekali ia makan. Ia lebih suka mengingat wajah Laila. Baginya hal itu sudah cukup mengenyangkan. Qais benar-benar telah hanyut dalam cinta. Kasmaran. Hatinya terjatuh kepada Laila. Dan lambat-laun mulai menyisip rasa rindu. Sebuah perasaan yang harus terbalaskan

Teman-temannya sesama pengamen, merasa iba dengan keadaanya. Kian hari tubuh Qais kian susut. Menipis. Kurus. Mereka sudah berkali-kali membujuk Qais untuk makan. Namun agaknya sia-sia belaka. Makanan yang mereka berikan, hanya sedikit disentuh. Dikunyah satu-dua suapan. Lantas dicampakkan sebagai santapan lalat-lalat.

"Kau harus banyak makan, Qais. Tubuhmu sudah macam kertas saja. Nanti kau sakit," bujuk Marno, salah seorang teman Qais.

Tapi Qais hanya diam. Tak menjawab. Sorot matanya kosong. Menatap langit. Kedua tangannya ditangkupkan di dada. Menggenggam kertas dari Laila.

"Kau benar-benar jatuh cinta dengan gadis itu, ya?" tanya Marno. Melirik kertas memo di pelukan Qais.
Qais tetap diam. Bibirnya rapat.

"Apa kau rindu dengan dia?" Lagi. Marno bertanya.

Qais masih diam.

Marno mendengus kesal. Ia seolah sedang bicara dengan seonggok mayat.

"Hey, kau dengar aku, tidak?" Marno sedikit gusar. "Kalau kau rindu dengan gadis itu, ajaklah dia ketemuan. Kau 'kan bisa telepon dia."

Qais memalingkan muka kepada Marno.

“Dengan apa aku meneleponnya? Aku tak punya telepon kebel,” kata Qais akhirnya, merasa terusik dengan ocehan temannya itu.

“Kau ‘kan bisa pakai telepon umum, tinggal masukan koin, bereslah urusan,” saran Marno.

Aneh. Mendadak Qais bangkit dari lamunannya. Ia menoleh kepada Marno. Wajah Qais menghangat. Senyum menikung di pipinya.

"Kenapa tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, ya?" Qais baru sadar, bahwa ia bisa menumpas rindunya.

Pencinta memang terkadang bodoh.

***
          
Dengan semangat, Qais menuju salah satu telepon umum. Ia memasukkan koin, lantas memutar nomor yang tertera di kertas. Terdengar nada sambung.
          
Lama sekali tak ada sahutan.
          
Qais kembali memutar nomor. Berharap segera diangkat.
          
Satu, dua, tiga….
          
“Halo?” Terdengar suara Laila. Meski hanya sekali bertemu, Qais hafal betul suara gadis itu.
          
“Aku—“ katanya, tergeragap, “Qais … Pak Qais.”
          
Sedetik-duadetik tak ada sahutan dari Laila. Mungkin ia mencoba mengingat. Hingga akhirnya, Laila berkata, “Oh, Pak Qais! Ada apa, Pak?”
          
Hati Qais melonjak kegirangan, demi mendengar suara Laila yang masih mengingatnya.
          
“Halo?” kata Laila, setelah lama tak ada sahutan dari Qais.
          
“Halo,” sahut Qais. “Aku cuma ingin ketemu kamu.” Ia memberanikan untuk mengungkapkan maksudnya. “Bisakah?”
          
Tercipta jeda selama lima detik.
         
 “Aduh, maaf,” kata Laila kemudian, “saya lagi sibuk sekali. Tidak bisa.”
          
Mendengar penolakan itu hati Qais terpukul. Air matanya tiba-tiba merembes. Rasa rindu kian membuat hatinya ngilu.
          
“Kalau Pak Qais butuh sesuatu, saya bisa kirim orang untuk bantu Bapak.” Dari nada bicaranya, Laila seolah merasa bersalah. “Halo? Bagaimana, Pak?”
          
Qais diam. Masih tergugu.
          
“Halo?”
          
“Ya, Halo,” jawab Qais. “Boleh aku minta fotomu saja?”
          
Hening sejenak. Hingga akhirnya Laila menjawab, “Ya, boleh.”

***
          
Bagi Qais, tiada hari tanpa memikirkan Laila. Ia makin menggilai Laila, semenjak mendapat kiriman foto gadis itu. Setiap pagi, saat ia bangun tidur, tak pernah lupa ia mengecup foto Laila. Sebelum berangkat mengamen, pada siang hari, ia mengelus foto itu sambil tersenyum dan mengecupnya lagi. Ketika senja tiba, ia duduk di bangku taman sembari menatap langit berwarna jingga dengan foto Laila yang setia ia genggam. Dan, sebelum tidur, ia memandangi foto Laila, mengecupnya, lantas mendekapnya di dada.
          
Hal itu terus berulang setiap hari. Hingga menjadi gunjingan antar teman-temannya.
          
“Apa dia sudah gila?” tanya seorang teman pada Marno, suatu kali.
          
“Tidak, dia hanya sedang tergila-gila.”
          
Ya, Qais memang tergila-gila pada Laila. Dan kian hari, kian bertambahlah rasa cintanya itu. Menciptakan rasa rindu yang menggigit.

Merasa tak puas bila hanya memandangi foto Laila. Qais pun memutuskan ingin mendengar suara Laila lagi. Berharap bisa bercerita banyak hal, juga tentang perasaannya.
          
Maka Qais mencari telepon umum, mengambil uang recehan hasil dari mengamen, dan menelepon Laila.
          
“Halo, Laila,” kata Qais.
          
“Ya,” jawab Laila dari seberang sana.
          
“Aku ingin bercerita padamu.”
          
“Ya,” balas Laila. “Aku akan senang mendengarkannya.”

***
          
Setahun berlalu.
          
Percakapan lewat telepon, antara Laila dan Qais tak pernah absen tiap bulannya. Dalam seminggu, bisa dua hingga tiga kali percakapan itu terjadi. Qais banyak bercerita. Tentang dirinya yang yatim-piatu sejak kecil. Tentang hidupnya yang menggelandang, berteman debu jalanan. Tentang lagu kesukaannya ketika mengamen. Tapi tak sedikit pun, ia membahas tentang perasaan cintanya pada Laila.
          
Hingga di suatu siang yang cerah, Qais memberanikan diri untuk mengatakannya. Lagi pula—menurut Qais—sepertinya Laila juga menaruh hati padanya. Kalau tidak, bagaimana mungkin Laila begitu setia mendengarkan cerita-ceritanya. Pasti, cintanya pada Laila takkan bertepuk sebelah tangan.
          
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Gagang telepon yang digenggam Qais, gemetar. Ia gugup.
          
“Apa itu? Sepertinya serius.” Terdengar Laila sedang tertawa kecil.
          
“A-anu… aku—“ Qais menelan ludah. Mencoba melanjutkan kembali. “Aku cinta kau, Laila. Maukah kau jadi istriku?”
          
Hanya ada hening. Tak terdengar jawaban dari Laila.
          
“Bagaimana, Laila?” Tak sabar Qais ingin mendengar jawaban dari Laila. Ia mengira, Laila pasti malu-malu untuk bilang: ya.
          
“Pak Qais?” kata Laila akhirnya.
          
“Ya?”
          
“Boleh saya minta waktu untuk menjawabnya?” tanya Laila.
          
Qais diam sejenak, sebelum akhirnya bertanya, “Berapa lama?”
          
“Seminggu.”

***
          
Menunggu seminggu ke depan, adalah siksaan bagi Qais. Hatinya benar-benar tak sabar untuk mendengar kabar gembira dari Laila. Ia begitu yakin, bahwa Laila akan membalas cintanya. Membayangkan Laila akan menjadi pengantinnya, sedikit membuatnya tenang.
          
Sialnya, tanpa ia ketahui, telepon umum di kota mulai dicabut. Para petugas membongkar satu per satu telepon umum. Hingga hampir tak bersisa.
          
Hari ini, tepat seminggu Qais menunggu. Ia pergi mencari telepon umum demi mendengar jawaban dari Laila. Sial sekali. Ia tak menemukannya.
          
“Ke mana semua telepon umumnya?” tanya Qais.
          
“Tak tahukah kau?” balas Marno. “Petugas kota sudah membongkarnya.”
           
Qais terkejut. Panik.
          
“Apa tidak ada satu yang tersisa?”
          
Marno mengangkat kedua bahunya. Tidak tahu.
          
“Pasti masih ada,” kata Qais, lantas pergi mencari telepon umum.
          
Qais menyusuri jalan demi jalan. Naik-turun bus menjelajah tiap sudut kota. Mangedarkan mata ke sana-kemari. Keluar-masuk gang. Tetapi ia tak menemukan sebatang pun telepon umum.
          
Qais mulai berputus asa. Langkah kakinya gontai. Menyisakan sedikit harapan.
Hingga akhirnya, mata Qaiz berbinar, saat menemukan sebatang telepon umum di sebuah taman yang tak terawat.
         
Telepon umum itu nampaknya luput dari penglihatan petugas kota. Pasalnya, telepon umum itu tertutupi sebatang pohon besar. Juga terselimuti oleh belukar.

Beruntung, meski catnya sudah terkelupas di sana-sini. Berkarat pula. Telepon umum itu masih berfungsi. Dengan girang, Qais segera menelepon Laila.

“Halo?” sahut Laila dari seberang sana.

Betapa senangnya hati Qais, mendengar suara Laila kembali. Rindu di hatinya, berhasil ia kupas.

“Laila! Ini aku,” kata Qais setengah berseru. “Bagaimana dengan—“
          
Tuuuuut …
          
Telepon terputus. Mungkin karena Qais terlalu lama terpukau, saat mendengar suara Laila. Hingga membuat Laila jenuh menunggu balasan. Qais mencoba menghubungi Laila kembali.
          
Tersambung, tapi tidak diangkat.
          
Lagi, Qais memutar nomor Laila. Tersambung, tapi tidak diangkat. Kembali ia mencoba. Hingga lima-belas kali. Tapi tetap tidak diangkat. Baru di hitungan selanjutnya, teleponnya diangkat.
          
“Halo, Laila!” Buru-buru Qais berseru. “Aku Qais.”
          
“Pak Qais,” suara Laila terdengar lembut. “Apa kabar?”
          
Belum lagi Qais menjawab, tiba-tiba sebuah truk merapat di depan taman. Para petugas kota turun. Masuk ke taman. Memburu telepon umum itu.
          
Qais terkejut mendapati para petugas menghampirinya. Ada apa ini?
          
“Minggir!” bentak pemimpin regu itu. “Kami harus memusnahkan telepon umum itu!”
          
Qais menggeleng. Tak mau menyingkir. Tangannya kian erat menggenggam gagang telepon umum.
          
“Jangan membantah! Ini perintah!”
          
Qais tetap bergeming dari telepon umum itu.
          
“Usir dia!” Pemimpin regu memberi perintah. Para petugas lantas maju, menarik Qais dari telepon umum itu. “Musnahkan telepon umum terakhir itu!”
          
Dengan gigih Qais melindungi telepon umum terakhir itu. Merentangkan tangan, menghalau para petugas. Tapi apalah arti tenaga pria kurus itu di hadapan para petugas bertubuh kekar. Hanya seperti seekor kelinci yang mencoba melawan sekawanan gajah. Percuma.
          
“Halo, Pak Qais! Ada apa?” tanya Laila.
          
“Jangan! Jangan ambil telepon ini!” Qais berteriak memohon. Lengkingan suaranya meledak di udara. Menyebar. Menarik perhatian beberapa penduduk kota.
          
“Cepat usir orang itu!” teriak pemimpin regu, melihat anak buahnya setengah hati menjalankan perintah. Sepertinya mereka merasa iba dengan Qais. “Atau gaji kalian tidak turun!”
          
Mendengar itu, berbondong-bondong mereka menyerbu Qais. Dengan paksa menariknya dari telepon umum terakhir itu. Membuat Qais tersungkur.
          
Qais masih enggan menyerah. Dengan lututnya yang ngilu, ia merangkak ke arah petugas yang membongkar telepon umum terakhir itu. Ingin mencegah. Ingin mendengar jawaban Laila.
          
Ironisnya, para petugas malah menendangnya sebelum Qais mendekat. Gusar karena Qais mengganggu pekerjaan mereka, para petugas menginjak-injak Qais. Tega.
          
Qais merasakan tubuhnya seolah lumat. Tulang-tulangnya seakan remuk. Tapi ia berhasil mendapatkan gagang telepon umum itu yang masih terhubung.
         
“Pak Qais!”
          
“Laila.”

***

Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya: kenapa petugas kota memusnahkan semua telepon umum? Ada yang bilang, karena kemajuan teknologi yang kian pesat, sehingga orang-orang merasa tak perlu lagi menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi.

Ah, rasanya pendapat itu agak berlebihan. Bukankah tak semua orang mampu membeli teknologi canggih itu? Bukankah masih ada saja orang yang mengandalkan telepon umum sebagai alat komunikasi?
          
Pasti ada alasan lain. Sebuah fakta yang sengaja disembunyikan dari publik. Suatu kebohongan. Sungguh tak ada penipuan paling kejam, selain menyembunyikan kebenaran. Atas dasar tak ingin dibohongi dan dibodohi itulah, aku menyelidiki kisah ini dengan sebenar-benarnya. Kalian ingin tahu, apa alasan sebenarnya? Akan kuceritakan.

***

Sudah sepuluh kali telepon di kamar Laila, berdering. Sengaja tidak diangkat. Ia tahu telepon itu dari Qais. Laila malah mengambil ponselnya, menghubungi seseorang.

“Cepatlah kau cari telepon umum itu. Masih ada satu lagi. Aku tak mau tahu, kau harus memusnahkannya!”

“Baik, Nona,” sahut seorang pria di seberang sana. Si pemimpin regu petugas kota.

“Sudah belasan kali ia menelepon! Cepatlah kau urus!”

“Saya sudah menemukannya,” kata si pemimpin regu.

“Bagus.” Laila mematikan ponselnya.
          
Sudah enam-belas kali telepon di kamar Laila, berdering. Kali ini ia mengangkatnya. Menjawab.
          
“Halo, Laila! Aku Qais.”
          
“Pak Qais,” kata Laila. “Apa kabar?”
          
Selanjutnya, yang terdengar dari telepon itu hanya keributan. Teriakan orang-orang marah dan ratapan minta belas-kasih dari Qais, menyeruak dari ujung sambungan.
          
“Pak Qais!”
          
“Laila.” Lantas putus.
          
Puluhan menit berlalu, ratusan mil jauhnya dari rumah Laila, di sebuah taman, Qais terkapar sambil menggenggam gagang telepon yang telah putus. Masih ada sedikit kesadaran yang tersisa. Ia mengigau, “Laila… Laila…”
          
“Sudah jangan banyak bicara, kau terluka parah. Akan kubawa kau ke rumah sakit,” kata Marno, yang baru saja sampai di taman itu, dan langsung panik melihat sahabatnya terkapar. “Ambulan akan segera datang.”
          
“Laila… ternyata…” Wajah Qais tampak pilu, suaranya tersendat. “Semuanya…” Napasnya putus-putus. “Aku terlambat menya—“
          
Qais mengembuskan napas terakhirnya.

***
          
Sungguh rumit sekali masalah ini. Menggelikan. Ternyata pangkal dari urusan ini adalah seorang gadis yang tak bisa jujur dengan perasaannya. Tak berani bilang, kalau ia tak cinta pada lelaki itu.
          
Laila, gadis yang dicintai Qais, ternyata anak mantan walikota di kota kami. Tentu tak sulit baginya untuk memusnahkan seluruh telepon umum yang ada di kota.

Rahasia ini tetap terjaga dari publik, hingga aku berhasil mengoreknya dari bekas pemimpin regu, yang kini wajahnya sudah asing untuk dikenali, karena sudah digurat keriput juga penyesalan. Pernah aku menanyakan di mana keberadaan Laila sekarang, pada lelaki tua itu. Tetapi ia hanya menggeleng dengan mulut terbungkam. Entah tak tahu atau tak mau mengatakannya.
          
Lantas, setelah mengetahui alasan yang sebenarnya, menurut kalian: siapa yang salah dari peristiwa ini? Apakah salah Laila, gadis yang tak bisa jujur dengan perasaannya, tak berani secara langsung menolak cinta dari lelaki yang pernah menolongnya? Apakah salah Qais, lelaki miskin tak tahu diri, yang membutakan mata dengan cinta, hingga enggan membuka pikirannya untuk menerima alasan; bahwa Laila hanya ingin membalas budi?

Entahlah.
         
“Qais adalah lelaki sejati yang begitu gigih menggenggam cintanya. Bahkan di saat menjelang ajalnya, ia masih sempat memanggil nama gadis itu,” kata Pak Marno, waktu aku mewancarainya. “Aku rasa waktu itu dia ingin mengatakan: ‘Laila ternyata mencintaiku. Semuanya sudah terlambat. Aku terlambat menyatakan perasaanku.’”
          
Aku tersenyum. Mengangguk seolah setuju dengan penilaian Pak Marno. Padahal, menurutku, yang sebenarnya ingin disampaikan Qais: “Laila ternyata di balik semuanya (peristiwa ini). Aku terlambat menyadarinya.”
          
Uhm, rupanya di akhir hayatnya, Qais menyadari kebodohannnya. Mungkin ia teringat waktu kali pertama bertemu Laila di trotoar. Mobil sedan berplat merah yang ditumpangi Laila—yang hanya dimiliki pejabat kota—pasti menjadi jangkar atas ingatannya. Tapi sayang, karena cinta yang buta, ia lebih cenderung melalaikannya.
          
Terlambat.

Nasi sudah menjadi bubur. Tak bisa diubah.
          
Lantas setelah mengetahui fakta yang sebenarnya, apakah kalian masih meyakini mitos cinta sejati di kota kami? Belum terlambat bagi kalian untuk mengerti.

*****

Komentar

Postingan Populer