Buat Apa Ada Polisi, Jika Peraturan Berguna?

—Jika minta maaf berguna, buat apa ada polisi?

Meteor Garden


Saya selalu merasa aneh jika melihat ada polisi sedang mengatur lalu lintas, di jalan yang traffic light-nya masih berfungsi normal. Apakah lampu merah-kuning-hijau itu tidak cukup untuk mengatur kehidupan "berkendara" kita di jalan? Bukankah sudah ada kesepakatan, bahwa merah berarti berhenti, kuning berarti bersiap-siap, dan hijau berarti silakan jalan?

Tetapi, mengetahui bahwa manusia adalah makhluk pembangkang. Suka memberontak. Maka fenomena tersebut tidaklah aneh.

Sebagai contoh, ketika lampu kuning berkedip-kedip setelah menyalanya lampu hijau, banyak dari pengendara yang harusnya mulai melambatkan laju kendaraannya dan bersiap injak rem, malah membuka gas dalam-dalam, seolah menganggap lampu kuning yang sebentar menyala itu adalah sedikit kesempatan untuk lepas dari hadangan lampu merah. Padahal kesempatan itu sudah habis sejak lampu hijau padam.

Ah, saya tidak hendak menceramahi Anda tentang tata-tertib di jalan raya. Saya yakin banyak yang sudah tahu soal itu. Saya juga tidak hendak nyinyirin mereka yang tidak patuh dan masih perlu ditakut-takutin pak polisi untuk sekadar mematuhi sebuah aturan. Sama sekali tidak. Karena untuk takwa patuh sebenar-benarnya takwa patuh, butuh proses. Ibarat bayi yang harus terus melatih kakinya, untuk bisa berdiri, berjalan, dan berlari kemudian.

Yang ingin saya bahas di tulisan ini adalah polisinya itu, ya, "polisi" dan "minta maaf" tepatnya. Dan basa-basi di atas, guna memudahkan saya dalam menyampaikan maksud dan tujuan saya. Baiklah, saya mulai sedikit serius, tapi tetap nyantai ya ....

Polisi dan Neraka

Pernah suatu ketika, saya pergi bersama seorang kawan, dengan mengendarai motor. Berhubung kawan saya hanya bawa satu helm (padahal sebelumnya saya minta untuk bawa dua helm), akhirnya, daripada mengurungkan niat kami untuk bepergian, kami memilih untuk melanggar aturan. Kami berkendara hanya dengan satu helm yang dipakai oleh kawan saya yang mengemudikan motor, sementara kepala saya telanjang tanpa perlindungan apa pun. Saat itu kami tahu betul di mana saja kawasan di Surabaya ini, yang mengarah ke tujuan kami, yang biasa disinggahi polisi. Dan kami memilih untuk lewat gang-gang (jalan tembusan) agar tidak berjumpa dengan polisi. (Mohon jangan ditiru, perbuatan itu hanya dilakukan oleh ahli melanggar yang sudah berpengalaman). Tentu kami takut bertemu polisi. Karena bila itu terjadi kami, tentu kami bakal dicegat, diajak berbincang sebentar, lantas dikasih surat undangan tilang.

Berdasarkan kisah di atas, bisalah kita ambil kesimpulan, bahwa hadirnya polisi—sekalipun di jalan yang traffic light-nya masih berfungsi normal—adalah demi agar kita mematuhi peraturan. Guna menciptakan ketakutan agar mereka yang bandel tidak melanggar. Dan menghukum, memberi efek jera bagi yang ketahuan melanggar. Bahkan, kalaupun kita mencoba melanggar, tetaplah kita harus bersusah-payah agar tidak bertemu bliyo-bliyo itu. Dan itu amat merepotkan. Hal itu akan membuat kita berpikir ribuan kali—dengan adanya polisi dan hukumannya—hanya untuk melanggar (berbuat dosa).

Jika disimak dengan saksama, fungsi polisi mirip dengan fungsi neraka yang diciptakan Tuhan. Bedanya, kalau urusan neraka, kita tidak bisa mengakalinya, sepandai apa pun orang itu ngeyel. Lha wong Tuhan Maha Segalanya, Jee, mau diakali bagaimana?

Tuhan menciptakan neraka agar kita senantiasa waspada untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang Dia larang. Sehingga, dengan menjauhi perbuatan buruk itu, diharapkan kita bisa dekat dengan perbuatan baik. Senantiasa melakukan kebaikan. Hal itu mengingatkan saya pada surat kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902, yang mengatakan: ”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” Anggaplah, jika Anda mengingat Tuhan, Anda juga akan ingat pada kebaikan.

Jadi, baik polisi ataupun neraka, memiliki fungsi sebagai pencegahan. Namun, pencegahan itu bisa timbul kalau pikiran kita masih punya rasa takut tentang itu.

Tanpa Polisi, Minta Maaf Hanya Manis di Bibir Saja

Minta maaf adalah suatu perbuatan terpuji yang menunjukkan bahwa kita sedang mengakui kesalahan kita. Memohon pengampunan atas segala dosa kita, karena telah melanggar. Tapi, apa jadinya sebuah permintaan maaf yang hanya sekadar kata "maaf" yang meluncur dari lidah, sedangkan dalam hati tidak terdapat niatan untuk tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama; sebab tidak ada hukuman yang bisa ditimpakan bagi yang melanggar; tidak ada efek jera.

Bayangkan saja, di dunia ini tidak ada hukuman atas tindak kejahatan. Semisal di film "The Purge". Di mana film tersebut menceritakan kondisi Amerika di tahun 2022 dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya yang menurut saya sangat tidak masuk akal dan sangat tidak manusiawi. Kebijakan itu memperbolehkan sesama manusia untuk melakukan tindakan kriminal apa saja dalam waktu satu malam penuh. Diperbolehkan membunuh, memperkosa, merampok, melakukan tindakan kekerasan lainnya tanpa disediakannya bantuan seperti petugas keamanan, medis, pemadam kebakaran dan lembaga masyarakat lainnya. Mereka mengatakannya hari penyucian diri dan tindakan tersebut adalah sebuah bentuk perayaan. Bahkan tindakan ini diliput oleh media melalui rekaman yang tersembunyi diberbagai sudut kota. Melalui perayaan tersebut, mereka akan menyucikan diri dan negara Amerika sehingga akan lahirlah Amerika yang baru.

Bayangkan juga, bagaimana bila di jalan raya—meski sudah terdapat aturan dan rambu-rambu yang memadai—tetapi tiada hukuman bagi yang tak mematuhi traffic light. Sehingga banyak yang menerabas, meski lampu merah sudah menyala. Sungguh, betapa sengkarutnya kehidupan "berkendara" kita, jika itu sampai terjadi.

Ketika suatu kejahatan dianggap lumrah, wajar, legal dan dimaklumi dengan mudah; apakah bisa kita mengharapkan efek jera dari pelakunya? Jikapun, pelakunya meminta maaf (tanpa dikenai sanksi), apakah hal itu akan menjamin perbuatan itu tidak akan terulang lagi? Saya tidak yakin.

Namun, dengan adanya polisi dan hukuman (dan neraka), minta maaf bukan hanya kata-kata kosong tanpa makna. Minta maaf menjadi kalimat yang menunjukkan kita benar-benar menyesal atas kesalahan yang kita perbuat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, karena tidak ingin berurusan dengan polisi dan hukuman (dan neraka).

Dan begitulah peran polisi dan hukuman (dan neraka) sebagai penguat makna sebuah permintaan maaf. Bukan hanya sekadar kata basa-basi, sekadar ngibul, yang lantas dilupakan tanpa membuat dampak apa pun.

Jangan anggap minta maaf cuma basa-basi. Jangan anggap polisi cuma patung berdiri yang tak memiliki fungsi. Jangan anggap neraka cuma omong kosong.

***

Namun, dari semua itu, alangkah lebih baiknya kita patuh bukan semata-mata karena takut pada polisi atau neraka. Tetapi, lebih kepada karena kita memang harus patuh dan mengharapkan kebaikan atas kepatuhan kita. Atas kesadaran kita sendiri. Toh, Tuhan tidak hanya menciptakan hal-hal serem macam neraka saja, tetapi juga surga bagi mereka yang senantiasa tunduk kepada-Nya.

Komentar

Postingan Populer