Saya Tak Acuh Saja
Akhir-akhir ini saya merasa telah menjadi seorang yang tak acuh. Jika bisa mengukur tingginya rasa abai saya itu, mungkin akan sebanding dengan tingginya sebuah gedung pencakar langit.
Ini baru saya ketahui ketika salah seorang teman mengatakan: "Kamu sombong dan angkuh."
Yah, saya tidak membantah tuduhan tersebut. Tidak pula setuju. Saya menanggapinya serba nanggung. Membiarkannya berada di tengah-tengah, tanpa menitik-beratkannya ke kiri atau ke kanan. Karena bisa jadi tindakan saya itu benar, tetapi juga salah di sisi lainnya.
Menurut saya, semuanya tergantung penempatannya.
Semua ini mungkin berawal dari kritik saya pada satu karya seorang penulis amatir—sama seperti saya—di salah satu komunitas online di facebook. Saat itu, saya menempatkan diri sebagai pembaca tanpa membawa kepentingan apa pun, selain sekadar apresiasi. Saya berpikir, sebagai seorang pembaca, saya berhak mengeluh bila karya itu tidak memuaskan libido saya atas suatu cerita. Ketika saya tidak merasakan orgasme dengan cerita yang saya baca, bukankah boleh saja saya menuduh si penulis cerita itu payah. Loyo.
Saya mengerti betul, bahwa setiap penilaian seseorang akan sulit sekali untuk obyektif. Cenderung sekali penilaian itu membawa karakter subyektif masing-masing dengan takaran ekspektasi yang berbeda-beda. Dan inilah alasan yang membuat pendapat teman saya tadi: salah. Di sinilah zona yang menjadikan pendapat saya benar.
Tetapi alangkah sedihnya saya ketika tahu bahwa bukan hanya teman saya tadi, yang mencemooh. Si penulis dan beberapa temannya, beramai-ramai menghujani saya dengan celaan: Dasar tidak menghargai karya orang lain!
Sebetulnya saya amat bersedih dengan celaan mereka itu, selain juga merasa ingin memuntahkan amarah yang mendidihkan darah di otak. Saya pikir mereka tahu ada perjanjian tidak tertulis yang harusnya disepakati antara pembaca dan penulis: Bahwa penulis boleh menulis karya apa pun yang ada di otaknya, sedangkan pembaca berhak menanggapinya dengan bentuk apa pun—entah itu dengan pujian atau kritik pedas.
Saya ingin sekali menagih pada mereka yang mencemooh saya itu: Tolong kembalikan waktu yang telah saya luangkan untuk membaca cerita ini!
Apa kiranya mereka bisa mengabulkannya?
Kurasa itu sama mustahilnya dengan menarik kata-kata yang telah saya tuliskan untuk cerita tersebut.
Karena sama-sama mustahil, saya memutuskan untuk tidak meneruskannya. Mengabaikannya dan berjanji tidak akan mampir ke cerita penulis itu, sebelum ia menyadari kesepakatannya.
Mungkin dengan saya mengkritik karya tersebut dan memberikan solusi yang saya ketahui; telah menjadikan saya manusia angkuh yang sok tahu di mata mereka—yang mencemooh saya. Inilah alasan yang membuat pendapat teman saya: benar. Sekaligus zona yang menahbiskan bahwa pendapat saya: salah.
Saya berharap bahwa masing-masing bisa mengerti: Bahwa dukungan tak ubahnya seperti buah jeruk. Tak selalu ia berupa kecupan hangat dan pujian yang manis. Melainkan juga sebuah tanggapan yang dingin dan keluhan yang getir.
Apa pun itu, semuanya mengandung vitamin C yang bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar