Mamasura Kota II: Distopia, Lakon Soal Manusia yang Bertarung dengan Egonya


Rabu (14/8), petang hari, Surabaya luar biasa sumuk, saya tidak tahu berapa tepatnya suhu udara saat itu, yang jelas baju dalam yang saya gunakan sampai basah kena keringat dan membuat kerongkongan saya jadi luar biasa kering. Dengan menunggangi motor bertransmisi otomatis (bahasamu, cuk, ngomong ae matic ngunu loh) saya menjemput kawan saya yang saya hubungi secara mendadak dengan bermodalkan kalimat: “Engko melok aku. Jam enam tak susul.”

Jam enam lewat sedikit, kami berdua akhirnya berangkat menembus kemacetan jalanan Surabaya pada jam-jam pulang kerja yang luar biasa asu, menuju Gedung Kesenian Cak Durasim. Kawan saya bertanya, “Onok acara opo, mas, nang kunu?” Saya menunda untuk memberinya jawaban dan dengan santainya hanya membalas, “Wes melok ae.”

Acara yang bakal kami hadiri adalah sebuah pertunjukan teater yang digelar oleh grup Teater Lingkar Surabaya. Judulnya terdengar suram dan kelam, yaitu: “Mamasura Kota II: Distopia” (selanjutnya saya singkat dengan MK2D). Mamasura, dalam mitologi Hindu, mewakili ego. Sedangkan distopia sangat dekat kaitannya dengan kerusakan, kehancuran, dan kebrobokan sebuah sistem. Dalam film-film yang betemakan distopia bikinan Hollywood, misalnya, kalian akan akrab dengan pemandangan; gedung-gedung ambruk, jembatan yang terputus, kelaparan, wabah penyakit, dan hancurnya sebuah peradaban—pokoknya, keadaan yang tak ideal bagi sebuah masyarakat untuk hidup secara layak. Penyebabnya bisa macam-macam, misal: karena perang berkepanjangan, karena sebuah laboratorium bawah tanah yang meledak dan menyebarkan virus (zombie) ke seantero kota, atau karena ledakan populasi yang masif. Sedangkan dalam MK2D, secara implisit menerangkan penyebab distopia adalah ego yang berlebihan.

Kami sampai di lokasi sekitar pukul tujuh lebih. Saya agak khawatir pintu teater sudah ditutup, karena sebelumnya kenalan saya yang menjadi salah satu crew—kepada dialah saya menitip tiket pertunjukan—mengatakan kalau close gate terakhir pada pukul tujuh. Untungnya, acara belum dimulai dan itu agak melegakan. Namun bencana selanjutnya menyusul, satu tiket saya hilang. Mungkin hari itu Tuhan sedang baik-baiknya pada saya; setelah sedikit negosiasi dan menunjukkan bukti kalau sebelumnya saya memiliki dua tiket, kami pun masuk.

Pementasan dimulai pukul setengah delapan. Lampu dipadamkan. Satu-satunya lampu yang menyala, menyorot seorang perempuan yang menjadi pembawa acara malam itu. Setelah satu dua sambutan, band menyanyikan dua buah lagu. Lalu hening. Tak lama kemudian sebuah narasi dibacakan, soal ego (mamasura). Sebuah pertanyaan yang membekas di kepala saya setelah mendengar narasi tersebut: Apa manusia sudah menuhankan egonya atau justru manusia adalah ego itu sendiri?

Narasi itu rampung, tapi tirai di depan kami belum juga diangkat. Lalu muncul suara lainnya, namun kali ini dua orang sekaligus; laki-laki dan perempuan. Mulanya mereka bergantian, seolah tengah berdialog satu sama lain, namun lama-kelamaan kedua suara itu saling bertabrakan, bercampur hingga terdengar seperti geremengan. Bunyi nyaring bel menambah kebisingan geremengan itu. Saya sempat memejamkan mata saat mendengarkan itu semua, membuat saya jadi membayangkan kekacauan dalam kepala yang dipenuhi oleh suara-suara yang berebut tampil dalam kesadaran.

Akhirnya tirai panggung diangkat. Bulan berwarna merah dan padang ilalang menjadi latar belakang utama. Di atas panggung seorang perempuan berambut panjang sedang menjejalkan sesuatu ke mulutnya, mengunyah dan menelannya, terus menerus tanpa jeda sampai ia terlihat ingin muntah karena kekenyangan. Ah, ini jelas simbol, pikir saya. Jika mengacu pada narasi sebelumnya, simbol ini tampaknya menggambarkan seseorang yang terus menerus “memberi makan” egonya tanpa henti. Lalu simbol lainnya muncul; seorang laki-laki berjalan dengan gontai sambil membawa lentera. Ia naik ke panggung menuju satu sudut. Namun begitu ia sampai di sudut itu, ia tiba-tiba berbalik arah, menoleh ke sebuah tenda putih, dan menghampirinya. Dari tenda putih itu tangan-tangan yang menggapai-gapai keluar lalu menarik paksa laki-laki pembawa lentera itu masuk ke dalam tenda putih, seakan-akan laki-laki itu tengah dimangsa. Kemudian lampu yang menyorot panggung padam.

Saat lampu panggung menyala kembali, adegan berganti. Sekumpulan orang berdasi membawa koran, membentangkannya seolah sedang membacanya, kemudian tertawa seperti orang sinting. Sekumpulan orang berdasi itu bisa jadi menggambarkan para penyebar berita bohong yang sedang menyetir media, tertawa keras saat menyaksikan berita bohongnya beredar luas dan barangkali telah berhasil menimbulkan samacam kekacauan massal, kehancuran, sebuah distopia.

Saya—dan mungkin kawan saya juga—menantikan hadirnya adegan yang bisa lebih mudah dicerna secara langsung tanpa perlu menerjemahkan simbol-simbol itu terlebih dulu. Bagaimanapun syarat untuk bisa menikmati sebuah cerita adalah cerita itu harus bisa kita pahami lebih dulu, dengan begitu kita bisa menemukan kelebihannya, apa yang membuatnya menarik. Sementara itu dalam pertunjukan malam itu, MK2D bukanlah jenis cerita yang bisa langsung kita pahami dalam sekali tonton. Kita perlu menontonnya berulang kali untuk membedah makna, memahami, kemudian menilainya secara adil. Dari awal hingga akhir, MK2D berisi simbol-simbol yang menunggu untuk dipecahkan, sebuah karya yang mesti diperbincangkan setelah lampu dinyalakan dan tirai diturunkan kembali. Sayangnya penyelenggara tidak menyediakan ruang diskusi sehabis pementasan.

Namun dari serentetan simbol yang ditampilkan malam itu, saya menerjemahkan bahwa MK2D bukanlah jenis cerita yang memiliki narasi tunggal, bahkan bisa dibilang ia mirip seperti sekumpulan cerita yang dipersatukan oleh satu tema sebagai benang merah, yaitu: ego yang merusak. Bentuk ceritanya mengingatkan saya pada cerpen karya Aris Rahman P. Putra, berjudul “Rekaman-rekaman yang Diselamatkan oleh Tuhan” yang isinya tentang beberapa slice of life yang terjadi pada saat-saat menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Begitu pula cerita-cerita dalam MK2D, mereka bukanlah adegan demi adegan yang saling mengikat satu sama lain dan memiliki satu punggung cerita. Bisa dibilang, mereka berdiri di kaki masing-masing, memiliki pesan moralnya tersendiri dan hanya diikat oleh satu tema. Saya juga menangkap, kalau simbol-simbol yang ditampilkan dalam MK2D, lebih berpusat pada pertarungan para tokoh dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri mereka, gelanggangnya sendiri adalah ruang imajiner dalam kepala mereka, dengan pengecualian simbol yang menampilkan orang-orang berdasi sedang membentangkan koran sambil tertawa keras—menurut saya di sana masih terdapat interaksi dengan sesuatu yang berada di luar.

Simbol yang paling tegas menunjukkan pertarungan itu adalah seorang tokoh berbaju serbaputih yang bertarung dengan tokoh lain bertubuh kekar dan bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung berwarna hitam. Si tokoh putih berdiri di depan si tokoh hitam yang sedang mencengkeram dan mencakar kepala milik si tokoh putih. Tak lama kemudian si tokoh hitam menunggangi si tokoh putih dan membuat si tokoh putih akhirnya roboh. Pertarungan itu dimenangkan oleh si tokoh hitam yang saya pahami sebagai penggambaran ego.

Simbol lainnya yang tak kalah epik adalah ketika si tokoh putih—masih tokoh yang sama—duduk di sebuah ruang tamu dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyoraki dan mempermainkannya sedemikian rupa. Saya menganggap orang-orang itu tak lain merupakan penggambaran suara-suara yang mengusik kepala si tokoh putih lalu mengacaukannya. Entah suara soal apa itu. Barangkali itu cemooh-cemooh, cibiran-cibiran, yang kadung direkam oleh kepala si tokoh dan diputar kembali pada suatu waktu layaknya kaset dan membuat si tokoh putih masuk ke kondisi psikedelik.

Satu hal yang masih belum saya pahami adalah bagian mana yang menampilkan sisi distopia, utamanya distopia yang menimpa sebuah kota. Sepanjang pertunjukan, saya hanya dijejali “sebab” tanpa mengetahui “akibat” apa yang bakal ditimbulkannya—bukankah seharusnya dua hal itu merupakan satu paket?

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, simbol-simbol yang tampil lebih kepada pertarungan antara manusia dengan sesuatu yang berada di dalam dirinya, dengan egonya; dan hasilnya (akal sehat) manusia selalu kalah telak. Hingga tirai diturunkan kembali, saya tidak dapat menemukan perlambang yang menggambarkan soal distopia yang menimpa sebuah kota karena kekalahan (akal sehat) itu; dan tanpa itu, kita seolah diminta untuk melakukan satu pekerjaan amat berat, yaitu: mengira-ngiranya.

Atau barangkali seperti yang dikatakan Iqbal—selaku sutradara—yang saya baca lewat sebuah media daring: “Distopia itu sendiri merupakan ruang imajiner dalam pikiran manusia. Sebuah tempat yang bahkan tidak pernah diharapkan dalam kenyataan. Tempat penuh dengan mamasura atau iblis penyebab keegoisan.” Saya tidak sepenuhnya paham apa maksudnya. Tapi saya mengira, cukuplah distopia itu berlangsung dalam kepala, jangan sampai mewujud menjadi sesuatu yang nyata—barangkali begitu.

Saya dan kawan saya akhirnya pulang pada pukul sembilan malam. Kami sesekali berhenti di depan stopan karena lampu merah sedang menyala. Saat baru berganti kuning, pengemudi mobil di belakang kami mengklakson dengan gila. Seketika, sebuah gagasan melintas di kepala saya; barangkali benar kata Iqbal, ruang imajiner itu, distopia itu dengan mamasuranya, betulan ada dan tengah mendekam di kepala orang-orang dan melahirkan orang-orang seperti pengemudi di belakang saya. Jancuk!

Komentar

Postingan Populer