Gundala: Pintu Gerbang BumiLangit Cinematic Universe


Bagi kalian yang gemar menonton film superhero beberapa tahun terakhir, atau membacanya lewat komik, kalian bakal menyadari ada narasi serupa yang mendasari lahirnya superhero dan penjahat; mereka lahir dari rahim yang sama, yaitu: tragedi.

Misalnya, Superman yang harus diungsikan ke bumi setelah planet asalnya meledak dan menewaskan kedua orangtuanya; Batman yang orangtuanya terbunuh di tangan pencopet; Spiderman yang harus menghadapi kematian pamannya akibat kecerobohannya; Joker si psikopat sinting yang lahir akibat perlakuan kejam masyarakat padanya.

Narasi yang sama pun dipakai oleh Joko Anwar untuk melahirkan Gundala dan villainnya, Pengkor. Cerita mulai bergulir dengan adegan yang menampilkan sekumpulan buruh pabrik yang menuntut hak mereka pada pemilik pabrik. Ada perkelahian di sana, namun tidak ada darah yang tumpah. Perkelahian terhenti ketika si pemilik pabrik setuju untuk berdamai dan meminta perwakilan para buruh pabrik berunding. Jeda tersebut tidak melahirkan apa pun selain memantik perkelahian yang lebih sengit dan menyebabkan kematian ayah Sancaka cilik. Sejak kematian ayahnya, kehidupan Sancaka dan ibunya jauh dari kata mulus, dan berujung minggatnya sang ibu yang mengaku mendapat kerja di kota, meninggalkan Sancaka cilik beserta ganasnya kehidupan yang mengelilinginya.

Sementara Pengkor, villain di film ini, kedua orangtuanya meninggal akibat tragedi kebakaran dan menyisakan luka bakar di sebagian wajahnya juga sebelah kaki dan tangannya jadi pengkor. Seakan kehidupan tidak ingin melepaskan Pengkor dari jerat penderitaan, pamannya justru menjebloskan Pengkor ke panti asuhan yang para pengasuhnya gemar menyiksa. Berkat kemampuannya memengaruhi juga memimpin, ia mengkoordinasi anak-anak panti untuk balik melawan. Perlawanan itu berhasil. Oleh para anak-anak panti, Pengkor dianggap sebagai tuhan dan mereka siap membantu Pengkor kapan pun ia membutuhkannya.

***

Sancaka alias Gundala tumbuh di keluarga baik-baik meski dengan kondisi ekonomi yang kurang. Ayahnya sejak dulu sudah memperkenalkan ia pada nilai-nilai luhur juga keberanian untuk membelanya. Hal ini tercermin dalam sebuah dialog antara Sancaka dan ayahnya, “Kalau semua orang seperti itu, bukan berarti kita juga harus begitu.” Jawaban tersebut diberikan sang ayah ketika Sancaka cilik bertanya kenapa ayahnya itu suka bikin ribut (demo) dengan dalih memperjuangkan keadilan.

Namun sejak menghadapi serangkaian tragedi, pemikiran Sancaka cilik sempat berubah—perubahan yang saya kira terasa wajar, siapa pun yang mendapat tragedi bertumpuk semacam itu sulit rasanya untuk tidak menaruh dendam pada hidup, bahkan orang lain. Pertemuan Sancaka dengan Awang—yang menyelamatkannya dari pengeroyokan dan mengajarinya silat—juga sedikit banyak mengubah pemikiran Sancaka. Awang seakan menanamkan pada diri Sancaka untuk jangan ikut campur urusan orang lain kalau tidak ingin hidupnya repot, urus diri sendiri saja. Pemikiran yang lantas berubah kembali seiring berjalannya cerita, menjadikannya sebagai sebuah ikon dari kebaikan.

Berbeda dengan Sancaka, meskipun mengalami tragedi yang tingkatnya kurang lebih sama, Pengkor bertransformasi dari anak kecil penakut menjadi mafia kelas kakap yang bahkan bisa ikut mengendalikan pemerintahan dari dalam. Anak-anak panti asuhan didikannya dilatih untuk menjadi tentaranya yang siap membelanya kapan pun ia membutuhkan.

Saya kira yang mendasari kedua tokoh ini memilih jalan yang bersebarangan—satu di pihak kebaikan, lainnya di pihak kejahatan—adalah latar belakang keluarga mereka. Sancaka lahir dari keluarga yang akrab dengan nilai-nilai kebaikan—atau dalam film ini terlihat sebagai kaum tertindas. Sedangkan, Pengkor lahir dari keluarga yang mengabaikan nilai-nilai kebaikan semacam itu, bahkan diperkenalkan bahwa ayah dari Pengkor adalah seorang pemilik perkebunan kaya raya yang gemar menindas para buruhnya, perilaku yang akhirnya memantik kemarahan buruh dan berujung pembakaran ia sekeluarga. Pengkor sebagai satu-satunya yang selamat dari tragedi itu, akhirnya menyimpan dendam yang besar dan mengubahnya jadi sosok yang jahat.

***

Dalam film-film superhero, saya selalu menemukan adanya formula yang sama, yaitu: Si penjahat selalu punya rencana lebih dulu dan para pahlawan selalu datang berikutnya mencegah rencana jahat itu berhasil. Bisa dibilang, pahlawan bereaksi ketika si penjahat sudah beraksi lebih dulu. Formula semacam itu juga berlaku di film Gundala ini. Jika Sancaka masih diliputi keraguan antara harus terus mementingkan diri sendiri demi keselamatannya atau mulai ikut menolong orang lain dan membela keadilan sebagaimana yang diajarkan oleh ayahnya; Pengkor lain lagi, seperti penjahat-penjahat lainnya, ia punya rencana untuk membuat dunia ini rusak.

Rencana itu berkaitan dengan serum amoral yang dicampurkan ke dalam beras-beras yang berada dalam gudang persediaan beras nasional. Para ibu hamil yang mengkonsumsi beras yang sudah terkontaminasi oleh serum tersebut, mengakibatkan janin yang dikandungnya akan mengalami kerusakan otak yang bakal membuat si anak kesulitan untuk membedakan baik dan buruk, menjadikannya manusia yang tidak bermoral.

Jujur saja, saat mendengar perihal serum amoral dan dampaknya bagi bayi, saya sempat nyengir dan membatin: “Joko Anwar kok jadi goblok begini sih, hemmm.” Kenapa saya berpikir demikian? Begini, perkara moral dan semacamnya, bukankah itu masuk ke ranah filsafat? Bahkan apa yang baik dan apa yang buruk antara satu daerah dengan daerah yang lainnya bisa jadi berbeda—faktor lainnya juga berpengaruh, semisal agama? Di Indonesia misalnya, minum miras adalah sesuatu yang buruk, tetapi di negara lainnya, hal itu wajar belaka bahkan perlu. Lucu sekali jika dibilang serum tersebut bisa membuat orang sulit menentukan baik dan buruk. Kalau membuat si anak jadi idiot, atau mengalami keterbelakangan mental, saya akan percaya. Tetapi film itu berkata lain, serum itu bisa membikin orang jadi amoral. Hmmmmm...

Namun menjelang akhir cerita, perkara serum amoral itu diterangkan dan menjadi masuk akal, membuat saya akhirnya membatin: “Anjing, ini kritik ternyata!” Kritik apa? Kritik yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan masyarakat kita dalam mencerna informasi dan kebiasaan malas berpikir. Tontonlah biar tahu apa maksud saya.

***

Selain sebagai sebuah tulang punggung cerita, perkara serum amoral merupakan cara Joko Anwar untuk memperkenalkan kepada kita seperti apa karakter Pengkor itu secara lebih mendalam. Melalui hal tersebut, kita jadi tahu apa tujuan Pengkor sebenarnya, kerusakan macam apa yang ingin ditimbulkannya, apa yang dirasakannya sehingga orang lain juga perlu merasakannya melalui rencana besarnya itu. Tujuan lainnya adalah untuk memperkenalkan villain lainnya yang muncul di akhir film—Ki Wilawuk—dengan cara yang cukup epik dan nyambung.

Banyak yang berkata gagasan soal serum amoral itu merupakan gagasan yang kelewat berat dan dipaksakan, sesuatu yang harus saya amini sekaligus saya bantah. Benar, gagasan soal serum amoral ini rasanya bukanlah cara yang tepat untuk menabrakkan dua karakter yang berbeda kepentingan ini—Pengkor dan Sancaka (Gundala). Pertemuan keduanya nyaris tidak ada hubungannya dengan rencana besar Pengkor yang melibatkan serum amoral ini, bahkan gara-gara ini kedua karakter ini yang harusnya saling bentrok sejak awal, harus menunggu hingga lebih dari setengah durasi film untuk bisa bertemu—itu pun tidak secara langsung, bahkan bisa dibilang hanya bersinggungan tanpa sengaja. Gara-gara hal ini juga, muncullah adegan lainnya yang terkesan seperti selipan belaka padahal itu sesuatu yang amat penting di akhir film, yaitu: adegan saat ada orang bertudung yang tiba-tiba menusuk Gundala dari belakang dan mengambil darahnya, ketika ia sedang bertarung.

Namun di sisi lain, gagasan soal serum amoral harus saya akui sebagai gagasan yang menarik, sebagai sebuah kritik yang “menggembirakan”. Saya bersyukur Joko Anwar memakai gagasan ini untuk membangun konflik, gagasan yang tidak hanya cocok dengan kondisi masyarakat kita saat ini melainkan juga terasa sangat dekat. Sulit bagi saya membayangkan, di Jakarta misalnya, tiba-tiba suatu hari terdapat lubang di langit dan keluarlah alien yang mengancam keselamatan bumi, sama anehnya ketika ada sepasukan robot yang membelot pada penciptanya.

Saya juga merasa, Joko Anwar memakai gagasan tersebut untuk mengantisipasi kejenuhan pasar pada film-film superhero selama ini, di mana terdapat dua kubu yang bertarung habis-habisan. Memang itu menyebabkan film ini terasa nggak seru, adegan berantemnya bahkan terasa biasa-biasa saja, nggak wow, petirnya juga sedikit, hemmmm. Tapi rasanya saya akan amat berdosa jika saya tidak mengakui kalau saya menikmati—sangat menikmati—film ini dan segala sajian di dalamnya. Mungkin Jagad Sinema BumiLangit tidak bakal seluas dan semegah Marvel Cinematic Universe yang dipungkasi dengan Avengers: Endgame. Dengan diperkenalkannya seluruh cast yang bakal memerankan tokoh-tokoh pahlawan di film-film BCU selanjutnya, saya merasa Joko Anwar membikin film Gundala ini dengan kekhawatiran kalau film pembuka ini bakal gagal laris. Nama-nama seperti Nicholas Saputra dan Reza Rahardian dan aktor-aktor ternama lainnya sengaja diperkenalkan lebih dulu sebagai tindakan antisipasi Joko Anwar agar penonton masih punya harapan pada film-film BCU selanjutnya kalau-kalau film pembuka ini gagal laris. Namun harus saya katakan pada Joko Anwar untuk tak perlu mengkhawatirkan soal hal itu. Terlepas dari kekurangannya, saya akan jadi pengikut setia Bapak Pengkor film-film Jagad Sinema BumiLangit berikutnya. Saya tunggu dengan sabar panggilan nontonnya. Muehehehehe...

Komentar

Postingan Populer