Kesempatan dan Kesiapan

Seperti sebuah kutukan, seringkali saya mendengar orang-orang di sekeliling saya berkata, “Yakinlah, semua akan indah pada waktunya.” Mereka mengatakan itu dengan keyakinan yang aneh, seolah sebuah harapan menanti mereka di suatu tempat di masa depan dan mereka hanya perlu mendatanginya saja atau sampai di masa di mana harapan itu menunggu mereka. Sayangnya mereka tidak melakukan apa pun untuk itu dan menjadikan harapan itu sebagai harapan kosong belaka.

Lama kelamaan saya semakin muak mendengar pepatah anonim itu. Bukannya saya manusia pemurung yang tak percaya pada harapan, yang berhenti untuk merasa optimis atau apalah itu. Melainkan saya hanya merasa pepatah tersebut perlu direvisi. Ada kalimat yang perlu ditambahkan di belakangnya untuk menjadikannya menjadi lengkap. Apa itu? Entahlah, mungkin kita bisa menemukannya bersama-sama.

Barangkali saya bisa memulai pencarian itu dengan menceritakan sebuah kisah. Kisah itu dimulai bertahun-tahun lalu, mungkin antara tahun 2016 dan 2017. Pemeran utama kisah tersebut adalah seorang pemuda yang sedang tertarik dengan dunia kepenulisan dan ingin mempelajarinya dengan serius. Ia memiliki semangat masa muda yang lumayan tinggi meskipun ia agak pemurung juga sebenarnya. Ia menulis cukup banyak cerita pendek yang diikutsertakannya dalam lomba-lomba menulis yang diadakan oleh beberapa komunitas menulis dengan syarat ia tidak perlu membayar apa pun untuk mengikuti lomba-lomba tersebut. Namun terkadang juga ia mengunggah cerpen-cerpen tersebut di blog pribadinya. Keberhasilannya memenangkan beberapa lomba menjadikan ia semakin berani masuk ke gelanggang yang lebih sulit. Suatu hari sebuah majalah besar sedang mengadakan sebuah lomba menulis. Siapa pun yang memenangkan lomba tersebut berpeluang besar menggondol uang jutaan rupiah dan tentunya akan memudahkan namanya dikenal oleh banyak orang. Pemuda itu tertarik mengikuti lomba tersebut, dan ia semakin berani mencoba ketika ia tahu juri utama lomba menulis tersebut adalah salah satu penulis favoritnya yang salah satu karyanya berjudul “9 dari Nadira” telah berulang kali dibacanya. Ia pun mengirimkan sebuah cerpen yang ia tulis ulang sebanyak tiga kali karena revisi sama sekali tidak menolong. Ia harus menunggu berbulan-bulan untuk tahu siapa pemenang lomba itu; dan pada tanggal pengumuman ia tak mendapati namanya termasuk di daftar pemenang lomba tersebut. Ia tidak sedih sama sekali dengan itu, justru sebaliknya ia senang karena sudah berani mencoba. Namun tak lama kemudian, ia mendapati sebuah pesan di surelnya. Pesan itu berasal dari redaktur majalah tersebut yang tertarik untuk memuat cerpennya itu dan memintanya untuk menceritakan bagaimana proses kreatif saat ia membikin cerpen itu. Tak bisa dipungkiri itu sebuah kabar menggembirakan dan itu membuatnya yakin pada kemampuan menulisnya. Tak lama kemudian setelah kabar menggembirakan itu datang, ia mendapat kabar sebuah pelatihan menulis yang meloloskan namanya bertahun-tahun lalu untuk mengikutinya, telah dilangsungkan kembali dan beberapa bulan berikutnya ia harus ke luar kota untuk datang dan menjalani pelatihan menulis tersebut. Ia sudah lama mengincar pelatihan menulis itu demi mendapatkan pelatihan menulis novel lalu mendapat tempat untuk menerbitkannya secara mayor. Ia sempat berencana untuk menyiapkan draft sebuah novel untuk disodorkan, untuk dibawa ke pelatihan menulis itu. Namun ada sesuatu yang salah terjadi, sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya, atau lebih tepatnya terlambat ia sadari. Ia ternyata tidak sesiap yang dipikirkannya dan itu berdampak besar pada rencananya tersebut. Sampai hari ia datang ke kota di mana pelatihan itu dimulai, draft novel yang diinginkannya tak kunjung terbentuk dan ia kesal dengan itu, kekesalan yang sedikit terobati dengan ia mengenal banyak teman yang memiliki minat yang sama. Ia sempat berpikir, sehabis pelatihan menulis itu, ia akan lebih tekun untuk menggarap draft novel itu lalu menyodorkannya untuk diarahkan. Namun bulan-bulan berlalu, rencana itu menguap begitu saja. Ia masih menulis setelah itu dan kali  ini ia tidak lagi terfokus pada fiksi melainkan juga ranah non-fiksi. Salah satu tulisan esainya pun akhirnya dimuat di salah satu media daring dan yang cukup mengejutkannya si pemilik media tersebut menanyakan padanya lewat surel: Apakah ia memiliki tulisan sejenis seperti tulisan yang akan dimuat itu? Ia ingin menjawab kalau ia memiliki tulisan-tulisan itu, tapi ia meragukan kesiapan tulisan-tulisan itu cukup memuaskan, terlebih lagi ia memang cukup baru menggarap ranah non-fiksi. Ia pun akhirnya menolak tawaran menggiurkan itu. Ia sedih dengan itu tapi ia tahu, sangat tahu, ia belum pantas mendapatkan itu saat ini. Pemuda itu pun tahu kalau kesempatan tidak akan ada artinya tanpa kesiapan untuk mengeksekusinya, suatu hal yang tidak pernah orang sadari sebelumnya.

Jadi apa yang perlu ditambahkan dari pepatah tersebut? Benar sekali. Semua akan indah pada waktunya asal kau juga berusaha untuk mewujudkannya.

Komentar

Postingan Populer