It: Chapter 2 dan Trauma-trauma yang Menyatukan


Sejak trailer film “It 2” ditayangkan, saya memutuskan untuk tidak mematok ekspektasi kelewat tinggi. Dalam trailer itu saya tidak menemukan ada sesuatu yang berbeda dan menjanjikan yang akan ditawarkan oleh film tersebut, selain para tokohnya yang sudah beranjak dewasa. Para tokoh itu, dalam bayangan saya, mereka hanya akan menghadapi kengerian yang sama, dengan cara yang hampir tak jauh beda seperti di film pertama.

Namun saat film dimulai, keyakinan saya itu agak goyah ketika satu per satu tokohnya memperkenalkan kehidupan baru mereka setelah beranjak dewasa. Saat memasuki usia dewasa ada banyak hal dari seseorang yang akan berubah, entah itu berkaitan dengan pemikirannya, impiannya, juga janji kekanak-kanakan yang mereka buat semasa kecil, sedikit mengingatkan saya pada ucapan Don Corleone di film The Godfather: “Wanita dan anak-anak bisa ceroboh, tapi pria tidak.” Lupakan sejenak soal gender di ungkapan tersebut, kita yang sudah menonton film tersebut pasti tahu kalau The Godfather adalah film yang kental dengan unsur maskulinitas, lalu sorot kata “anak-anak” dan “ceroboh” di sana. Dan kita pun akan memahami saat kita masih kecil seringkali kita mengucapkan banyak hal tanpa pertimbangan, seperti kebanyakan dari kita dulu semasa kecil yang asal menjawab ingin menjadi dokter atau pilot karena dua profesi itu terdengar keren ketika ditanya apa cita-cita kita. Kegagalan kita mempertimbangkan sesuatu dan berpikir realistis ketika masih anak-anak tidak lain karena kita belum berhadapan langsung dengan masalah-masalah yang bakal menanti di balik itu semua. Dan itulah yang terjadi pada tokoh-tokoh kesayangan kita di film “It 2” ini. Mereka tidak lagi hanya menghadapi kengerian yang belum selesai di film “It” sebelumnya, tetapi mereka juga mesti berhadapan dengan permasalahan-permasalahan khas orang dewasa.

Sebagai misal, Bill yang di film sebelumnya menjadi pelopor agar yang lainnya bersumpah akan bersama-sama melawan badut Pennywise saat ia kembali menebar teror 27 tahun mendatang, justru menganggap perlawanan mereka juga janji yang mereka bikin semasa kecil sama sekali tidak masuk akal, dan sebaiknya mereka pulang lalu melanjutkan hidup—pendapat yang juga diamini oleh yang lainnya, kecuali Mike yang mengundang mereka kembali ke Derry. Mereka menyadari dengan baik, menghadapi Pennywise berarti berhadapan dengan kematian kembali, dan dengan kehidupan beberapa dari mereka yang gemilang, mati terdengar menakutkan.

Ya, di awal film kita akan disuguhi hal semacam itu. Bill menjadi penulis terkenal, Richie menjadi komedian ternama, Ben si gendut kini berbadan atletis dan menjadi bos di sebuah perusahaan besar, Eddie menjadi konsultan asuransi dan memiliki kehidupan mewah. Saya sempat berprasangka buruk kalau film ini bakal terkesan glamour melihat kesuksesan empat tokoh di atas, namun semua berubah ketika Mike menghubungi Stanley dan kehidupan Stanley mulai dijabarkan. Ditampilkan Stanley masihlah pecundang yang sama seperti semasa kecil dulu. Gambaran ia yang masih menumpang hidup di rumah orangtuanya, menunjukkan kalau kehidupannya payah dan itu dipertegas dengan ia bunuh diri setelahnya. Seolah tampil sebagai penyeimbang, Beverly yang semasa kecil sudah tinggal bersama seorang ayah yang temperamental, justru mendapatkan suami yang posesif dan gemar bertindak kasar, gambaran lain dari ayahnya dahulu, dan itu menunjukkan film ini berusaha menampilkan sebuah gambaran realistis dari orang yang memiliki masa lalu sekelam Beverly sepertinya akan selalu terjebak di lingkaran setan. Ia tetap menjadi Beverly yang dulu, yang merasa dirinya tidak berharga dan selalu ketakutan seakan ia perlu diselamatkan, sambil berpura-pura menjadi sosok yang tegar.

Mike yang mendedikasikan usianya selama 27 tahun untuk tinggal di Derry dan menunda rencananya pergi ke Florida, demi mencari cara untuk mengalahkan badut Pennywise selama-lamanya, setelah melihat keraguan teman-temannya itu, harus berusaha keras meyakinkan mereka semua dan tentunya menjadi tindakan yang sia-sia karena semuanya benar-benar memutuskan untuk minggat. Hanya Bill yang memberikan sedikit peluang untuk diyakinkan. Bill akhirnya diajak melihat apa yang dilihat oleh Mike melalui sebuah artefak kuno milik suku pedalaman yang merupakan wadah untuk menyegel Pennywise.

***

Kita akhirnya tahu mereka semua akhirnya bersama-sama melawan Pennywise. Alasan paling utama yang mendasari adalah ketika mereka menyadari—berdasarkan penglihatan Beverly sebagai satu-satunya yang pernah tersorot cahaya kematian—bahwa kalaupun mereka tidak pergi melawan Pennywise, mereka akan tetap mati dengan mengenaskan akibat rasa takut yang ditinggalkan Pennywise di dalam diri mereka semasa kecil, ketakutan yang terus tumbuh dan membesar, dan Stanley menjadi korban pertama dari ketakutan itu.

Untuk mengalahkan Pennywise perlu sesuatu untuk dikorbankan, kenangan mereka yang paling berharga. Untuk menemukan itu, mereka mesti berpencar, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan kenangan mereka. Dan saat mereka mengunjungi tempat-tempat itulah kengerian demi kengerian dari Pennywise bermunculan, seakan badut tersebut ingin menghalangi mereka untuk menghadapinya secara langsung, mencoba meyakinkan mereka bahwa melawannya sama saja cari mati.

Namun tidak hanya ketakutan itu saja yang menyatukan mereka. Kunjungan mereka ke Derry sebenarnya mau tidak mau membangkitkan trauma-trauma mereka semasa kecil, sesuatu yang dahulu menyatukan mereka, meski ketika dewasa mereka mencoba untuk melupakannya dan agaknya itu yang membuat mereka tidak bisa bersama-sama menghadapi Pennywise. Barangkali setelah mereka dewasa mereka sudah melupakan trauma-trauma tersebut, kehilangan apa yang dahulu menyatukan mereka. Namun semakin lama mereka tinggal di Derry, trauma-trauma itu bangkit dan mendekatkan mereka kembali seperti sebelumnya, memberikan keberanian kolektif, mengingatkan bahwa mereka punya musuh yang sama, yaitu: Pennywise.

Bill misalnya ia kembali teringat soal rasa bersalahnya atas kematian adik laki-lakinya; Eddie yang teringat soal betapa pengecutnya ia di masa lalu; Ben yang teringat atas perundungan yang mengatainya gendut; Rich yang teringat betapa kesepiannya ia dahulu; Beverly yang punya kenangan buruk bersama ayahnya. Kenangan-kenangan itu benar-benar mengikat mereka kembali dan membuat mereka bersatu melawan Pennywise.

Jika dibandingkan film pertamanya, di film ini kengerian itu lebih kerasa dan mengganggu. Jumpscare tetap menjadi senjata andalan, porsinya jauh lebih melimpah dan efeknya lebih mengagetkan. Adegan-adegan gore-nya tak lagi nanggung layaknya di film pertama. Mungkin ini menyesuaikan dengan usia para tokohnya yang sudah dewasa dan sanggup menerima itu. Misalnya saja, kita akan melihat pipi Eddie yang ditusuk pisau oleh Bowers (yang ternyata masih hidup); beberapa kita akan melihat bagaimana Pennywise secara terang-terangan memangsa anak-anak incarannya; lalu cara makhluk-makhluk seram dan menjijikkan itu muncul.

Selingan komedi yang disisipkan cukup menghibur dan dilontarkan pada saat yang tepat sehingga tidak terkesan dipaksakan. Keseluruhan  joke itu sebagian besar disumbang oleh Rich dan itu harus diakui makin menguatkan karakternya sebagai komedian; sebagian lainnya disumbang oleh Eddie yang sejak dulu dikenal lugu dan lucu.

Namun ada yang berkurang di sini, yaitu suasana seram dan mencekam yang dihadirkan oleh teror dari Pennywise. Penampakan Pennywise memang masih menjadi sumber rasa takut dan di film ini Pennywise lebih sering muncul dan menyebar teror, hanya saja rasa takut itu tidak membekas, tidak meninggalkan jejak seperti di film sebelumnya. Memang daya dobrak dari teror-teror itu lebih kerasa, lebih mengagetkan, namun tidak dalam dan tidak meninggalkan kesan. Saya menganggap ini lantaran tidak dibangunnya atmosfer seram itu dengan lebih intens layaknya di film sebelumnya. Jika di film sebelumnya kita dibiarkan masuk dahulu ke atmosfer horornya, merasakan nuansa mencekamnya lebih dulu, sebelum teror menghantam kita di ujung; di "It 2" nuansa itu hampir tidak kerasa, menjadikan kesan yang ditinggalkan dari teror-teror tersebut mungkin hanya seru dan bikin ngos-ngosan. Di lain sisi, yang menyebabkan sisi horornya agak tereduksi barangkali karena menguatnya sisi drama di film ini. Sejak semula "It 2" rasanya memang didesain untuk menciptakan nuansa haru dan kekeluargaan. Lihat saja bagaimana tulang punggung cerita dibangun: di awal kita diberi gambaran perpecahan "The Loser Club", lalu perlahan-lahan mereka mulai menemukan apa yang dahulu menyatukan mereka, kemudian bersama-sama mereka berangkat menghadapi Pennywise. Dengan kata lain, fokus film ini tidak lagi melulu berkutat pada Pennywise (atau setidaknya Pennywise mendapat porsi tak sebanyak di film sebelumnya), melainkan juga relasi antartokoh-tokohnya.

Yang patut disayangkan lagi adalah ending-nya yang rasanya kelewat biasa dan hanya seperti mengulangi ending di film sebelumnya. Juga satu yang mengganggu adalah tidak adanya penjelasan yang mengungkapkan bagaimana Pennywise bisa lolos dari guci yang membelenggunya, juga dari mana ia berasal (konon kita bisa mendapatkan informasi itu di novelnya). Saya sangat mengharapkan ada sesuatu yang baru dan wah di endingnya, namun seperti para penikmat karya Bill, saya harus katakan: “Saya tidak suka ending-nya.”

Komentar

Postingan Populer