Pelecehan Agama dan Bangsa yang Pelupa

Baru-baru ini kita dihebohkan kembali dengan isu pelecehan agama. Kali ini datangnya dari sebuah hotel di Jambi, yang membuat miniatur gereja yang berdasarkan beberapa orang dan foto dan video, karpetnya bertuliskan lafadz "Allah" menggunakan aksara Arab. Tentu saja, sebagian orang menjadi berang karenanya, sembari gemar mengatakan ini penistaan agama, yang sesekali disertai umpatan.

Baiklah, kejadian ini memang agak menyebalkan. Dan saya pikir, tulisan itu sebenarnya memang tidak pada tempatnya, mengingat keributan yang ditimbulkan setelah keberadaannya di sana. Namun kita harus tetap menyikapinya dengan kepala dingin, tenang, dan alangkah bijaksana sebelum membaca berita tersebut, setidaknya seduhlah kopi terlebih dahulu, kalau bisa bikin yang kental, atau bila Anda memakai kopi saset, tuangkan saja dua bungkus kopi itu ke dalam satu cangkir. Ritual tersebut saya yakini bisa cukup menenangkan hati yang tengah diluapi emosi.

Mari kita bahas kejadian itu. Sebenarnya, 'tulisan lafadz Allah' di sana tak sepenuhnya layak disebut tulisan. Sebab lafadz Allah yang "katanya" diletakkan di karpet sewarna karpet mushola (hijau) terbuat dari butir-butir kerikil warna putih yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk lafadz "Allah" dalam aksara Arab.

Sebelum ada tulisan itu di sana, kerikil-kerikil putih itu tentu saja berserakan tanpa membentuk satu pola, dengan tugas barangkali untuk menggambarkan putihnya salju (kau pasti tahu hubungannya salju dengan natal) yang bertaburan di padang rumput yang digambarkan lewat karpet berwarna hijau.

Lantas, bagaimana ceritanya tulisan itu pada akhirnya berada di sana?

Mengenai hal itu, ada banyak sekali kemungkinannya. Namun saya hanya akan membagikan tiga dari banyak kemungkinan itu.


Pertama, anggaplah satu hari ada seorang bocah tengah bosan menunggu mama atau papanya yang sedang menyelesaikan urusan dengan resepsionis atau sedang berbincang dengan seorang teman yang kebetulan ditemuinya—yang mana pun boleh. Demi membunuh rasa jenuhnya itu, si bocah iseng-iseng menyusun kerikil-kerikil putih itu hingga beradalah tulisan itu di sana. Setelah mama atau papanya selesai dengan urusannya, si bocah diajak pulang, tanpa peduli atau tahu apa yang ditinggalkan si bocah. Lalu beberapa lama setelah si bocah pergi, datanglah seseorang yang mengambil foto tulisan tersebut dan mengunggahnya ke media sosial atau situs online disertai kata-kata provokasi. Selanjutnya, yang terjadi adalah kejadian yang bisa kita lihat sekarang ini.

Kedua, jika saya boleh berpikiran terlalu curiga, anggaplah satu hari ada seorang pemburu like, follower, subscribe yang tak lebih cerdik dari seekor udang, sedang mencari bahan guna menciptakan satu kehebohan demi menaikkan rating akun atau situsnya. Kebetulan ia berkunjung di hotel itu dan mendapati miniatur gereja itu dan melihat kerikil-kerikil putih itu sebagai sasaran empuk. Memanfaatkan kelengahan pegawai hotel, ia mulai menyusun kerikil-kerikil putih itu membentuk pola tulisan itu. Ia lalu mengambil foto dan mengunggahnya dibarengi kata-kata yang biasa dibuatnya. Dan, seperti dugaannya kabar itu menjadi heboh. Selanjutnya, yang terjadi adalah kejadian yang bisa kita lihat sekarang ini.

Ketiga, mungkin ada orang yang kelewat iseng, sehingga alih-alih membikin lelucon lucu malah menciptakan keributan berkepanjangan lagi riskan.

Kemungkinan lainnya, barangkali tak akan jauh-jauh dari kronologi di atas: Ada yang membuat tulisan itu (baik sengaja atau tidak), ada yang memotret dan mengunggahnya ke media sosial, dan ada yang membuatnya jadi makin heboh dengan membagi-bagikannya. Namun semuanya memiliki andil untuk merusak kedamaian antarsesama umat beragama.

Sering kali saya merasa khawatir juga was-was bila perselisihan yang tak diinginkan benar-benar terjadi. Sebab selayaknya sebutir telur yang rapuh yang terus-menerus kena benturan, perselisihan itu tinggal menunggu waktu untuk keluar dari cangkang yang selama ini membelenggunya.

Mungkin akan lain ceritanya jika tak ada yang membuat tulisan itu di sana. Mungkin akan lain ceritanya, jika ada orang yang menghapus tulisan itu, memberantaki kerikil-kerikil putih itu seperti semula; sebelum ada orang yang dengan gegabah memotretnya lalu mengunggahnya. Namun, kita ternyata lebih suka dengan kehebohan dan melupakan tragedi-tragedi yang pernah menimpa bangsa ini.

Masih ingat kerusuhan Ambon 1998?

Komentar

Postingan Populer