Monster Pemakan Jantung


Monster itu berdiri di belakangku, menempelkan tubuhnya ke punggungku. Tiba-tiba saja ia memasukkan tangannya yang berkuku tajam ke mulutku, dan terus mendorongnya menerobos kerongkongan. Aku bisa merasakan kulitnya yang bersisik, juga kuku-kuku tajamnya, menggesek dinding kerongkonganku dengan amat menyakitkan, dan mungkin telah meninggalkan goresan di sana.

Aku memohon agar ia berhenti melakukan itu. Namun, meskipun ia bisa mendengar rintihanku, dan melihat tangis yang mengguyur pipiku, juga wajahku yang penuh kepedihan, ia tetap tak peduli. Dengan kebrutalan seekor binatang buas yang kelaparan, ia terus melesakkan lengannya semakin dalam, seolah ia berniat meraih jerohanku dan menariknya keluar dari dalam tubuhku.

Beberapa saat kemudian, kuasumsikan kalau tangannya itu telah sampai di tengah dadaku, tepat di belakang jantungku. Ia berhenti menggali.

Aku bertanya-tanya, apa yang akan ia perbuat berikutnya.

Tak perlu waktu lama bagiku untuk mengetahui jawabannya. Tiba-tiba saja, ia memutar tangannya hingga menghadap jantungku. Ia lalu merobek dinding kerongkonganku dengan kuku-kuku tajamnya, menembusnya. Kemudian, tangannya itu mencengkeram jantungku, dan merenggutnya seperti mencabut sebutir apel dari tangkainya. Perlahan, ia menarik keluar tangannya.

Seandainya saat itu aku bisa menjerit, teriakanku mungkin bisa terdengar sampai ratusan mil jauhnya. Rasanya begitu menyakitkan dan pedih. Hingga kau berharap nyawamu dicabut lebih dulu sebelum merasakan itu.

Anehnya, setelah kehilangan jantung, aku masih hidup—setidaknya itu menurutku. Dan, aku bisa merasakan ada ruang kosong dalam dadaku.

Masih di belakangku, monster itu mengulurkan lengannya yang bertumpu di bahu kananku, menunjukkan jantungku yang kini dalam genggamannya, tepat di depan wajahku. Seolah tengah memamerkan hasil kerjanya. Aku bisa melihat jantung itu masih berdetak. Bunyinya keras seperti bunyi mesin lokomotif. Juga, masih mengembang dan mengempis, seperti sebuah balon yang ditiup separuh, yang sedang dicengkeram lalu dilonggarkan secara bergantian.

Aku menoleh ke bahu kananku, sedikit mendongak, hanya untuk bersitatap dengan si monster. Saat mata kami bertemu, dan mungkin ia mendapati kengerian menggenang di wajahku, ia menyeringai dengan puas. Seolah memang tujuan utamanya hanyalah untuk membuatku ketakutan. Jika itu benar, ia telah sepenuhnya berhasil.

Namun kengerian tidak berakhir di situ. Masih di belakangku, dan aku masih memalingkan wajah padanya, ia mengangkat jantungku ke langit-langit dan membiarkannya bergantungan di antara capitan jari telunjuk dan jempol. Kepalanya mendongak dengan mulut yang menganga lebar tepat di bawah jantungku. Tanpa si monster memberi tahu aku sudah tahu apa yang akan ia perbuat berikutnya. Benar saja, tak lama kemudian, perlahan-lahan ia menurunkan jantungku masuk ke mulutnya yang membuka, dan setelah jantung itu berhasil mengisi rongga mulutnya, rahangnya mulai bergerak mengunyah. Darah langsung saja menyembur dari mulutnya itu, meleleh, membasahi bibir dan janggutnya. Kira-kira ia butuh waktu lebih dari semenit demi melumatkan jantungku sebelum mengirimnya ke lambung untuk diolah menjadi tahi.

Ironis sekali, pikirku.

Setelah tuntas melahap jantungku, ia pergi tanpa mengucapkan apa pun. Ia masuk ke dalam kegelapan barisan pepohonan suram dan kering yang, ternyata, sedari tadi mengelilingiku. Sosok si monster dengan cepat menghilang dari pandanganku, dan tak lama kemudian, mendadak pepohonan kokoh yang mengepungku rontok menjadi debu yang ditiup angin ganjil yang kian lama kian berembus kencang, menciptakan topan dengan aku sebagai mata badainya. Sebentar saja, tak ada yang bisa kulihat selain pusaran debu yang terbang mengitariku.

Aku disergap kepanikan, lebih-lebih ketika tubuhku ikut-ikutan memudar menjadi serpihan debu. Aku memandangi dua telapak tanganku yang membuka, sembari menggeleng, lalu memejamkan mata rapat-rapat, menolak apa yang kualami ini. Namun hal itu sia-sia belaka, tak membawa dampak apa pun. Aku tetap menjadi debu dan berputar-putar diterbangkan angin layaknya debu-debu lainnya dan kehilangan kesadaranku.

Kupikir aku tak akan mendapat kesadaranku kembali, tapi ternyata tidak. Saat aku membuka mata, aku tahu aku masih hidup dan utuh. Hal pertama yang kulihat adalah baling-baling dari kipas angin gantung yang sedang berputar-putar di langit-langit kamar. Cukup menyejukkan sebenarnya. Namun anehnya tubuhku basah karena keringat.

Aku segera bangkit dari pembaringan, duduk di atas kasur lipat yang sudah apak dan  usang, lalu menepuk-nepuk beberapa bagian tubuhku hanya demi memastikan kalau tubuhku masih padat dan tidak hancur menjadi debu saat aku menyentuhnya. Ini kabar menggembirakan bagiku. Sangat melegakan. Rupanya tadi itu hanya mimpi. Demi merayakannya, aku mengusap dadaku hanya untuk menemukan rasa panik yang sebenarnya: aku tak bisa merasakan degup jantungku.

Dengan liar aku kembali merabai dadaku pada bagian di mana jantungku semestinya berada, melacak degupnya. Tidak kutemukan. Aku melacaknya di bagian lain, yang tak akan dipikirkan oleh seorang dokter guna menghitung denyut jantung. Tentu saja, aku tak menemukannya.

Aku berpikir aku belum bangun sepenuhnya. Tetapi setelah menampar sebelah pipiku sebanyak tiga kali: pertama, dengan pelan; kedua, sedikit lebih keras; dan ketiga, dengan sangat keras dan rasanya sakit sekali, aku sadar aku tak sedang bermimpi. Jantungku benar-benar hilang.

Sekejap kemudian, aku membayangkan adegan dalam mimpiku di saat si monster mengunyah jantungku seperti permen karet, dan menelannya. Aku beranggapan, lenyapnya jantungku karena mimpi itu—yang sesungguhnya tak layak disebut mimpi, mengingat jantungku benar-benar hilang.

Anehnya, aku masih bisa mensyukuri hal itu. Kupikir, bila kau mengalami nasib buruk dan tak bisa berbuat apa-apa guna mengatasinya, cara terbaik agar tetap bahagia hanyalah dengan mensyukurinya. Terbukti, hal itu cukup berhasil. Tak lama, aku mulai bisa memikirkan sesuatu yang menyenangkan, yang membikin aku tersenyum. Salah satunya dengan membayangkan betapa kini ada ruang kosong di rongga dadaku, bekas jantungku dulu berada. Setidaknya dengan begitu aku dibikin girang oleh rasa penasaran: Apa yang pada akhirnya akan mengisi ruang kosong itu?

Komentar

Postingan Populer