Lorong

Adalah seorang pria yang tengah terjebak di sebuah lorong. Dalam lorong tersebut terdapat sebuah jalur lurus menanjak yang cukup curam.

Dengan susah payah, pria itu mendaki jalur tersebut. Tubuhnya dicondongkan ke depan, agar tak terjungkal ke belakang. Semakin ia mendaki, tubuhnya semakin condong ke depan. Bahkan ia merangkak seperti seorang bayi.

Selang beberapa lama, ia akhirnya sampai di puncak, dan menemukan sebuah pintu. Ia melangkah maju mendekati pintu tersebut, memutar kenopnya, mendorongnya hingga terbuka, lalu memasukinya.

Setelah melewati pintu itu, ia mendapati dirinya berada di sebuah lorong dengan jalur lurus menanjak. Sama seperti yang ia lalui sebelumnya. Hanya saja, jalur tersebut lebih landai.

Sebelum mendaki jalur tersebut, pria itu sempat membuka kembali pintu di belakangnya, hanya untuk menemukan kekosongan yang kelam dan suram. Hingga ia langsung buru-buru menutup pintu itu.

Perhatiannya kini teralihkan pada jalur di depannya. Dan anehnya, perlahan ia lupa pernah melewati jalur yang hampir serupa. Lupa kalau ia pernah berada di lorong yang sama. Bahkan rasa lelah yang tadi menggelayuti tubuhnya, mendadak sirna. Ia menjadi begitu bertenaga.

Dengan penuh keyakinan, pria itu mulai mendaki jalur di depannya. Dan, ia tak perlu menguras banyak tenaga seperti sebelumnya. Jalur itu lebih mudah dan tak terlalu curam. Hanya saja, jarak tempuhnya lebih jauh.

Hingga akhirnya, ia telah sampai di puncak, dan kembali menemukan sebuah pintu. Pintu yang serupa. Ia melangkah ke pintu itu, membukanya, dan memasukinya. Ia kembali mendapati sebuah lorong dengan jalur lurus menanjak. Namun, kali ini jalur tersebut dilengkapi ribuan anak tangga.

Sebelum mendaki, ia membuka pintu yang barusan dilewatinya, hanya untuk mendapati kekosongan belaka. Lalu, seperti sebelumnya, ingatannya akan apa yang ia lalui sebelumnya menguap, hengkang dari batok kepalanya. Dan, tenaganya kembali pulih dengan cepat. Ia lalu mengambil langkah pertama mendaki ribuan anak tangga di jalur lurus menanjak itu. Selang beberapa waktu, sampailah ia di puncak, dan kembali menemukan sebuah pintu.

Bodohnya, ia kembali membuka pintu itu, hanya untuk masuk ke lorong dengan jalur lurus menanjak lagi. Kali ini, jalur di hadapannya sama seperti jalur yang ia lalui sebelumnya. Bedanya, ribuan anak tangga itu bisa bergerak naik secara otomatis. Sehingga untuk mendakinya, ia hanya perlu berdiri tenang di salah satu anak tangga, dan membiarkan tubuhnya diangkut menuju puncak.

Sesampainya di puncak dari jalur tersebut, ia lagi-lagi menemukan sebuah pintu. Namun, ketika ia menyentuh kenop pintu, kilasan ingatan tiba-tiba mengusik benaknya, menimbulkan semacam perasaan ganjil yang diyakini sekaligus diingkarinya pada saat bersamaan. Ia merasa pernah melihat pintu yang sama, lorong yang sama, dan jalur lurus yang semuanya menanjak—meski dalam wujud yang berbeda-beda. Ia seolah mendapati dirinya tengah berputar-putar dan terjebak di lorong itu-itu saja; dan ia berpikir apa yang dikerjakannya adalah kesia-siaan belaka. Namun, lantaran gaung ingatan itu sedemikian lemah, mudah saja baginya untuk meragukannya bahkan mengingkarinya, menjadikannya tak sepenuhnya yakin pernah berada di lorong yang sama. Dengan gampangnya, ia lalu melupakan ingatan tersebut, membuangnya jauh-jauh, kemudian melangkah dengan yakin memasuki pintu di hadapannya.

Komentar

Postingan Populer