Merasa Beruntung?


Pernah saya dengar sebuah kisah—yang kata banyak orang—menginspirasi. Dan mungkin, kau pun pernah mendengar kisah tersebut.

Kisah tersebut bisa dibilang dimaksudkan supaya membuat kita senantiasa bersyukur sebagaimanapun menyebalkannya situasi yang menimpa kita, dan memafhuminya sebagai rencana Tuhan belaka. (Bukankah kebanyakan kita—harusnya—meyakini bahwa rencana Tuhan itu adalah yang terbaik?) Dan kita mesti ikhlas dan legowo dalam menerima takdir semacam itu.

Kisah tersebut mengisahkan tentang seorang penumpang pesawat yang karena satu hal terlambat datang. Sehingga, akhirnya pesawat yang mestinya ia tumpangi, pun sudah berangkat. Kala itu, tentu saja ia merasa sangat kesal. Pasalnya, pekerjaan di sebuah kota di luar pulau, tengah banyak menumpuk. Juga ada janji temu yang mesti ia hadiri kalau tidak ingin kehilangan kontrak kerjasama dengan seorang klien.

Orang tersebut sangat kesal dan marah. Merasa jengkel pada Tuhan, dan segalanya yang membuatnya terlambat. Hingga semuanya berubah, ketika ia mendapat kabar, bahwa pesawat yang mestinya ia tumpangi tadi, mengalami kecelakaan dan tenggelam di dasar laut. Yang mengakibatkan semua penumpang, termasuk para kru pesawat, hilang. Bahkan beberapa media mengatakan bahwa kemungkinan, mereka semua meninggal.

Orang tersebut yang mendengar kabar itu, lantas bersyukur, memuji Tuhan lantaran rencana-Nya yang rupanya menguntungkannya (di lain sisi). Ia pun dengan lekas melupakan segala kekesalannya barusan, sambil berulangkali memohon ampun karena telah mengumpati Tuhan.

Jika dibaca sekilas, kisah itu memang sungguh inspiratif. Namun di lain sisi, bila kau mau memikirkannya, kira-kira di manakah moralmu, sehingga kau bisa bergembira di atas musibah yang menimpa orang lain. Tidak adakah kejanggalan, ketika orang lain tak jelas bagaimana nasibnya—selamatkah? Atau matikah?—sementara kau dengan ringan berkata: "Untung saya tak jadi naik pesawat itu." atau "Untung bukan saya."?

Dalam kisah tersebut, orang itu bisa dikatakan mengalami kesialan, yaitu: terlambat naik pesawat. Namun ia bersyukur karena kesialan yang lebih besar tidak menimpanya, padahal ia berpotensi untuk itu.

Ia bersyukur karena bukan dirinya yang tertimpa musibah itu, melainkan orang lain, meski ia harus terlambat dan kehilangan klien.

Dan, pada akhirnya, yang terus saya pertanyakan atas kisah tersebut adalah: Pantaskah kita merasa beruntung dalam kondisi semacam itu? Mengingat, ternyata kita pun mampu mengukur kesialan-kesialan yang terjadi berdasarkan kepentingan kita masing-masing.

Komentar

Postingan Populer