'Pipis' In the Rain

(Sumber gambar: Google)

Jika hujan turun, aku selalu merasa ingin pipis. Hawa dingin yang dibawa oleh hujan, seolah memaksa kandungan urine dalam kandung kemihku penuh, minta dimuntahkan.

Beruntung setiap hujan turun, aku tak pernah jauh dari ruangan yang memiliki toilet. Entah di kantor atau rumah. Bahkan, seringkali aku malah terjebak di kafe tempatku menyesap kopi selepas pulang bekerja, di mana, aku bisa lebih sering pergi ke toilet untuk menuntaskan hasrat ingin pipis, meski tidak sedang turun hujan. Baru-baru ini aku tahu rupanya kafein bisa menyebabkan kecenderungan buang air kecil.

Namun sial bagiku kali ini. Aku terjebak di tengah perjalananku menuju halte. Karena jarak yang kutempuh masih lumayan jauh, aku memilih berteduh di teras sebuah ruko yang sedang tutup. Daripada basah kuyup.

Seperti yang kuduga sebelumnya, hasrat ingin pipis menagih untuk disalurkan. Namun kutahan dengan merapatkan kedua paha, menjepit 'adik kecilku', untuk menunda buang air kecil. Kerena tidak cukup efektif, kedua tanganku turut membantu, dengan menekan 'adik kecilku' itu. Lumayan berhasil. Meski tak sepenuhnya.

Saat aku berharap ini tidak akan menjadi lebih buruk, rupanya aku salah. Satu-dua orang mulai merapat. Ikut berteduh. Tak ingin tampak seperti orang yang tersiksa oleh kandung kemihnya sendiri yang sedang penuh; aku mulai sedikit melonggar kaki dan tekanan kedua tanganku, sambil berusaha tampak sesantai mungkin.

Seakan mendapat keringanan, 'adik kecilku' kembali memberontak. Hasrat ingin pipis itu mencoba mendobrak pertahanan yang kubangun. Dengan wajah sedikit meringis, aku menoleh ke kanan dan kiri. Mencoba menemukan bangunan yang bisa kupakai untuk numpang pipis. Tidak ada. Ruko di kanan dan kiriku semuanya tutup. Memang ada beberapa pohon besar berjajar sepanjang jalan, namun, meski begitu, aku tak sudi menampakkan prosesi pipisku di hadapan berpasang-pasang mata yang pasti bakal tahu apa yang sedang kulakukan saat bersembunyi di balik pohon sambil terburu-buru membuka resleting celana. Itu perbuatan yang amat kentara dan memalukan. Aku tak mau ditertawakan.

Kakiku mulai merasa kesemutan. Hasrat itu kian mendesak. Pertahananku makin rapuh. Aku lantas berjongkok. Lagi-lagi merapatkan kedua paha, sambil kedua tangan bersedekap di depan dada. Seolah menunjukkan reaksi orang sedang kedinginan. Padahal tidak.

Hujan semakin deras mengguyur. Awan mendung semakin pekat saja. Menandakan ini akan lama. Padahal, aku tak bisa menunggu lebih lama untuk menahan hasrat ingin pipis ini. Hal ini membuatku tak bisa dengan jernih. Terlebih, sudah berkali-kali aku meringis dan mendesis pelan, demi menebalkan pertahananku yang kian tipis. Aku sungguh tak ingin mengompol di depan orang-orang ini.

Melihat jarum-jarum air yang menghunjam, sebuah ide gila terlintas di otakku, yang mungkin dipicu oleh rasa putus asa. Aku segera bangkit dari berjongkok. Berdiri sambil memasukkan kedua jempol tanganku di saku celana jins, lantas mendongakkan wajah ke langit. Berpura-pura menentukan kadar hujan yang tengah menyerbu.

Mulanya, aku sedikit ragu untuk memulai. Namun hasrat ingin pipis, memaksaku segera mengambil keputusan. Aku lantas mengayunkan kaki, melangkah pelan melewati teras ruko, sebelum aku berlari dan membiarkan hujan menelanku.

Dalam dekapan hujan, aku terus berlari. Kusalurkan hasrat yang sedari tadi menyiksa. Membiarkan pertahananku jebol. Air kencingku mengucur deras tanpa penghalang. Merembes ke celana dalamku, merambati paha. Terasa hangat.

Aku pipis di celana, tanpa ada dari mereka yang sedang berteduh itu mengetahuinya. Karena hujan telah menyamarkannya. Hingga tak bisa dibedakan mana air kencing, mana air sungguhan.

Komentar

Postingan Populer