Mendobrak Pintu di Kehidupan Nyata, Tak Semudah di Film



Tempat kerja saya merupakan sebuah rumah dengan tiga kamar tidur dan dua kamar mandi dan satu dapur, yang disulap menjadi warnet. Cukup luas. Bisa menampung dua-puluhan lebih seperangkat personal computer beserta meja dan kursi.

Secara umum, saya menyukai tempat kerja saya itu. Tetapi selalu saja ada pepatah: "Tak ada gading yang tak patah." untuk setiap hal yang kita anggap sempurna. Satu pengecualian itu adalah pintu masuknya yang susah untuk dibuka apabila sudah dikunci, sebab slotnya sudah rusak.

Karena selama ini, warnet itu buka dua-puluh empat jam (seperti UGD), maka kami (karyawan warnet) tidak terlalu merisaukannya. Bahkan cenderung mengabaikan.

Kami baru tahu rasa, ketika masuk kerja, sehabis libur di hari-hari tertentu yang penting. Tetapi, karena nasib baik masih berpihak pada kami, sesusah-susahnya pintu itu untuk dibuka, kami berhasil membukanya.

Namun, tidak untuk pagi itu, sehari setelah libur hari raya Idul Adha. Kami benar-benar kena batunya. Pasalnya, pintu itu tidak bisa dibuka, meski telah ngotot dan memaksa untuk membukanya. Kami gagal telak. Slot pintu itu enggan bergeser, bagaimanapun kami mengakalinya.

Hingga, akhirnya kami memutuskan untuk mendobraknya saja. Tugas itu dilakukan oleh Mas Hadi (teman kerja saya) yang memiliki tubuh besar.

Saya sedikit menjauh dari pintu ketika Mas Hadi mendobraknya. Berkali-kali dia menendang pintu itu dengan kuat. Menghasilkan bunyi brakk yang keras. Tetapi, pintu itu tetap tidak bisa dibuka.

Teman saya itu sampai geleng-geleng kepala, sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Lelah. Lantas berkata:

"Di film-film kok gampang yo? Padahal iki wae wes rusak lho lawange (padahal ini saja sudah rusak lho pintunya)."

Kami berdua terkekeh. Ada benarnya perkataan teman saya tersebut. Pintu itu memang sudah rusak dengan slot yang bengkok, sehingga tidak mampu bergeser ketika kami memutar gagang pintu. Seharusnya, jika mengacu pada film, pintu yang rusak itu lebih mudah didobrak, dibanding dengan pintu yang masih bagus dan terkunci dengan baik (yang cenderung ada di film-film).

Lha pintu yang masih mulus kuncinya saja gampang didobrak, apalagi yang bengkok slotnya, pikir kami saat itu.

Hal itu lantas membuat saya teringat tentang adegan tembak-menembak di film. Ketika pihak musuh memberondong sang jagoan dengan tembakan, tak satu pun peluru bersarang di tubuhnya. Cenderung sekali percikan peluru berpijar di bawah kaki sang jagoan, membuntutinya berlari, tapi tidak pernah mengenai. Terkadang pula, percikan peluru itu hanya berpijar di dinding atau tiang besi tempat sang jagoan berlindung.

Jika berdasarkan hal itu, tentulah saya bisa memaklumi bahwa segalanya tampak lebih mudah di film. Tentu sang sutradara tidak menginginkan jagoannya mati sebelum ending yang pas. Tentu, ia juga tak ingin membuang durasi film yang terbatas, hanya demi mendobrak pintu.

Tidak lucu atau justru menggelikan jika ada jagoan yang diobyak-obyak (disuruh bergegas) oleh sutradaranya lantaran susah mendobrak pintu.

Ouy, durasi! Cepetan!

Komentar

Postingan Populer