Menghitung Rerintik Hujan

(Sumber gambar: dari Google)

Sejak tadi matanya tak berhenti memandang ke luar jendela. Melekat kepada langit mendung, yang mulai menjatuhkan titik-titik air. Bau lembab perlahan menguar, ditemani hawa dingin yang menyatu bersama udara. Pori-pori kulitku, kian menciut. Menginformasikan agar tubuhku segera mengantisipasi udara dingin yang mulai menyebar. Menyesaki kamar kami.

Aku memutuskan merebahkan tubuh di kasur. Meringkuk. Membungkuskan selembar selimut dengan erat ke tubuhku yang menggigil. Kulihat hujan di luar sana semakin gencar menyerang serupa jarum-jarum yang terjun. Menciptakan percik ketika menabrak dedaunan dan atap-atap rumah. Menghasilkan bunyi kecipak saat menumbuki tanah.

Tidak sepertiku, yang membiarkan pemandangan hujan dan segala bunyi yang turut hadir, menghiburku. Mona, adikku, tetap menatap dengan serius dan sungguh-sungguh, tiap rintik yang jatuh. Tangan kanannya terangkat, dengan jari telunjuk yang mengacung-ngacung. Seolah sedang menekan tombol-tombol tak kasat mata di udara. Bibirnya bergerak-gerak, seperti sedang merapalkan mantra. Dan, aku merasa, ia telah sibuk dengan dunianya sendiri—yang meski aku berada bersamanya dalam satu kamar, sepertinya kehadiranku terabaikan dan dilarang ikut bergabung ke dunianya.

"Kamu sedang apa?" tanyaku, saat kurasakan sepi hadir bersama kebosanan, setelah hampir setengah jam ruangan ini nihil dari suara kami berdua.

Mona hanya bisu. Tak ada suara darinya.

"Kamu sedang apa sih, Mona?" Aku bertanya lagi.

Tapi, tetap hening.

Hal ini membuatku geregetan. Sebab, hal yang paling kubenci adalah tidak dipedulikan. "Hoi, kamu ngapain sih?!"

"Hssssh!" Ia mendesis. Terdengar seperti udara yang berembus dari ban bocor. "Kamu mengganggu deh!"

Aku terdiam. Bungkam yang lebih dikarenakan rasa kesal dan sebal, dibanding dengan rasa penasaran menunggu jawabannya. Aku membiarkan Mona larut dalam kesibukannya yang entah apa.

Aku mengenyakkan tubuh dengan nyaman. Mungkin lebih baik aku memejamkan mata, tenggelam dalam kantuk.

*** 

“Lisa!”

Aku mendengar Mona berseru di dekat telinga kananku sambil mengguncang-guncang tubuhku, memintaku untuk bangun.

Dengan mata yang masih lengket dan sulit untuk dikuak, aku bersusah payah melihat Mona. Ia duduk di pinggir tempat tidur. Sejenak aku melirik sebuah jam kotak digital yang terpekur di atas nakas. Sudah pukul dua siang. Itu artinya sudah satu-setengah jam lebih aku tidur.

Ah, sial! Itu masih kurang lama.

Aku menegakkan tubuh, mencoba duduk. “Kenapa sih, Mona?” Aku yakin suaraku saat ini seperti orang yang sedang kumur-kumur.

Beruntung Mona mampu menangkap gumamanku barusan.

“Aku berhasil menghitungnya!” Mona berseru riang. “Kamu takkan percaya dengan jumlahnya.”

“Apa?” tanyaku malas. Mataku masih digelayuti kantuk. “Apa yang kamu hitung?”

“Hujan,” Mona membalas dengan cekatan. Aku yakin jika aku tak menanyakan itu, ia akan tetap mengatakannya tanpa mengurangi kecepatan pengucapannya. “Aku berhasil menghitung rintik-rintik hujan.”

“Whoooaam….” Aku menguap, sambil menepuk-nepuk pelan lubang menganga di mulutku dengan tangan kanan, “aku yakin aku masih belum bangun.” Aku bersiap membaringkan tubuh kembali. “Mimpi yang sungguh aneh.”

“Lisa, aku tidak bercanda.” Mona mencegahku untuk mengenyakkan tubuh. Sedikit mengesalkan.

“Oke.” Anggap saja aku percaya dengan lelucon yang dibuat oleh Mona, “berapa jumlahnya?”

Mona menyebutkan angka luar biasa banyak dan terlalu sulit untuk bisa kuulang. Terlebih bagi orang yang separuh nyawanya masih tertinggal di alam mimpi sepertiku.

“Hahaha… lucu sekali,” ejekku, untuk membalas leluconnya—jika Mona memang berniat jahil untuk mengganggu tidurku.

“Lisa, sekali lagi, aku tidak bercanda!”

Mendengar seruan itu, seketika mataku terbeliak. Sadar betul. Kulihat mata Mona berkilat-kilat. Aku yakin ia marah.

“Kamu serius?” tanyaku. Mengernyitkan kening.

“Kamu tak percaya?”

“Hanya sedikit ragu.”

Aku lihat pipi Mona menggembung. Mirip seperti pipiku ketika aku sedang kesal. Tanpa mengacuhkan jawabanku barusan, ia melenggang menuju pintu kamar. Tanpa menoleh. Aku bahkan yakin mendengar pintu kamar ditutup dengan agak kasar ketika tubuh Mona lewat.

Masih duduk di atas tempat tidur, aku melemparkan pandang ke jendela kamar yang ditempeli oleh tetes-tetes hujan yang sepertinya baru saja reda. Di kacanya tertera rangkaian angka—yang kupikir seperti yang dikatakan Mona tadi—hasil dari tarian jari telunjuk yang memulas lapisan embun yang buram menjadi jernih. 
Saat itu, aku menyadari, Mona benar-benar serius.

*** 

Jakarta diguyur hujan kembali sejak kemarin malam. Tidak lebat. Hanya gerimis. Namun terus menyambung hingga pagi, menjelang aku dan Mona berangkat sekolah. Menyebalkan. Terlebih, Ayah tak bisa mengantar. Mobil Kijang-nya sedang mogok.

Terpaksa kami berdua harus berangkat naik angkot. Dengan payung yang mengembang yang kupegang di tangan kiri, kami berjalan keluar komplek, menuju jalan raya tempat angkot bakal lewat.

Aku melirik Mona di sebelahku. Ia enggan merapatkan tubuh padaku. Rasanya, adikku ini masih marah dengan kejadian kemarin. Beruntung payung kami cukup lebar, hingga Mona tak sampai kebasahan.

“Kamu masih marah ya?”

Mona bungkam. Bisa kulihat pipinya menggembung. Cemberut.

“Aku bingung kenapa kamu sebegitu marah, hanya demi sesuatu yang menurutku aneh,” tuduhku.

“Itu tidak aneh. Kamu yang terlalu kekanak-kanakan,” ia balas menuduh. “Aku jadi bingung kenapa Ayah-Ibu menamaiku Mona padahal justru kamu yang kekanak-kanakan.”

“Itu tidak ada hubungannya.”

Yah, aku serius! Itu sama sekali tak berhubungan. Baik antara kejadian kemarin dengan tuduhan kekanak-kanakan yang baru dilontarkan Mona; maupun masalah siapa yang lebih berhak menerima nama “Mona”—yang menurut adikku ini terkesan kekanak-kanakan.

Menilik sejarah pemberian nama itu, enam-belas tahun silam, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan julukan kekanak-kanakan. Di zaman itu, orang-orang belum terlalu kenal dengan yang namanya USG. Sehingga tak ada yang tahu Ibu mengandung anak kembar. Padahal sebelumnya Ayah-Ibu sudah menyiapkan nama “Lisa” kalau-kalau anaknya ternyata perempuan.

Ketika hari kelahiran dan mendapati anaknya perempuan—yaitu aku—Ayah langsung menjatuhkan nama “Lisa” tersebut. Tetapi saat mengetahui anaknya ternyata kembar, Ayah-Ibu berpikir apa kiranya nama yang tepat untuk anak keduanya itu. Hingga akhirnya nama “Mona” dipilih Ayah-Ibu, untuk bersanding dengan “Lisa”, merujuk pada lukisan berjudul “Monalisa” karya Da Vinci.

Karena, nama Lisa terlanjur jatuh padaku, mau tak mau adikku mendapatkan nama Mona itu.

“Menghitung rerintik hujan bukanlah tindakan yang penting,” sengaja aku mengejek Mona. “Dan menurutku, orang yang menanggapi hal sepele terlalu serius tidak mencerminkan sikap dewasa.”

Mona melotot. “Aku punya alasan melakukannya!” serunya.

“Itu membuatku penasaran,” kataku pura-pura tertarik. “Memangnya, apa tujuanmu itu?”

Aku tahu Mona tidaklah bodoh, ia pasti tahu intonasi suaraku terdengar merendahkan. Anehnya, wajah Mona tak menunjukkan ia bertambah kesal atau keruh. Wajahnya kini serupa air beriak yang berangsur tenang dan jernih.

“Aku senang kamu menanyakannya.” Tangan Mona menjulur, melewati lindungan payung. Membiarkannya dibasuh gerimis.

Perubahan sikap Mona barusan, mengubahku yang semula berpura-pura penasaran menjadi benar-benar penasaran.

“Kamu tahu, jumlah rerintik hujan kemarin adalah jumlah perkiraanku hanya di kota ini saja?” katanya. “Coba kamu pikir, berapa kira-kira jumlah rerintik hujan untuk se-Indonesia atau bahkan seluruh dunia? Angka-angka itu bisa bertambah berkali-kali lipat.”

“Aku sungguh tak mengerti—“ Ada sesuatu yang mengganggu kerongkonganku tiba-tiba. Menghentikan ucapanku sejenak, “bisakah kamu jelaskan … tujuanmu?”

Mona tersenyum. “Hujan adalah anugerah Tuhan, Lisa, dan aku merasa berhutang terima kasih pada-Nya untuk setiap rintik yang jatuh.”

“Lalu,” kataku, “apa itu berarti kamu bakal bilang ‘terima kasih’ sebanyak itu?”

“Itu mustahil.” Ya, tentu saja itu benar. Aku menyetujuinya. “Mulutku bisa berbusa bahkan sebelum aku merampungkan setengahnya.”

“Itu malah menegaskan apa yang kamu lakukan kemarin hanyalah kesia-siaan belaka.” Aku tersenyum angkuh.

“Tentu saja itu tidak benar,” balas Mona. “Hanya karena hal itu terlihat tak ada gunanya, bukan berarti itu salah, bukan?”

“Kamu membuatku merinding.” Meski tak yakin betul, kalau Mona-lah penyebabnya. “Kamu tampak terlalu bijak untuk seorang remaja enam-belas tahun.”

Mona tergelak. Bahunya sampai terguncang.

“Orang tidak harus menjadi keriput dahulu untuk menjadi bijak,” balas Mona. Tawanya berangsur reda. “Lagi pula aku belum pantas menyandang predikat ‘bijak’ itu. Aku masih payah.”

“Syukurlah.” Aku mengusap kening dengan tangan kananku, lantas mengibaskannya seperti membuang keringat.

Mona hanya nyengir.

“Tetapi, aku … maksudku kita … semuanya … harus berterima kasih pada-Nya,” kata Mona. “Untuk berterima kasih kita harus menyadari, benar-benar menyadari, bahwa Tuhan memberikan nikmat yang banyak. Untuk mengetahui seberapa banyak nikmat-Nya, kurasa tidak ada salahnya kalau kita sedikit berhitung.”

“Mengerikan,” balasku. “Angka-angka kemarin sama sekali tidak sedikit.”

“Itulah maksudku.” Mona menaikkan salah satu alisnya. “Seharusnya kita memang perlu banyak-banyak berterimakasih.”

Aku terdiam sejenak. Memikirkan angka-angka yang Mona sebutkan kemarin. “Sepertinya begitu,” kataku kemudian. Setuju.

Kami sudah sampai di depan komplek. Berdiri menunggu angkot yang akan kami tumpangi. Tangan kanan Mona yang semula menggelantung bebas, kini mulai beringsut menyentuh gagang payung. Memegangnya di atas tangan kiriku. Saat itu aku menoleh padanya, dan kulihat ia juga berpaling padaku. Kami bersipandang sejenak, sebelum akhirnya kami tertawa bersama. Serentak.

Perlahan, kami mengalihkan pandang ke gerimis yang kian menipis. Bebarengan menjulurkan tangan kami melewati lindungan payung. Rintik-rintik air menusuk kulit kami. Begitu banyak. Dengan angka-angka tak terkira.

Banyak.

Memang banyak sekali.

Benar, sudah seharusnya kami berterimakasih.

Komentar

Postingan Populer