Gelap



Aku sudah berada di ranjang dan siap untuk tidur. Malam ini, aku ingin mendapat tidur yang layak, setelah tiga malam aku lembur bekerja. Lampu kubiarkan menyala.

Aku mencoba untuk mengatupkan mata. Mengundang bertiupnya angin yang menaburkan pasir tidur yang akan menimbun pelupuk, memberati dan menimbulkan kantuk. Namun gagal. Tubuhku amat letih. Punggungku seolah dialiri listrik, sehingga menciptakan kesemutan yang tak berkesudahan. Menyakitkan. Berkali-kali aku memalingkan tubuh ke kiri dan kanan demi mendapat posisi paling nyaman, namun sia-sia belaka.

Merasa gagal untuk tidur, aku lantas bangkit dari ranjang, dan keluar dari kamar menuju ruang tamu yang sempit. Di sana, aku mencari sepatu kulitku lengkap dengan kaus kaki, yang mendekam di bawah sofa panjang. Lantas mengenakannya. Aku ingin pergi minum kopi.

Segera aku beranjak ke pintu, memutar kenopnya, dan menguaknya lebar. Gelapnya malam di luar sana langsung menyapaku, bahkan hampir menenggelamkanku kalau saja ruang tamu di balik punggungku tak diterangi lampu bohlam. Aku yang berdiri di ambang pintu, berada tepat di tengah kondisi tersebut, menyaksikannya seperti zona hitam-dan-putih yang menonjol, yang berusaha saling menaklukan satu sama lain.

Kegelapan di luar sana terlampau mencekam dan menikam. Membuatku bergidik ngeri. Membayangkan aku berjalan, menyelami kegelapan yang mengepung itu, sanggup mengalirkan keringat dingin dari sekujur tubuh. Aku benar-benar takut.

Dengan terburu-buru, aku kembali masuk ke rumah. Membanting pintu dengan cepat agar tertutup rapat tanpa celah. Khawatir apabila terlambat sekian detik saja, kegelapan akan merambah ke dalam rumahku. Aku tidak mengerti bagaimana malam ini bisa jadi lebih kelam.

Belum hilang rasa takutku, aku dikejutkan dering telepon yang menggaung tiba-tiba. Lekas, aku mengangkatnya.

"Halo?"

"Kau belum tidur?" Rupanya dari teman kerjaku.

"Aku sungguh ingin tidur, tapi—" Aku mengambil jeda. Sebenarnya, aku ingin bercerita tentang usahaku untuk tidur yang gagal. Namun setelah kupikirkan, agaknya tidak perlu. "Lupakan saja. Ada apa?"

"Kau ingin keluar dan minum bersama kami?"

"Kami?"

"Aku dan istriku dan beberapa tetangga dan teman dekat."

"Ada perayaan?"

"Hanya berkumpul demi menghadapi kegelapan."

"Di sana gelap?" tanyaku agak terkejut.

"Tentu saja. Di sini ada pemadaman listrik. Di rumahmu tidak?"

"Di sekitar rumahku memang tampak gelap, tetapi listrikku tidak padam."

"Kusarankan kau segera ke mari. Kami baru menyalakan api unggun di halaman belakang."

"Kenapa?"

"Berdasarkan perkiraanku, listrik di rumahmu sebentar lagi juga akan padam."

"Akan kupikirkan."

Setelah menutup telepon, aku duduk di sofa, melepas sepatu. Urung keluar. Memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidur.

Namun, baru sebelah kaki lepas dari sepatu, listrik mendadak padam. Lampu mati. Gelap segera mengisi ruangan. Aku ketakutan.

Dengan panik, aku mencari senter di laci dapur, meski dengan meraba-raba jalan. Begitu mendapatkannya, aku lekas menyalakannya. Sial! Tidak menyala. Kemungkinan baterainya habis.

Segera aku kembali ke ruang tamu, bergegas membuka pintu, dan pergi. Tetapi, sesaat setelah menguak pintu, aku berdiri mematung di ambang pintu. Aku merasa kegelapan menyatu dan mengepung. Tidak berbeda antara di dalam atau di luar.

Komentar

Postingan Populer