Kebahagian atau Kesedihan itu Tak Abadi
Satu hal yang masih saya yakini sampai hari ini, bahwa manusia tak akan selamanya menderita atau selamanya berbahagia. Semua akan ada saatnya untuk berakhir. Entah itu karena berganti keadaan—dari bahagia ke menderita, atau sebaliknya—maupun karena pemahaman kita atas penderitaan dan kebahagiaan berubah.
Misalnya, begini, anggaplah kau baru putus dengan kekasih yang amat sangat kau cintai, lantaran ia berselingkuh. Kau tentu patah hati lantaran kau sangat ingin bisa hidup bersamanya, karena itu akan membahagiakanmu—setidaknya itulah harapanmu. Namun, entah beberapa waktu kemudian, kau pun berpikir, bahwa hidup bersama orang yang tak bersetia padamu, tentulah bukan kehidupan keluarga yang membahagiakanmu, dan kau justru berpikir, pada akhirnya, betapa beruntungnya kau tak jadi menikah dengannya. Dan pada momen itulah, pemahamanmu atas kesedihan karena suatu sebab itu, berubah jadi sesuatu hal yang menguntungkanmu dan kau pun bahagia.
Membicarakan ini, entah mengapa saya jadi teringat pada cerpen karya Grace Paley berjudul "Hidup". Di sana ada sebuah kalimat berbunyi begini:
“Kau tak bisa berdarah selamanya. Entah akhirnya kau kehabisan darah atau pendarahan itu berhenti. Tak ada orang yang bisa berdarah selamanya.”
Mungkinkah ini ada hubungannya, sodara-sodara? Barangkali, iya.
Komentar
Posting Komentar