Rugi Dua Kali


Aku sering bertemu dengan orang yang membuatku kesal, tapi di antara mereka tidak ada yang ingin kubunuh selain pria bernama Godam. Jadi, malam itu saat bertemu dengan Luigi di bar, aku bercerita soal rencanaku itu.

Kemudian Luigi berkata, “Kau datang pada orang yang tepat.” Lalu ia mengajakku keluar dan menyuruhku masuk ke mobilnya.

Aku bertanya, mau ke mana?

Enteng saja ia berkata, untuk membunuh seseorang kau butuh senjata.

Aku setuju-setuju saja. Ia benar soal itu.

Sebelum berangkat, Luigi berkata, “Jangan lupa kasih aku uang bensin.”

Aku bilang, nanti kukasih.

Kami berkendara selama tiga jam lebih menuju selatan dan mulai memasuki jalan gelap sebuah kota tanpa penerangan apa pun selain lampu sorot mobil Luigi. Aku berusaha mengamati sekitar dan tidak bisa melihat apa-apa, terlalu gelap, tapi aku bisa merasakan ada bangunan-bangunan di kiri dan kanan jalan yang kami lalui. Bangunan-bangunan itu seperti mengintai kami di balik pekatnya malam.

Mobil Luigi merapat ke sebuah bangunan tua. Kami turun dengan Luigi lebih dahulu sebelum aku. Ia mengetuk pintu besi yang sudah karatan. Lampu yang menggantung di atas pintu itu menyala, dan membuat aku agak terkejut. Sejak kapan lampu itu ada di situ? pikirku.

Jendela kecil di pintu terbuka, dan menampakkan wajah seorang pria berkepala plontos. Pria itu bertanya pada Luigi soal kata kunci. Luigi memintaku menjauh sebentar, dan dari kejauhan aku lihat bibirnya bergerak-gerak mengatakan sesuatu, tak tahu apa. Tak lama jendela kecil itu ditutup kembali, lalu terdengar suara berisik, pintu dibuka. Kami masuk dengan damai.

Sementara si pria berkepala plontos itu sibuk menutup pintu dan menggemboknya kembali, tanpa buang-buang waktu, Luigi mengajakku ke sebuah ruangan dengan peti-peti besar di dalamnya. Seorang pria berambut gondrong yang barangkali usianya sepantaran dengan kakekku, sedang duduk di salah satu peti. Cara ia duduk menunjukkan kalau ia yang berkuasa di sini.

“Temanku ingin beli senjata,” kata Luigi, setelah beberapa basa-basi seperlunya.

Pria tua itu menghampiriku, bertanya, “Untuk apa?”

Aku katakan padanya, aku ingin bunuh orang.

Pria tua itu tak merasa heran. Ia lalu menuju ke salah satu peti dan membukanya. Ia menyuruhku mendekat untuk melihat isi peti tersebut. Peti itu penuh dengan beragam jenis belati. Ia lalu memperkenalkan nama dari belati-belati itu yang semuanya tak sanggup kuhafal, Luigi membantu dengan menjelaskan luka macam apa yang bakal diciptakan oleh belati-belati itu jika ditusukkan ke tubuh.

“Jujur saja, aku tidak pintar menggunakan belati.”

Pria tua itu berkata, “Kau suka pistol?”

Aku mengangguk dan ia mengajakku melihat peti yang berisi aneka pistol. Si pria tua memperkenalkan nama dari pistol-pistol itu sekaligus kaliber peluru masing-masing pistol dan lagi-lagi aku tidak bisa menghafalnya, Luigi membantu dengan menjelaskan berapa jauh pistol-pistol itu mampu melesatkan peluru.

Aku memilih satu pistol yang enak kugenggam dan gampang digunakan. Aku bertanya berapa, dan mereka memberi harga sangat murah, setidaknya begitulah yang mereka katakan dan aku percaya saja demi menjaga gengsiku.

“Kenapa murah sekali?” tanyaku. Sok tahu.

Luigi menjawab, karena orang-orang di kota ini lebih pintar membuat senjata ketimbang membuat roti. Aku tertawa demi menghargai leluconnya—jika itu memang sebuah lelucon, karena Luigi mengatakannya seraya tertawa.

Setelah membayar, aku dan Luigi pulang.

Di perjalanan, kami mengobrol, bergantian mengisap sebatang rokok ganja, dan tertawa. Di isapan terakhir, dan itu tepat pada giliranku, Luigi bertanya, “Apa sih masalahmu dengan si Godam ini sampai kau ingin membunuhnya?”

Aku menceritakannya pada Luigi: “Seminggu lalu aku beli mobil apalah itu namanya dari si Godam. Itu mobil tua, tapi bentuknya bagus dan aku suka. Aku menanyakan harganya. Godam menyebutkan harga. Aku cukup kaget begitu tahu harganya, itu lebih dari cukup untuk membeli mobil keluaran terbaru, sekalipun mobil biasa-biasa saja memang. Aku menawar, Godam bersikeras mempertahankan harga, tidak ada negosiasi—“

“Tanpa nego?”

“Tidak sama sekali. Dan demi mempertahankan harga mobilnya, ia mulai mengatakan jutaan omong kosong tentang keunggulan mobilnya itu. Aku pantang menyerah, berusaha keras untuk menjebol pertahanannya, memberondongnya dengan penawaran-penawaran yang kunaikkan sedikit demi sedikit. Tapi memang sialan si Godam ini, ia tetap tidak mau menurunkan harga mobilnya—“

“Kau jadi beli mobil itu?”

“Aku membelinya, dengan harga yang Godam tawarkan sejak awal. Aku lengah di saat-saat terakhir. Maksudku begini. Ehm … anggap saja ia akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya. Ia bilang padaku, ‘Ini pertama kalinya kau beli mobil, ya?’ Demi Tuhan, saat itu cara ia bicara terdengar merendahkan, seolah aku ini orang melarat atau apalah yang tidak mampu beli mobil. Meski itu memang kali pertama aku beli mobil, aku tidak mau mengaku, aku tidak mau si Godam ini menang, jadi aku jawab saja, ‘Tentu saja, tidak.’ Godam lalu membalas dengan tak kalah kurang ajarnya. ‘Itu artinya kau cukup berpengalaman?’ Aku jawab, ‘Aku memang berpengalaman.’ Godam memukulku telak dengan berkata, ‘Kalau begitu, harusnya kau tahu mobil macam apa yang ada di depanmu juga harga yang pantas untuk menebusnya dan aku memberimu harga yang pantas.’ Tak lama kemudian aku mendapati diriku menulis cek untuk—“

“Aku belum mengerti betul, apa yang membuatmu marah pada si Godam ini?”

“Aduh, makanya jangan potong omonganku terus,” kataku, kesal juga kenapa Luigi tidak diam saja dan mendengarkan sampai selesai sebelum ia berkomentar.

“Ceritamu kepanjangan.”

“Oke, oke,” kataku. “Singkat cerita, akhirnya aku tahu mobil yang aku beli dari Godam ini harusnya bisa lebih murah dari penawaran pertama yang aku ajukan. Sialan!” Aku memukul dasbor mobil, dan agak membuat Luigi terkejut, tapi ia tidak marah, mungkin memaklumi. “Aku benar-benar dirugikan. Rugi dua kali malahan.”

Aku menunggu komentar Luigi, tapi ia tak mengucapkan apa pun.

“Begitulah ceritanya,” kataku, demi memancing komentar Luigi, siapa tahu ia tidak tahu kalau aku sudah sampai di ujung cerita. Tapi ia tetap diam. “Ya, begitulah.”

“Pantas saja kau marah,” akhirnya Luigi berkomentar, meski suaranya agak terdengar aneh. Kupikir itu karena hawa dingin atau semacamnya. “Tapi kau tak perlu sampai membunuhnya. Kesalahan si Godam ini masih layak dimaafkan.”

Mendengar itu, aku tertawa keras dan langsung berhenti ketika mobil kami sedikit terlonjak saat gagal menghindari sebuah lubang kecil namun cukup dalam hingga membuat kepalaku hampir membentur jendela. Lubang itu harusnya bisa dengan mudah dihindari.

“Kenapa kau tak bilang soal memaafkan si bajingan itu sebelum kau mengantarku beli senjata?” kataku.

Luigi tak menjawab dan terus diam selama sisa perjalanan pulang ke rumahku. Kegelapan membuatku kesulitan mengenali ekspresi wajahnya hingga aku tidak tahu apa yang salah dengannya.

Sejam menjelang pagi, kami sampai. Sebelum aku turun, aku mengambil sejumlah uang dari dompetku yang aku kira-kira bakal cukup untuk mengganti ongkos bensin Luigi dan tentunya sedikit komisi karena telah berbaik hati mengantarku ke pamannya untuk membeli pistol. Saat aku menyerahkan uang itu, Luigi menolak dengan tegas, bilang kalau ia senang membantuku, sesama teman harus saling membantu. Aku memasukkan uang itu kembali ke dompet, mengucapkan banyak terima kasih.

Aku turun dari mobil, menutup pintu, dan berjalan menuju rumahku. Saat aku baru menaruh satu kakiku di anak tangga terbawah, aku merabai saku samping jaket kulitku untuk mencari pistolku dan aku tak menemukannya. Aku memperkirakan, mungkin terjatuh saat mobil berguncang tadi. Aku menelpon ponsel Luigi, tersambung, tapi ia tak mengangkatnya. Aku tak mencoba menelponnya lagi karena memaklumi kondisinya yang agak mabuk dan sedang mengemudi dalam gelap. Aku bisa menelponnya nanti dan menyuruhnya mengantarkan pistolku setelah ia agak baikan. Urusan membunuh Godam masih bisa menunggu, ia tak akan ke mana-mana, ia tak bisa pergi jauh-jauh sejak mobilnya kubeli.

Komentar

Postingan Populer