Ciuman



Aku telah tidur lama sekali dan saat aku bangun tiba-tiba saja aku ingin sekali mendapatkan sebuah ciuman—ciuman yang panjang dan basah tepat di bibir. Aku tidak tahu pasti bagaimana keinginan itu bisa mendadak muncul, hal itu masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Dan apakah aku akan memuaskannya atau tidak, aku masih belum memutuskannya. Namun saat aku sedang memikirkannya, tanpa sepenuhnya kusadari, aku mendapati jari telunjuk dan jari tengahku telah menempel di bibirku yang sedikit menunjukkan celah, entah sejak kapan. Seakan itu menjadi pertanda bahwa aku harus melakukannya, aku pun segera bangkit dari ranjangku yang basah karena keringat di punggungku, dan pergi mandi meski sebenarnya itu bukan ide yang bagus jika mengingat hari itu sudah malam dan suhu udara cukup dingin. Hanya karena dorongan untuk “mencari” sebuah ciuman dan itu artinya aku harus tampil rapi dan wangi agar setidaknya bisa tampil secara pantas demi menemukan seorang gadis yang mau memberiku ciuman yang begitu aku dambakan itu, aku mengabaikan soal hawa dingin itu dan pergi mandi.

Aku keluar dari kamar sewaanku saat jam menunjukkan pukul delapan lewat dua belas menit dan berjalan kaki tanpa tahu ke mana aku akan menuju. Aku hanya berjalan dan berjalan dan terus berjalan sambil mengandalkan peruntunganku yang sejak dulu tidak begitu baik agar bertemu seorang gadis yang mau memberiku ciuman—entah bagaimana. Lalu sampailah aku di alun-alun kota yang sedang cukup ramai dan bertemu gadis itu, gadis yang menawarkan sebuah ciuman asalkan kau mau membayarnya seharga satu juta rupiah—hal itu tertulis di papan kertas yang ia angkat di depan dada.

Dari kejauhan aku mengamati sosok gadis itu: Ia memiliki wajah yang lumayan cantik, dengan pipi agak menggembung yang memberinya kesan kekanak-kanakan; kesan tersebut dipertegas oleh matanya yang terlihat polos, mengandung sejenis keluguan, jenis mata yang akan memberimu tatapan tak bersalah—barangkali usianya memang masih belum menginjak awal dua puluhan—dan aku pikir, itu wajah yang enak dipandang utamanya untuk diajak berciuman.

Aku memberanikan diri untuk mendekat hingga hanya berjarak selangkah darinya. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas bibirnya, aset utama yang diperlukan untuk berciuman. Bibirnya merupakan jenis bibir yang tak bisa terkatup sepenuhnya sehingga memamerkan dua gigi kelincinya, tidak tebal dan tampak imut, dan yang paling penting sangat menggiurkan, membuatku ingin melumatnya saat ini juga.

“Berapa lama?” tanyaku, sedikit canggung. Tanganku basah oleh keringat.

“Apa?” Ia sedikit mengambil jarak dariku, seraya menatapku dengan jijik.Aku jadi bertanya-tanya, apakah nada suaraku barusan seperti seorang pria yang sedang berahi dan butuh pemuas seks, sehingga mengundang tatapan itu, seolah aku adalah makhluk buas yang akan mencabik-cabik pakaian dari tubuhnya.

“Berapa lama kau tahan berciuman?”

“Itu tergantung kemampuanmu,” jawabnya, tatapan jijik itu terhapus dari wajahnya, berganti kelegaan.“Apa kau pernah berciuman sebelumnya?”

“Dengan mantan-mantan pacarku, tentunya.” Aku berbohong, sebetulnya aku belum pernah berciuman sama sekali, meski aku beberapa kali berpacaran. “Dan kupikir aku cukup mahir melakukannya, meski sedikit lupa caranya.” Mukaku memanas saat mengatakan itu—aku tak pandai berbohong, memang. “Apa kau pernah berciuman sebelumnya?”

Gadis itu menggeleng tanpa ragu, sesuatu yang sangat membuatku iri padanya karena bisa mengakui hal semacam itu dengan ringan. Sedangkan, jika kau lelaki, lebih lagi sudah berusia hampir menjelang tiga puluhan, mengakui kalau kau belum pernah mencumbu seorang perempuan, kau dapat dianggap sebagai pria gagal,atau yang lebih buruk lagi, sebagai pria tidak jantan; dan karenanya, ibarat kau adalah seorang algojo yang selalu gagal memenggal kepala korbanmu, selayaknya kau mulai berpikir untuk membuang kapakmu.

“Belum pernah berpacaran?” Aku bertanya, dan saat ia menggeleng lagi, seraya menyunggingkan senyum dari bibirnya yang mungil itu, aku jadi semakin iri dengannya. “Memang berapa usiamu?” jawabannya seperti dugaanku sebelumnya. “Beneran belum pernah?” ia menjawab, belum pernah. “Tidak ada yang datang tadi?” Ada, jawabnya, tapi hanya tanya-tanya saja lalu pergi. “Mereka tidak menggodamu?” Ia bersyukur tidak ada yang iseng padanya, setidaknya tidak dengan berlebihan. “Ini justru aneh. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal kau ini … cantik.” Entahlah, ia juga tidak tahu.

Tapi kemudian aku tahu kenapa.

“Kita harus berciuman di sini, di depan keramaian ini?!” Aku sedikit terkejut tatkala ia mengajukan syarat di mana kami akan berciuman. “Tidak bisa, itu akan membuatku malu setengah mati.”

Ia tidak peduli dengan keberatanku, bahkan ia tak memberiku alasan kenapa ia begitu bersikeras. Tapi karena aku sedang ingin sekali berciuman, aku pun mengalah.

“Aku ambil uang dulu, tidak akan lama.” Lalu aku meninggalkannya, menuju mesin ATM terdekat.

Omong kosong, sebenarnya waktu yang aku butuhkan untuk bolak-balik dari alun-alun ke mesin ATM terdekat hanya sekitar sepuluh menitan, paling lama lima belas menit, tapi ternyata aku butuh waktu lebih lama dari itu.Sehabis mengambil uang, alih-alih segera kembali menemui gadis itu, aku justru masuk ke sebuah minimarket dan berjalan mondar-mandir dari satu rak ke rak lainnya, seperti pria linglung yang kesulitan mencari barang yang akan ia beli. Aku bertanya-tanya, apakah ini pilihan yang tepat? Orang-orang yang ada di sana pasti akan melihat ke arah kami, merasa takjub sekaligus kaget, beberapa mungkin akan menahan napas seraya mendoakan kami agar Tuhan mengampuni dosa yang secara terang-terangan kami lakukan saat itu, sebab seperti halnya dengan seks, orang tidak berciuman dengan terang-terangan melainkan dengan sembunyi-sembunyi di saat hanya ada mereka berdua saja, kecuali jika itu pesta pernikahan—bahkan untuk yang satu ini pun jarang, malahan kebanyakan dari mereka hanya mencium pipi atau kening. Jadi, apakah aku siap menjadi pusat perhatian dan dicibir dan dianggap bajingan? Harusnya aku siap, sebagaimana gadis itu telah siap menanggung semua risiko. Tentu saja, sebelum ada yang membeli ciumannya itu, orang-orang yang lewat dan melihatnya akan segera menaruh rasa kasihan padanya karena mengganggapnya sebagai seorang pelacur. “Kasihan sekali, padahal ia masih sangat muda,” begitulah mereka akan berprihatin. Itu terbukti tak berguna, mengingat gadis itu masih tegar berdiri di sana, mencari seseorang yang mau membeli ciumannya dan lagi-lagi ini membuatku iri dan mengutuk diri mengapa aku tidak bisa menjadi tidak peduli pada omongan orang sebagaimana gadis itu. Sialan, aku memang pengecut. Meski begitu apakah sejuta rupiah itu harga yang pantas hanya untuk sebuah ciuman? Maksudku, apa itu tidak terlalu mahal? Biar aku melakukan hitung-hitungan singkat. Tadi, ia berkata padaku kalau ia belum pernah berciuman dan tampaknya ia jujur soal itu, aku memercayainya seratus persen. Itu berarti ini akan jadi ciuman pertamanya juga diriku. Ini akan jadi menarik. Harus aku akui itu salah satu poin penting yang membuat ciumannya itu pantas dihargai segitu. Poin penting lainnya adalah, harus aku akui, ia menawarkan efisiensi waktu juga kemudahan. Yang ingin aku katakan adalah membeli lebih mudah daripada kau mesti merayu gadis yang akan kau ajak berciuman, sementara kau tak pandai merayu dan butuh berciuman sekarang juga. Kau tahu, bukan, untuk merayu seorang gadis hingga ia mau kau ajak berciuman atau selebihnya, butuh waktu yang tidak sebentar, juga uang yang tak sedikit yang kau hambur-hamburkan selama masa penjajakan. Baiklah, sekarang aku sudah yakin, harga segitu memang harga yang pantas untuk ciumannya.

Aku keluar dari minimarket dengan hanya membeli sebungkus rokok dan meminta kembalian uang diganti dengan beberapa butir permen mint, sebab sebagaimana kau membutuhkan kondom sebelum bercinta dengan orang asing, kau butuh permen mint untuk membuat bau napasmu segar sebelum berciuman. Lalu aku kembali ke alun-alun.

Sesampainya di sana aku mendapati orang-orang berkerumun melihat pada satu titik, mengelilinginya serupa sabuk asteroid. Firasatku langsung buruk. Dan seperti dugaanku, orang-orang itu sedang menonton dua orang—seorang pria tinggi kurus berambut gondrong dan gadis yang menjual ciuman pertamanya tadi—yang tengah berciuman.

Entah berapa lama mereka berciuman, dua menit, lima menit, sepuluh menit, aku tidak tahu. Satu yang pasti itu berhasil membuatku kesal sampai rasanya akuyakin bisa memukul sebatang pohon besar hingga tumbang. Ciuman mereka seakan berlangsung selamanya, terkadang berupa kecupan-kecupan singkat yang sambung-menyambung, terkadang pula diselingi dengan ciuman panjang yang disertai dengan gigitan lembut dan permainan lidah.Namun pada akhirnya ciuman mereka tuntas. Orang-orang mulai pergi dengan kenangan akan adegan kedua orang itu barusan yang entah akan bertahan berapa lama. Sembari menunggu kerumunan orang menyusut drastis, aku bersembunyi atau setidaknya berusaha agar tak terlihat oleh gadis itu, dan setelah keadaan kurasa cukup memungkinkan, aku menghampirinya.

“Aku melihatmu tadi berciuman dengan seorang pria,” kataku, seraya memaksakan seutas senyuman, tidak mengerti kenapa aku mesti melakukannya.

“Yah,” katanya dengan riang, “pelanggan pertamaku.”

“Bukankah harusnya aku yang jadi pelanggan pertamamu?”

Ia mungkin tahu kalau aku sedikit geram, sehingga ia mengucapkan permintaan maaf.

“Aku pikir kau tidak kembali.”

“Tapi aku kembali.”

“Maaf.”

Aku menghela napas, lalu berkata, “Bukan salahmu.”

“Kita masih bisa berciuman.”

“Kau masih membuka penawaran?”

“Aku beri setengah harga.”

Harusnya itu menjadi tawaran yang bagus untukku, namun aku justru menolaknya, berkata kalau aku sudah tak berminat lagi berciuman dengan siapa pun untuk saat ini—sebenarnya aku tak lagi melihat keuntungan berciuman dengannya. Meski begitu aku berharap saat aku memutar tubuhku dan melangkah pulang, ia akan menghentikanku, dan ketika aku berbalik dengan perlahan untuk melihatnya, dengan tiba-tiba bibirnya akan langsung mendarat di bibirku, memberikanku sebuah ciuman sebagai ungkapan permintaan maaf. Namun, sampai ia berada di luar jangkauan dengarku, sama sekali tak terdengar ia memanggilku.

Komentar

Postingan Populer