KURSOR

Kursor di depannya berkedip-kedip. Terus berkedip dan berkedip. Ia terus memandanginya dengan hampa. Ia mulai membayangkan kursor yang berkedip-kedip itu seirama dengan denyut nadi atau degup jantung, seolah akan terasa semacam getaran kecil nan singkat yang ada-dan-tiada secara bergantian saat ia menyentuhkan ujung jarinya di atasnya. Tak bisa dipungkiri kalau ia nyaris terlena atau kelewat dalam menghayati kedap-kedip kursor itu.

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

Facebook selalu menanyakan hal yang sama: "Apa yang sedang Anda pikirkan?" Ia sendiri selalu beranggapan apa yang layak dipikirkan hanyalah masalah yang tengah menimpanya dan membuatnya begitu bersedih, hingga beginilah akhirnya ia memahami pertanyaan itu: "Apa yang jadi masalah Anda hingga Anda sangat bersedih?"

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

Sudah sebulan ia memiliki akun facebook, tapi belum ada sebiji pun status yang ia bikin. Alasannya, tentu saja karena ia tidak dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pihak facebook. Bukan lantaran ia tidak punya masalah untuk dipikirkan atau ia tidak pernah bersedih, malahan ia adalah orang yang punya banyak masalah dan kesedihannya terus menumpuk hari demi hari. Bahkan, karena masalah dan kesedihan itulah ia sering mabuk-mabukan dan selalu berharap dalam perjalanannya pulang dari bar, sebuah truk akan menubruknya, membikin ia mampus. Tapi sialnya ia selalu sampai di rumah dengan selamat.

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

Ia memikirkan satu kata. Terdiri dari lima huruf. Hanya lima. Tidak boleh lebih dari itu, karena akan terlalu banyak pilihan. Tidak boleh kurang dari itu, karena akan terlalu sedikit pilihan. Lima huruf adalah rata-rata. Ia yakin apa pun masalah dan kesedihan yang mengacaukan pikiran juga hatinya bisa diwakili oleh satu kata yang hanya mengandung lima huruf. Apa ya? Ia punya banyak masalah yang mendekam dalam kepalanya dan semuanya menyumbangkan kesedihan. Aduh, apa ya?

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

PACAR. Ia menuliskan kata itu. Seminggu lalu adalah pertemuan mereka yang terakhir. Gadis itu minta putus darinya, mengaku kalau ia tak lagi sanggup melanjutkan hubungan ini. Ia sempat mengira kalau gadis itu telah berpaling ke pria lain. Anggapannya salah. Gadis itu ditemukan tewas gantung diri di kosan, tiga hari setelah pertemuan mereka itu. Gadis itu rupanya bukan hanya tak sanggup lagi meneruskan hubungan dengannya melainkan sudah tak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup yang semakin tak keruan. Mengingat itu ia jadi ragu untuk menekan tombol kirim. Kematian pacarnya memang membikin ia sedih bukan kepalang, tapi ia sadar itu bukan masalah utama. Ia menghapus kata itu dan berpikir lagi.

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

KERJA. Ia yakin inilah biang masalah yang utama. Kerja, kerja, dan kerja. Delapan sampai sepuluh jam sehari bahkan ada yang lebih dari itu, selama enam hari dalam seminggu. Memuakkan. Hari libur untuk merayakan suatu momen atau apalah itu adalah berkah yang diharapkan melebihi surga yang dijanjikan Tuhan. Kerja sampai jadi gila. Gadisnya mungkin memutuskan mati karena itu, pikirnya, kerja dan kerja dan kerja sampai otaknya kacau. Banting tulang selama enam hari dan hanya bisa menikmati jerih payah selama sehari saja. Kasihanilah kami, Tuhan! Ia berdoa. Ada badai dalam kepala kami, otak kami diporak-porandakan oleh tornado. Manusia semakin canggih, tapi juga semakin sibuk sampai lupa bernapas, lupa kentut. Manusia semakin pintar, tapi juga semakin tolol mengatur waktu, atau sebenarnya kebanyakan manusia sama sekali tak punya kuasa atas waktu. Anjing kudisan! Pilih mana, kamu kelaparan dan mampus atau kenyang tapi kerja seperti budak? Pilih mana? Pilih mana? Rasa lapar itu mengerikan. Serius. Karenanya, ia lebih suka memindahkan empat ratus sak semen dari gudang ke bak truk setiap hari ketimbang mati kelaparan. Itu membuat ia menghapus kata tersebut. Ia pikir itu bukan masalah utama. Mungkin juga itu masalah utama, tapi bukan yang paling utama. Di atas langit masih ada langit, begitulah.

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

HIDUP. Andai saja ia tidak hidup, pikirnya. Tidak, ia tidak bermaksud untuk mengikuti jejak pacarnya. Sama sekali tidak. Ia cuma membayangkan bagaimana kalau ia tidak pernah hidup, tidak pernah dilahirkan. Sakit adalah risiko orang hidup. Jika kau tak hidup, kau tak bakal memiliki tubuh untuk merasakan sakit. Menjadi hidup berarti kau juga siap untuk menderita. Baiklah. Itu pilihan kata yang tepat sepertinya. Tapi sebelum ia menekan tombol kirim ia jadi ragu. Masalahnya hidup tidak akan ada tanpa penciptanya. Ia pun menghapus kata itu.

Kedap-kedip. Kedap-kedip. Nyat-nyut. Nyat-nyut. Dag-dug. Dag-dug. Hilang-timbul. Hilang-timbul.

TUHAN. Ia sadar Tuhan tidak layak disalahkan atas semua masalah yang dibikin manusia, hanya saja ia butuh sesuatu untuk disalahkan, sesuatu yang menjadi alasan kesedihannya. Ia pun menekan tombol kirim, setelah sebelumnya ia mengubah "siapa-yang-dapat-melihat-ini?" dari "publik" ke "hanya saya". Ini adalah urusannya dengan Tuhan, manusia lainnya yang tak berkepentingan dilarang tahu.

Komentar

Postingan Populer