Cinta dan Rokok

Satu hal yang paling Jon sesalkan di bulan ini adalah harga rokok yang ikut-ikutan naik, meskipun ia bukan seorang perokok dan selama hidupnya tidak pernah merokok. Jon merasa perlu bersedih karena bapaknya adalah seorang perokok akut dengan kemampuan isap-embus sederas cerobong lokomotif bermesin uap; dan Jon yang harus menanggung uang belanja beli rokok itu karena bapaknya sudah lama menganggur; sementara gaji Jon sebagai buruh pabrik tidak begitu besar, hanya separuh dari upah-minimum-kota yang dijanjikan.

Jon tidak peduli alasan di balik kenaikan harga rokok tersebut. Bagi Jon mengetahui alasannya tidak akan mengubah apa pun. Bapaknya akan tetap minta jatah enam batang rokok tiap harinya, dan Jon mesti memenuhinya jika tak ingin bapaknya menjadi makhluk bising menyebalkan yang terus saja mengomel.

Jauh hari sebelum harga rokok naik, Jon sebenarnya telah mewanti-wanti bapaknya untuk segera berhenti merokok, atau paling tidak mulai mengurangi jumlah rokok yang dihisap, karena Jon mungkin akan lebih sulit untuk memenuhi jatah rokok tersebut per harinya. Bapaknya menyetujui dan Jon senang. Namun seperti kebanyakan perkara di dunia ini, hal itu lebih mudah dikatakan ketimbang dikerjakan. Bapaknya tetap menuntut jatah rokoknya dipenuhi. Jon terpaksa merogoh kocek lebih dalam dengan mengabaikan beberapa kebutuhannya, dan jujur, itu membuatnya kesal. Jon semakin kesal lagi karena ia memang sejak dulu tak pernah akur dengan rokok.

Sewaktu SMA Jon sering bertengkar dengan kawan-kawannya yang merupakan perokok amatir—mereka yang sesudah mengisap dan mengembuskan asap selalu meludah karena mulut mereka menjadi terasa kering dan masam. Jon yang tak pernah berminat pada rokok diejek sebagai lelaki tidak jantan. Darah Jon mendidih, kemudian ia berkata dengan suara garang, kalau kejantanan seorang lelaki itu dibuktikan bukan dipamerkan. Jon menantang mereka berkelahi dan selalu berhasil membuktikan kejantanannya. Setelahnya karena reputasinya dalam setiap perkelahian yang selalu berakhir dengan kemenangan, tidak ada lagi yang berani mengaitkan kejantanan Jon dengan kebiasaan mengisap rokok. Hingga suatu hari ejekan itu muncul lagi, kali ini dari mulut pacarnya. Tanpa kemarahan bahkan dengan nada penuh kasih sayang, Jon mengulang motto-nya soal kejantanan, seraya menambahkan:

"Aku lebih suka 'dirokok' ketimbang merokok."

Pacarnya paham istilah cabul itu sehingga Jon dengan mudah menggiring gadis itu memasuki salah satu bilik toilet, beberapa saat sebelum jam istirahat usai. Di dalam bilik toilet Jon berhasil membuktikan kejantanannya dengan membuat rahang pacarnya pegal.

Tidak ada yang lebih menyebalkan dan membuat Jon makin membenci rokok melebihi kejadian di suatu ketika yang hampir saja membikin ia buta dan terlibat kecelakaan fatal. Itu terjadi saat Jon mengendarai motor di jalan raya jalur cepat. Kala itu di depannya ada seorang pria uzur yang mengendarai motor sambil merokok. Embusan angin meniup bara api dari rokok yang menyala itu ke belakang dan mengenai bagian bawah mata Jon, menimbulkan rasa panas yang menyengat dan itu cukup mengejutkannya. Andaikata Jon tak lihai menyeimbangkan motornya yang sedikit bergoyang akibat kekagetannya, besar kemungkinan ia akan jatuh dan dilindas bus yang melaju di belakangnya. Jon mengumpat, dan segera menggeber motor, mengejar si pelaku. Setelah berhasil menyusul, Jon memberi aba-aba agar pria tua itu menepi. Pria tua itu menurut, meski dengan menampilkan air muka yang merupakan campuran antara kebingungan dan kedongkolan; sehingga ketika Jon menghampiri dan berada dalam jangkauan dengar, pria tua itu dengan jengkel bertanya:

"Ada apa ini?!"

Meski berada dalam pengaruh kemarahan, dengan tenang Jon menjelaskan apa yang telah terjadi, juga menceritakan kemungkinan apa yang bakal menimpa akibat perbuatan ngawur pria tua itu. Jon dengan senang hati akan mengampuni kekhilafan pria tua itu, jika saja pria tua itu mau meminta maaf dan menyadari kekeliruannya. Namun skenario semacam itu tidak terjadi. Dengan kesombongan yang hanya dimiliki orang-orang tolol dalam mempertahankan perilaku bodohnya, pria tua itu justru menantang Jon dengan berkata:

"Kamu jadi orang kok kurang bersyukur. Dikasih selamat malah minta celaka."

Tanpa banyak omong lagi, Jon segera bertindak. Jon merebut rokok yang masih menyala dari apitan bibir pria tua itu yang sedang mengengkol motornya. Pria tua itu kaget dan berhenti mencoba menghidupkan mesin dan melontarkan protes. Sebelum tuntas merampungkan protes, Jon langsung menaruh ujung rokok yang membara itu di kening si pria tua, seolah sedang menumbuknya di asbak. Pria tua itu memekik kesakitan, meletakkan sebelah tangannya di keningnya yang melepuh, dan mengusapnya berkali-kali seakan tengah memastikan dahinya tak berlubang. Segera saja perkelahian terjadi, yang beruntung bisa diakhiri dengan perdamaian antara dua belah pihak setelah banyak orang berkumpul dan melerai.

Di antara sekian banyak kejadian buruk akibat rokok, hanya pada bapaknya Jon tak berani melawan maupun bertindak kurang ajar, meski terkadang merasa jengkel dan mengumpat dalam hati.

Namun, kesabaran Jon akhirnya runtuh juga tepat di minggu ketiga sejak harga rokok melonjak. Itu bermula semenjak Jon berkenalan dengan seorang gadis, buruh baru dari bagian produksi di pabrik tempatnya bekerja.

Gadis itu bernama Fahim, jauh-jauh dari Ngawi ke Surabaya hanya untuk menghindari perjodohan paksa orangtuanya yang hendak mengawinkannya dengan pria gaek kaya raya yang sudah memiliki lima istri. Saat mendengar kabar perjodohan itu, Fahim langsung menyusun rencana untuk minggat. Fahim mulai memikirkan kapan waktu yang tepat untuk melangsungkan rencana tersebut, dan memutuskan, kalau ia akan minggat begitu lulus SMA dan ijasahnya telah berada di tangan—saat itu ia sudah kelas tiga SMA dan empat bulan lagi akan mengikuti ujian nasional. Namun Fahim segera mempercepat rencananya itu, ketika si pria gaek yang bakal jadi suaminya sudah tidak sabar untuk mengawininya sehingga memajukan tanggal pernikahan. Dua minggu sebelum akad dilangsungkan, malam hari, Fahim kabur dengan membawa uang tabungannya, beberapa potong baju dan celana, juga selembar ijasah SMP. Fahim memilih Surabaya sebagai tujuannya, kota yang ia anggap menjanjikan masa depan cerah namun masih agak lebih jinak ketimbang Jakarta. Di Surabaya, Fahim berencana untuk melanjutkan SMA-nya yang sempat terputus, namun ia terkendala biaya dan memutuskan untuk bekerja lebih dulu agar bisa melunasi biaya-biaya itu.

"Aku masih punya banyak waktu sebelum mendaftar," begitu Fahim menutup kisah perjalanannya dari Ngawi ke Surabaya pada Jon di kencan pertama mereka. "Nanti setelah lulus SMA, aku ingin kuliah."

Jon berhasrat membantu Fahim meskti tak diminta. Jon ingin memukau Fahim, membuat gadis itu jatuh cinta padanya. Jon berpikir dengan membantu melunasi biaya-biaya itu bakal memuluskan rencananya untuk memacari gadis itu. Namun hal itu tidak mungkin terjadi selama bapaknya masih gencar merokok.

Setiap hari, setiap malam, Jon mencoba memutuskan apa yang mesti dilakukannya, lebih tepatnya memilih siapa yang layak diperjuangkan: Fahim, gadis yang membuatnya kasmaran; atau bapaknya, yang bakal menghancurkan ketenangan di rumah bila jatah rokoknya berkurang. Tapi Jon tidak dapat memilih, ia selalu bertemu jalan buntu. Keduanya sama-sama penting bagi Jon, mengkhianati salah satunya bakal membawa kerusakan padanya. Jon jadi sering berandai-andai, membayangkan betapa ia tak perlu memusingkan hal ini bila bapaknya bukanlah perokok akut; atau, bila ia punya gaji lebih besar yang sanggup diandalkan; atau bila ia tak bertemu dengan gadis itu dan jatuh cinta padanya. Tapi Jon menyadari bahwa masalah utamanya bukan terletak pada bapaknya atau gadis itu, melainkan pada gajinya yang minim, sehingga mengorbankan salah satunya bukanlah keputusan bijak.

Jon jadi teringat nasihat ibunya suatu kali ketika ia baru lulus SMA dan mulai menyebar surat lamaran kerja, kala itu ibunya berkata, "Jangan jadi perokok seperti bapakmu, nanti duitmu habis untuk beli rokok saja." Jon ingin membantah, bahwa nasihat itu sebenarnya tak perlu dituturkan padanya karena sejak lama ia sama sekali tak berminat menjadi perokok dan merasa yakin sanggup hidup tanpa rokok, namun pada akhirnya ia cuma diam dan menelan bantahannya. Lalu, ketika Jon baru mendapat kerja pertamanya sebagai seorang OB dengan gaji tak kalah menyedihkan, ibunya kembali menasihatinya, "Kamu jangan buru-buru menikah sebelum kamu punya gaji yang bagus. Kasih makan anak orang itu tidak gampang." Lagi-lagi Jon cuma diam, meski sejak lama ia telah berpikir demikian.

Namun di umurnya yang hampir menginjak kepala tiga ini, kehidupan Jon tak kunjung membaik. Ia selalu khawatir bakal kehabisan uang ketika tanggal tua sehingga mesti berhemat secara ketat. Ia tak pernah berani berhutang karena ia tak yakin sanggup mengembalikannya. Hubungan asmaranya dengan beberapa gadis selalu kandas karena ia tak punya tabungan untuk melangsungkan pernikahan.

"Cukup!" seru Jon akhirnya pada suatu malam, seraya bangkit dari kasur lipatnya. "Sudah cukup! Memikirkan ini tak akan ada putusnya! Persetan semuanya!"

Aku harus melakukan pembalasan, pikirnya, aku tak mau terus-terusan kalah oleh nasib. Jon merenungkan pembalasan macam apa yang ingin ia jalankan, dan beberapa lama kemudian ia beroleh ide jahil dan nekat.

Langkah pertama, Jon memutuskan bahwa esok ia akan membolos selama dua minggu tanpa memberi alasan. Jon tak peduli jika harus dipecat, yang terpenting ia tak bertemu dengan gadis itu untuk sementara waktu—atau mungkin selamanya—, berharap dengan begitu ia mampu melupakan rasa cintanya pada gadis itu.

Langkah kedua, malam itu juga, Jon keluar untuk membeli enam batang rokok dan sekotak korek api batang. Sekembalinya di kamar, Jon mulai menggerus bagian pentol korek api, menumbuknya hingga halus menjadi serbuk. Kemudian ia mengambil sebatang rokok, dan melubanginya tepat di tengah-tengah. Lalu ia menjumputi tembakau di bagian berlubang itu hingga tercipta sedikit ruang kosong. Pada ruang kosong itu ia menuang serbuk dari pentol korek tadi sampai penuh, dan ditutupnya kembali lubang itu dengan menggunakan kertas dan lem, sebisa mungkin menyamarkannya supaya tak ketahuan. Harapannya, ketika rokok itu diisap oleh bapaknya, dan bara api terus maju melahap batang rokok, dan akhirnya sampai di bagian di mana ia menaruh jebakannya, bara api akan menyulut serbuk tersebut dan menciptakan lidah api. Jon membayangkan bapaknya bakal terkejut bukan main, barangkali tangan bapaknya akan terjilat api dan dengan panik akan mengibaskan tangan demi membuang rokok yang telah disabotase itu; tapi Jon sesungguhnya lebih suka kalau lidah api itu muncul ketika bapaknya menjepit rokok itu di bibir sehingga akan membakar kumis lebat bapaknya dan tentunya menciptakan kepanikan yang lebih menggelikan, membayangkan itu mampu membuat Jon tersenyum jahil.

Jon lalu berbaring di kasurnya dan memejamkan mata demi mengundang kantuk. Pembalasan ini akan menyenangkannya meskipun juga bakal mengacaukannya, pikirnya. Mungkin untuk beberapa tahun lagi ia masih harus bersabar untuk hidup melajang. Mungkin bapaknya akan mengamuk padanya dan membuatnya terpaksa minggat dari rumah. Mungkin ia akan kehilangan pekerjaannya, dan ia harus kembali berkeliling ke seantero kota demi mengemis pekerjaan. Tapi Jon tak lagi peduli. Ia ingin membuktikan kalau ia bisa berbuat sesuatu untuk memberi perlawanan pada nasib buruknya. Keadaan tidak boleh terus menerus menekannya, mengaturnya, mengendalikannya, memperbudaknya, untuk sekali saja, sekali waktu saja, meski itu hanya sebentar, ia ingin punya kuasa pada dirinya sendiri. Keadaan tak bisa lagi memaksanya. Tak boleh. Ia harus menang kali ini.

Jon akhirnya terlelap dengan senyum kemenangan.

***

Esok paginya, sebelum berangkat kerja, Jon memberikan bapaknya lima batang rokok. Bapaknya memprotes dan mulai mengomel. Demi menghentikannya Jon berjanji akan memenuhi kekurangan satu batang rokok itu sepulang kerja nanti. Bapaknya setuju lalu diam. Jon menunggangi motornya, berangkat bekerja, masih dengan wajah yang semakin lelah.

Komentar

Postingan Populer